Surau.co. Persahabatan adalah salah satu anugerah terbesar dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, hubungan pertemanan tidak hanya berlandaskan pada kesamaan minat atau tujuan duniawi, tetapi juga bernilai ibadah jika dilandasi keikhlasan karena Allah. Kitab Ad-Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi memberikan banyak pelajaran moral tentang adab berteman dan pentingnya menjaga ukhuwah. Melalui penjelasan beliau, kita diajak memahami bahwa persaudaraan sejati adalah cermin ketulusan hati, bukan sekadar ikatan sosial.
Persahabatan dalam Pandangan Islam
Islam memandang hubungan antarmanusia bukan hanya sebagai interaksi sosial, tetapi juga bagian dari ibadah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Orang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menggambarkan betapa pentingnya solidaritas dan kasih sayang antarsesama mukmin. Dalam hubungan pertemanan, seorang Muslim tidak boleh menjatuhkan atau mengkhianati saudaranya. Sebaliknya, ia harus menjadi penopang ketika sahabatnya lemah dan menjadi penuntun ketika sahabatnya tersesat.
Kitab Ad-Durratun Nashihin menegaskan bahwa menjalin hubungan dengan orang saleh adalah sebab datangnya rahmat Allah. Syekh Utsman Al-Khubawi menerangkan bahwa:
وصحبةُ الصالحين تُورِثُ الصلاحَ، ومجالسةُ الفُجّارِ تُورِثُ الفسادَ
“Bersahabat dengan orang saleh menumbuhkan kesalehan, sedangkan bergaul dengan orang durhaka menumbuhkan kebinasaan.”
Kalimat tersebut menggambarkan prinsip penting: karakter seseorang mudah terwarnai oleh lingkungan pertemanannya. Oleh karena itu, memilih teman yang baik merupakan bagian dari upaya menjaga iman dan akhlak.
Memilih Teman dengan Hati dan Akal
Dalam kehidupan modern, pertemanan sering terbentuk karena kesamaan pekerjaan, hobi, atau pandangan politik. Namun, Ad-Durratun Nashihin menuntun kita untuk menimbang lebih dalam. Pertemanan yang baik bukan sekadar menyenangkan, tetapi juga menuntun ke arah kebaikan dan keselamatan akhirat.
Syekh Utsman Al-Khubawi menasihatkan agar seseorang berhati-hati dalam memilih teman, dengan memperhatikan empat sifat utama: jujur, amanah, sabar, dan lemah lembut. Teman yang memiliki sifat-sifat tersebut akan menjadi sumber ketenangan batin dan penyejuk hati di kala ujian melanda.
Al-Qur’an juga mengingatkan tentang pentingnya teman yang saleh.
Allah berfirman:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Pada hari itu, sahabat-sahabat karib menjadi musuh satu sama lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Az-Zukhruf [43]: 67)
Ayat ini menjadi peringatan bahwa hubungan yang tidak dibangun atas dasar takwa akan kehilangan maknanya di akhirat kelak. Maka, berteman karena Allah adalah satu-satunya jaminan agar hubungan itu kekal hingga surga.
Menjaga Persaudaraan dari Permusuhan
Persaudaraan sejati diuji bukan ketika segalanya berjalan lancar, tetapi saat terjadi kesalahpahaman. Islam mengajarkan agar kita mengedepankan maaf dan menahan amarah demi menjaga ukhuwah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لا تَباغَضُوا ولا تَحاسَدُوا ولا تَدابَرُوا وكونوا عبادَ اللهِ إخوانًا
“Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kitab Ad-Durratun Nashihin menekankan bahwa menjaga hubungan baik adalah tanda iman yang kuat. Syekh Utsman menerangkan:
مَنْ أَصْلَحَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ أَصْلَحَ اللهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ
“Barang siapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia.”
Artinya, perdamaian sosial berakar dari kebeningan hati individu. Jika hati seseorang dipenuhi niat tulus karena Allah, maka ia tidak mudah tersulut amarah atau iri kepada sesama.
