Khazanah
Beranda » Berita » Bahaya Ghibah dan Fitnah Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Bahaya Ghibah dan Fitnah Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Ilustrasi filosofis tentang bahaya ghibah dan fitnah dalam Islam
Ilustrasi realistik menggambarkan siluet manusia menatap cermin dari cahaya dan bayangan kata-kata yang berterbangan, melambangkan kekuatan lisan dalam kehidupan.

Surau.co. Ghibah dan fitnah adalah dua penyakit hati yang kerap muncul dalam kehidupan sosial. Dalam dunia yang serba cepat ini, di mana informasi tersebar dalam hitungan detik, keduanya semakin mudah terjadi—baik melalui lisan, tulisan, maupun media sosial. Padahal, dalam pandangan Islam, ghibah (menggunjing) dan fitnah (menyebarkan kebohongan atau kabar tanpa dasar) termasuk dosa besar yang dapat merusak ukhuwah, kehormatan, bahkan keimanan seseorang.

Kitab Ad-Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi mengingatkan kita bahwa menjaga lisan adalah bagian dari menjaga iman. Dalam salah satu nasihatnya, beliau berkata:

من أكثر الكلام أكثر خطؤه، ومن أكثر خطؤه قل حياؤه، ومن قل حياؤه قل ورعه، ومن قل ورعه مات قلبه.
“Barang siapa banyak berbicara, banyak pula kesalahannya. Siapa yang banyak salahnya, sedikit rasa malunya. Siapa yang sedikit malunya, sedikit pula wara’-nya (kehati-hatiannya). Dan siapa yang sedikit wara’-nya, maka matilah hatinya.”

Kata-kata hikmah ini mengajarkan bahwa setiap kata yang keluar dari lisan mencerminkan keadaan hati. Bila lisan tak dijaga, maka perlahan hati pun kehilangan cahaya iman.

Makna Ghibah dan Fitnah dalam Pandangan Islam

Dalam Al-Qur’an, Allah secara tegas melarang umat Islam untuk melakukan ghibah. Allah berfirman:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.” (QS. Al-Hujurāt [49]: 12)

Ayat ini memberi perumpamaan yang mengguncang hati: menggunjing seseorang sama halnya dengan memakan daging saudaranya yang telah mati. Sebuah gambaran betapa keji perbuatan tersebut.

Sementara itu, fitnah bahkan lebih berbahaya lagi. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 191:

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
“Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan.”

Fitnah tidak hanya menyakiti hati, tetapi juga bisa menghancurkan kehidupan seseorang, menimbulkan permusuhan, dan memecah belah masyarakat.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ghibah: Racun Halus yang Merusak Persaudaraan

Ghibah sering kali dimulai dari obrolan ringan. Kadang disertai tawa, kadang dengan alasan “sekadar cerita”. Namun tanpa disadari, obrolan itu mengiris kehormatan seseorang. Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan makna ghibah secara jelas dalam sebuah hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْغِيبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ.
“Rasulullah ditanya: ‘Apa itu ghibah?’ Beliau menjawab: ‘Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci.’ Seseorang bertanya: ‘Bagaimana jika apa yang aku katakan memang benar ada padanya?’ Beliau menjawab: ‘Jika benar, maka engkau telah menggunjingnya. Namun jika tidak benar, engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa bahkan ucapan benar pun bisa menjadi ghibah jika disampaikan tanpa izin atau menimbulkan keburukan. Maka, betapa pentingnya menjaga lisan dan kehormatan sesama.

Syekh Utsman Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menulis bahwa ghibah termasuk dosa yang tidak cukup ditebus hanya dengan istighfar, karena menyangkut hak manusia. Pelakunya wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingkan, atau mendoakan kebaikan untuknya bila tak bisa bertemu.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Fitnah: Api yang Membakar Tanpa Asap

Jika ghibah adalah racun halus, maka fitnah adalah api besar yang membakar kepercayaan dan kedamaian. Fitnah dapat berawal dari niat kecil—seperti ingin terlihat tahu—namun berakhir dengan kehancuran nama baik seseorang.

Dalam kitab Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman mengingatkan:

الفتنة نائمة، لعن الله من أيقظها.
“Fitnah itu tidur (tersembunyi), semoga Allah melaknat siapa pun yang membangunkannya.”

