Surau.co. Dalam kehidupan modern yang penuh dengan godaan visual dan kebebasan informasi, menjaga pandangan menjadi tantangan besar bagi setiap Muslim. Gawai, media sosial, dan dunia digital seolah membuka tabir tanpa batas antara yang halal dan haram untuk dilihat. Namun, Islam tidak membiarkan hati manusia tersesat dalam pandangan yang liar. Sebaliknya, Islam menuntun agar setiap pandangan menjadi jalan menuju kebersihan jiwa. Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi menegaskan bahwa pandangan adalah pintu hati. Bila ia dijaga, maka hati akan bersih; namun bila dibiarkan bebas, maka hati akan ternoda.
Menjaga pandangan bukan hanya tentang menghindari dosa mata, tetapi juga tentang mengendalikan arah hati. Karena dari mata, lahir bisikan nafsu, yang jika dibiarkan, dapat menjerumuskan manusia pada dosa besar. Tulisan ini mengajak kita menelusuri ajaran mulia tentang menjaga pandangan menurut kitab Ad-Durratun Nashihin, serta bagaimana kebersihan pandangan menjadi cermin kejernihan hati dalam menghadapi dunia modern.
Pandangan: Pintu Masuk ke Hati
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan perintah untuk menundukkan pandangan sebagai bentuk penjagaan diri dari fitnah dan godaan.
Allah berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)
Ayat ini menunjukkan bahwa menjaga pandangan bukan hanya sekadar menghindari pandangan yang haram, melainkan cara menyucikan hati dan pikiran. Syaikh Utsman dalam Ad-Durratun Nashihin menafsirkan makna ayat ini dengan penuh hikmah. Beliau berkata:
“النظر سهم من سهام إبليس، من تركه لله أورث الله في قلبه حلاوة الإيمان.”
“Pandangan adalah salah satu panah dari panah-panah Iblis. Barang siapa menundukkan pandangannya karena Allah, maka Allah akan menanamkan dalam hatinya manisnya iman.”
Pandangan yang tidak dijaga, meski sekilas, dapat menjadi awal dari rusaknya hati. Seseorang mungkin memulai dengan sekadar melihat, lalu berpikir, kemudian membayangkan, dan akhirnya terjerumus dalam perbuatan. Karena itu, Islam menekankan bahwa pengendalian dimulai sejak mata melihat.
Dari Mata Turun ke Hati
Hati manusia sangat sensitif terhadap apa yang dilihat oleh mata. Dalam dunia yang menonjolkan penampilan, kecantikan, dan gaya hidup, pandangan menjadi alat yang mudah digoda oleh syahwat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
العَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا النَّظَرُ
“Dua mata itu berzina, dan zinanya adalah pandangan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini bukan bermakna bahwa setiap pandangan adalah dosa besar, melainkan peringatan agar manusia berhati-hati. Syekh Utsman menulis bahwa “pandangan adalah benih syahwat.” Jika tidak dikendalikan, ia tumbuh menjadi pohon dosa. Namun bila dijaga, ia akan menumbuhkan bunga keimanan.
Menjaga pandangan berarti juga menjaga hati dari rasa iri, dengki, dan nafsu duniawi. Dalam konteks modern, ini mencakup menahan diri dari iri terhadap kehidupan orang lain di media sosial, dari rasa ingin memiliki yang dimiliki orang lain, atau dari godaan visual yang menjauhkan dari kesederhanaan dan qana‘ah.
Pandangan yang Menguatkan Iman
Menundukkan pandangan bukan berarti memejamkan mata dari dunia, tetapi mengarahkan pandangan untuk melihat dengan makna yang lebih dalam. Melihat alam ciptaan Allah, membaca tanda-tanda kebesaran-Nya di langit, laut, dan kehidupan sekitar adalah bentuk pandangan yang justru menguatkan iman.
Allah berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)
Dalam ayat ini, Allah tidak melarang manusia untuk melihat, tetapi mengarahkan agar pandangannya bermakna dan berbuah iman. Syekh Utsman dalam Ad-Durratun Nashihin mengajarkan bahwa seorang mukmin sejati bukanlah orang yang buta dari dunia, tetapi orang yang melihat dunia dengan kacamata akhirat.