Etika Berteman: Antara Lisan dan Perbuatan
Adab berteman bukan hanya tentang bagaimana kita bersikap, tetapi juga bagaimana kita berbicara. Kata-kata yang keluar dari lisan bisa menjadi penguat persahabatan atau sebaliknya, menjadi racun yang memecahkannya. Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menegaskan pentingnya menjaga lisan:
احفَظْ لِسانَكَ عن إخوانِكَ فإنَّه سَبَبُ البَغضاءِ
“Jagalah lidahmu terhadap saudaramu, karena lidah sering menjadi sebab timbulnya kebencian.”
Dalam era media sosial, nasihat ini terasa sangat relevan. Banyak hubungan rusak hanya karena komentar tajam atau candaan yang melukai. Padahal, menjaga lisan adalah bagian dari akhlak mulia yang menjadi ciri orang beriman.
Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.”
(QS. Qaf [50]: 18)
Maka, sebelum berbicara, seorang mukmin seharusnya bertanya kepada hatinya: apakah kata ini membawa manfaat atau malah melukai?
Manfaat Menjaga Silaturahmi dan Persaudaraan
Menjaga persaudaraan dan mempererat tali silaturahmi memiliki banyak keberkahan, baik di dunia maupun akhirat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.”
(HR. Bukhari)
Dalam konteks sosial, silaturahmi menumbuhkan empati dan memperkuat jaringan tolong-menolong. Sementara secara spiritual, ia menjadi jalan turunnya rahmat Allah. Dalam Ad-Durratun Nashihin, dijelaskan bahwa orang yang memutus silaturahmi kehilangan keberkahan hidupnya, bahkan tertutup pintu doanya sampai ia memperbaikinya.
Dengan demikian, setiap kali kita menahan ego untuk meminta maaf atau memaafkan sahabat, kita sebenarnya sedang membuka pintu rezeki dan keberkahan yang lebih luas.
Persaudaraan sebagai Cermin Ketulusan Iman
Persaudaraan yang sejati tidak diukur dari seberapa sering kita bertemu, tetapi dari seberapa tulus kita mendoakan satu sama lain.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
دَعْوَةُ المَرْءِ المُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ
“Doa seorang Muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya akan dikabulkan.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa cinta karena Allah adalah cinta yang murni, tidak bergantung pada pamrih atau imbalan. Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menulis bahwa salah satu ciri sahabat sejati adalah yang “tidak berubah kasihnya meski keadaan dunia berubah.”
Artinya, ketulusan persahabatan diuji oleh waktu dan keadaan. Sahabat sejati tetap hadir di saat senang maupun susah, tanpa hitung-hitungan duniawi.
Menghidupkan Akhlak Persaudaraan di Zaman Modern
Di era individualisme, menjaga persaudaraan menjadi tantangan tersendiri. Kesibukan, ambisi, dan arus digital membuat banyak orang lebih mudah terhubung secara daring, tetapi terputus secara batin. Nilai ukhuwah harus dihidupkan kembali dengan tindakan nyata—mengunjungi sahabat yang sakit, menolong yang membutuhkan, atau sekadar mengirimkan doa.
Syekh Utsman dalam Ad-Durratun Nashihin mengingatkan:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ إِخْوَانَهُ فِي الدُّنْيَا لَمْ يُرْحَمْ فِي الآخِرَةِ
“Barang siapa tidak menyayangi saudaranya di dunia, maka ia tidak akan disayangi di akhirat.”
Maka, persaudaraan bukan hanya urusan sosial, tetapi bagian dari perjalanan spiritual menuju rahmat Allah.
Penutup
Dalam setiap jalinan pertemanan yang tulus, terdapat cahaya kasih sayang yang menuntun manusia kepada Allah. Adab berteman dan menjaga persaudaraan sebagaimana diajarkan dalam Ad-Durratun Nashihin bukan sekadar etika sosial, melainkan jalan menuju kebeningan hati.
Ketika kita menjaga lisan, menahan amarah, dan mengulurkan maaf, kita sedang menanam benih surga di hati kita sendiri. Sebab, cinta karena Allah tidak akan pudar oleh jarak, waktu, atau perbedaan. Ia kekal sebagai cahaya iman yang menerangi dunia dan akhirat.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