Fitnah bisa tersebar cepat karena sifat manusia yang mudah percaya pada kabar negatif. Media sosial kini menjadi ladang subur bagi fitnah—dengan satu unggahan, seseorang bisa menjatuhkan martabat orang lain.

Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“Ketika kamu menyebarkan berita itu dengan mulutmu dan mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui kebenarannya, kamu menganggapnya remeh padahal di sisi Allah itu besar (dosanya).” (QS. An-Nur [24]: 15)

Ayat ini menggambarkan bagaimana manusia sering kali meremehkan ucapan, padahal akibatnya bisa fatal. Fitnah dapat memecah belah keluarga, mengadu domba sahabat, bahkan menimbulkan permusuhan yang panjang.

Menjaga Lisan Sebagai Benteng Keimanan

Dalam Islam, lisan memiliki peran penting dalam menentukan keselamatan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat.

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barang siapa menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (lisannya) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluannya), maka aku jamin untuknya surga.” (HR. Bukhari)

Lisan adalah senjata dua sisi: bisa menjadi jalan menuju surga bila digunakan untuk zikir, dakwah, dan nasihat; tetapi juga bisa menjerumuskan ke neraka bila digunakan untuk mencela, memfitnah, dan menyebar kebencian.

Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menasihati agar setiap Muslim menahan diri sebelum berbicara. Beliau berkata:

من أراد أن يسلم دينه فليجعل لسانه وراء قلبه، فإذا أراد أن يتكلم نظر في قلبه، فإن كان فيه لله قال، وإلا سكت.
“Barang siapa ingin menjaga agamanya, hendaklah menempatkan lisannya di belakang hatinya. Jika ia hendak berbicara, hendaklah ia periksa hatinya. Jika ucapan itu karena Allah, maka katakanlah; jika tidak, maka diamlah.”

Diam bukan berarti lemah, melainkan bentuk kekuatan batin. Sebab, tidak semua hal layak diucapkan, dan tidak semua kabar pantas disebarkan.

Buah dari Menjauhi Ghibah dan Fitnah

Menjauhi bahaya ghibah dan fitnah bukan hanya menyelamatkan diri dari dosa, tetapi juga menumbuhkan ketenangan hati. Seseorang yang menjaga lisannya akan lebih mudah diterima dalam pergaulan, dihormati, dan dipercaya.

Allah berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tidak berguna.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 3)

Ayat ini menunjukkan bahwa ciri orang beriman adalah menjauh dari kata sia-sia. Dalam kehidupan modern, menjaga lisan juga berarti menjaga jari—karena kata-kata kini tak hanya keluar dari mulut, tapi juga dari layar ponsel.

Syekh Utsman Al-Khubawi menegaskan bahwa siapa yang menahan lidahnya dari keburukan, Allah akan bukakan baginya pintu kebijaksanaan. Sebaliknya, orang yang suka menyebar aib akan ditelanjangi aibnya oleh Allah, bahkan jika ia bersembunyi di balik dinding rumahnya.

Menumbuhkan Budaya Tabayyun dan Husnuzan

Untuk mencegah bahaya ghibah dan fitnah, Islam mengajarkan dua prinsip penting: tabayyun (klarifikasi) dan husnuzan (berbaik sangka).

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah kebenarannya agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurāt [49]: 6)

Dengan tabayyun, kita tidak mudah percaya pada kabar yang belum jelas sumbernya. Dengan husnuzan, kita belajar menilai sesama dari sisi baiknya, bukan dari gosip yang beredar.

Penutup

Setiap kata adalah cermin jiwa. Lisan yang terjaga mencerminkan hati yang bersih. Bahaya ghibah dan fitnah mungkin terasa ringan, namun akibatnya berat di hadapan Allah. Oleh karena itu, marilah kita renungi nasihat Nabi ﷺ:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menjaga lisan adalah seni kehidupan, dan diam yang penuh makna lebih berharga daripada kata-kata yang melukai. Semoga kita semua menjadi insan yang bijak dalam berbicara, menebar damai, dan menjaga kehormatan sesama.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement