Khazanah
Beranda » Berita » Menghindari Hasad dan Dengki Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Menghindari Hasad dan Dengki Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Pemuda Muslim merenung di bawah langit senja, simbol menghindari hasad dan menemukan ketenangan hati.
Seorang pemuda Muslim duduk di bawah langit senja, memandangi air dan bayangannya sendiri dengan wajah tenang. Di kejauhan, cahaya lembut menyinari pepohonan, melambangkan kebersihan hati dan kedamaian batin

Surau.co. Dalam kehidupan modern yang dipenuhi pencapaian dan persaingan, rasa iri dan dengki sering kali muncul tanpa disadari. Media sosial memperlihatkan kesuksesan orang lain, dan hati manusia pun mudah tergoda untuk membandingkan diri. Padahal, menurut para ulama salaf, hasad (iri hati) adalah penyakit batin yang dapat menghapus amal dan menutup pintu keberkahan. Dalam kitab Ad-Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi, persoalan ini dibahas dengan sangat mendalam mengenai menghindari hasad dan dengki sebagai pengingat bahwa hati adalah medan jihad yang paling berat.

Hasad: Api yang Membakar dalam Diam

Syekh Utsman menjelaskan bahwa hasad adalah keinginan agar nikmat yang dimiliki orang lain hilang, baik disertai keinginan agar nikmat itu berpindah kepadanya maupun tidak. Dalam teks Arab beliau menulis:

الحسد أن يتمنى زوال النعمة عن الغير
Hasad adalah keinginan agar nikmat seseorang hilang.

Penjelasan ini sederhana, namun sarat makna. Hasad bukan sekadar perasaan tidak senang, melainkan sebuah bisikan hati yang menolak kehendak Allah. Orang yang hasad, tanpa sadar, sedang menentang takdir yang telah Allah tetapkan. Ia tidak ridha atas keputusan Sang Pemberi Nikmat.

Allah ﷻ berfirman:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Apakah mereka dengki kepada manusia atas karunia yang Allah berikan kepada mereka?”
(QS. An-Nisa: 54)

Ayat ini menegaskan bahwa hasad bukan hanya penyakit sosial, tetapi juga penolakan terhadap kebijaksanaan Ilahi. Setiap nikmat diberikan dengan ukuran dan hikmah tertentu. Maka, ketika hati merasa iri terhadap nikmat orang lain, sesungguhnya ia sedang menggugat pembagian Allah.

Akar Hasad dalam Jiwa Manusia

Hasad sering tumbuh dari tiga sumber: cinta dunia, kebanggaan diri, dan lemahnya iman. Cinta dunia membuat seseorang sulit melihat kebahagiaan orang lain. Ia merasa hanya dirinya yang layak mendapat kesuksesan, perhatian, atau kekayaan. Sedangkan kebanggaan diri menumbuhkan rasa ingin unggul di atas orang lain.

Namun, akar yang paling dalam adalah lemahnya keyakinan pada takdir. Orang yang yakin bahwa semua rezeki datang dari Allah tidak akan iri kepada siapa pun, sebab ia tahu setiap takdir disusun dengan hikmah. Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menulis:

الرضا بالقضاء دواء الحسد
Ridha terhadap ketentuan Allah adalah obat dari hasad.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kalimat ini bagaikan penawar bagi hati yang panas oleh iri. Selama seseorang tidak menerima takdir, api hasad akan terus menyala. Tapi begitu ia belajar ridha, hatinya menjadi tenang. Ia mulai melihat dunia bukan sebagai ajang perlombaan, melainkan ladang amal yang penuh kesempatan untuk berbuat baik.

Dampak Hasad terhadap Hati dan Amal

Hasad bukan hanya masalah moral, tetapi juga penyakit spiritual yang merusak hati.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Jauhilah oleh kalian sifat hasad, karena hasad dapat memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
(HR. Abu Dawud)

Hadis ini menunjukkan bahwa hasad tidak hanya membuat seseorang sengsara secara batin, tetapi juga menghapus amal baiknya. Orang yang hatinya dipenuhi iri tidak akan pernah merasa cukup. Ia terus membandingkan diri, menggerutu, dan menolak bersyukur. Padahal, rasa syukur adalah sumber ketenangan dan keberkahan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Bila hati terus diselimuti hasad, maka kebahagiaan sejati akan menjauh. Bahkan, seseorang bisa kehilangan rasa cinta kepada saudaranya sesama Muslim. Hubungan persaudaraan menjadi rapuh, dan ukhuwah Islamiyah pun retak karena api iri yang dibiarkan membara.