Pandangan seperti inilah yang disebut “pandangan dzikrullah”—melihat sesuatu lalu mengingat Allah. Setiap pandangan yang membawa kita pada kesadaran akan kebesaran Tuhan, sejatinya adalah ibadah.
Pandangan dan Dunia Digital: Ujian Zaman Modern
Zaman ini adalah zaman pandangan tanpa batas. Gawai di tangan membuka jendela ke segala hal yang bisa mengguncang iman: tayangan yang memicu syahwat, gambar yang menumbuhkan iri, dan berita yang mengundang kebencian. Dalam konteks ini, menjaga pandangan menjadi jihad tersendiri.
Namun Islam tidak memerintahkan untuk menutup diri dari dunia digital, melainkan menanamkan kesadaran dan niat yang lurus.
Nabi ﷺ bersabda:
من غض بصره عن محاسن امرأة، أثابه الله إيمانًا يجد حلاوته في قلبه.
“Barang siapa menundukkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, maka Allah akan memberinya rasa iman yang manis di dalam hatinya.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menekankan bahwa setiap usaha menahan diri, sekecil apa pun, akan berbuah kelezatan batin yang tidak bisa dibeli oleh dunia. Dalam perspektif Ad-Durratun Nashihin, menjaga pandangan adalah bagian dari “tazkiyah an-nafs”—penyucian jiwa. Karena yang terjaga matanya, terjaga pula hatinya, dan yang bersih hatinya, ringan langkahnya menuju ketaatan.
Menjaga Pandangan sebagai Latihan Jiwa
Menundukkan pandangan membutuhkan kesadaran dan latihan. Ia bukan sekadar perintah, tetapi perjalanan spiritual. Dalam kitabnya, Syekh Utsman menulis:
“من حفظ بصره طهر قلبه، ومن طهر قلبه عرف ربه.”
“Barang siapa menjaga pandangannya, maka bersihlah hatinya; dan barang siapa hatinya bersih, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Pandangan yang dijaga melahirkan ketenangan, karena hati tidak lagi disibukkan oleh bayangan dunia. Ia menjadi fokus pada hal-hal yang abadi. Pandangan yang tidak dijaga sebaliknya menumbuhkan keresahan dan kekosongan batin, karena mata terus menagih kenikmatan yang fana.
Dalam konteks remaja dan generasi muda, menjaga pandangan adalah bentuk pengendalian diri yang membangun karakter spiritual. Bukan untuk mengekang kebebasan, tetapi agar kebebasan itu tidak menghancurkan kedamaian batin.
Menjaga Pandangan, Menjaga Cinta yang Suci
Salah satu hikmah terbesar dalam menjaga pandangan adalah menjaga kesucian cinta. Pandangan yang tidak dijaga dapat menodai perasaan, menjadikan cinta hanya sebagai hawa nafsu. Sementara pandangan yang dijaga melahirkan cinta yang tulus karena Allah.
Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menuturkan kisah seorang pemuda yang menundukkan pandangannya dari wanita yang ia cintai karena takut kepada Allah. Maka Allah menggantinya dengan kedekatan batin kepada-Nya yang tidak tergantikan oleh kenikmatan dunia. Kisah ini mengajarkan bahwa keindahan sejati bukan terletak pada rupa yang dilihat, tetapi pada kemurnian hati yang menjaga pandangan.
Penutup
Menjaga pandangan bukan perkara mudah, tetapi di sanalah letak kemuliaan iman. Dunia modern memuja visual, tetapi hati seorang mukmin justru memuja ketenangan batin. Mata yang dijaga dari yang haram akan melihat keindahan yang hakiki—keindahan yang Allah bukakan di dalam hati.
Setiap kali kita menundukkan pandangan, sejatinya kita sedang meninggikan martabat jiwa. Setiap kali kita menolak godaan visual, kita sedang memperkuat benteng iman. Seperti kata Syekh Utsman bin Hasan:
“غض البصر طاعة، والطاعة نور في القلب.”
“Menundukkan pandangan adalah ketaatan, dan ketaatan itu adalah cahaya dalam hati.”
Semoga setiap pandangan kita menjadi zikir, setiap langkah menjadi ibadah, dan setiap upaya menahan diri menjadi cahaya yang menerangi hati. Karena menjaga pandangan sejatinya adalah menjaga jendela menuju surga.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