Mengganti Hasad dengan Ghibtah: Iri yang Positif

Islam tidak melarang seseorang menginginkan kebaikan yang dimiliki orang lain, selama keinginan itu tidak disertai kebencian. Inilah yang disebut ghibtah—iri dalam arti positif.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali terhadap dua orang: seseorang yang Allah berikan harta lalu ia menginfakkannya di jalan yang benar, dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengajarkan bahwa iri bisa berubah menjadi energi kebaikan jika diarahkan dengan benar. Ghibtah bukan menginginkan hilangnya nikmat orang lain, tapi ingin meniru semangat dan amal baiknya. Ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian. Dengan demikian, ghibtah dapat menjadi obat bagi hati yang pernah diserang penyakit hasad.

Jalan Tobat bagi Hati yang Pernah Iri

Syekh Utsman dalam Ad-Durratun Nashihin menasihati agar siapa pun yang pernah tergelincir dalam hasad segera bertaubat. Beliau menulis:

من حسد فليستغفر الله، وليدع للمحسود بالبركة
Barang siapa yang iri, hendaklah ia memohon ampun kepada Allah dan mendoakan keberkahan bagi orang yang diirinya.

Nasihat ini mengandung kebijaksanaan mendalam. Mendoakan orang yang kita iri justru menjadi cara paling ampuh untuk memadamkan api hasad. Saat lisan memohonkan kebaikan bagi mereka, hati perlahan menjadi ikhlas. Doa mengubah rasa benci menjadi kasih, dan mengganti persaingan dengan persaudaraan.

Selain itu, memperbanyak zikir dan memperhatikan nikmat yang telah dimiliki juga membantu. Orang yang sibuk bersyukur tidak punya waktu untuk iri. Ia memandang hidup sebagai anugerah yang cukup, bukan kompetisi tanpa akhir.

Hasad di Zaman Media Sosial

Zaman modern menghadirkan tantangan baru bagi hati manusia. Setiap hari kita disuguhi pencapaian orang lain—kelulusan, pernikahan, karier, hingga perjalanan hidup yang tampak sempurna di layar kecil. Jika hati tidak terlatih, mudah sekali muncul rasa iri. Padahal, apa yang tampak di layar sering kali bukan kenyataan utuh.

Hasad di era digital lebih berbahaya karena tersembunyi. Ia tidak tampak di wajah, tetapi membusuk dalam pikiran. Ia membuat seseorang merasa tidak cukup, meski Allah telah melimpahkan banyak nikmat padanya. Maka, menjaga hati di tengah arus informasi menjadi jihad tersendiri bagi Muslim masa kini.

Kuncinya adalah kesadaran spiritual—bahwa setiap orang berjalan di jalannya masing-masing, dan setiap takdir telah diatur dengan hikmah. Allah tidak pernah salah memberi. Jika kita beriman kepada hal itu, hati akan damai walau dunia tampak penuh persaingan.

Buah Manis dari Hati yang Bersih

Orang yang mampu menghapus hasad dari hatinya akan merasakan kelapangan luar biasa. Ia tidak lagi terbebani oleh perbandingan, dan mulai melihat orang lain sebagai cermin untuk memperbaiki diri. Dalam jiwanya tumbuh cinta, ketenangan, dan kasih. Ia menjadi manusia yang mudah memaafkan dan ringan bersyukur.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَجْتَمِعُ فِي جَوْفِ عَبْدٍ الْإِيمَانُ وَالْحَسَدُ
“Tidak akan berkumpul dalam diri seorang hamba antara iman dan hasad.”
(HR. Nasa’i)

Hadis ini menegaskan bahwa keimanan sejati hanya tumbuh dalam hati yang bersih. Semakin kuat iman seseorang, semakin lapang pula hatinya terhadap nikmat orang lain. Ia percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada perbandingan, melainkan pada ridha dan syukur kepada Allah.

Penutup

Hasad mungkin tampak kecil, tetapi dampaknya besar. Ia merampas ketenangan, memutus silaturahmi, dan menghapus amal. Karena itu, melawan hasad adalah bagian dari menjaga iman. Orang yang hatinya tenang terhadap nikmat orang lain telah meraih derajat mulia di sisi Allah.

Dalam dunia yang sibuk mengejar lebih, qana‘ah—rasa cukup—adalah bentuk kemenangan sejati. Setiap Muslim perlu belajar berkata dalam hati: “Apa yang Allah berikan padaku adalah yang terbaik untukku.”
Itulah kunci kedamaian yang diajarkan para ulama salaf melalui Ad-Durratun Nashihin—bahwa hati yang bersih dari iri adalah hati yang hidup dengan cahaya ridha.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement