Surau.co. Kebohongan sering kali tampak sepele, namun sesungguhnya ia adalah racun yang perlahan membunuh hati dan menghancurkan kepercayaan. Dalam kehidupan modern, di mana citra sering kali lebih dihargai daripada kejujuran, keinginan untuk terlihat sempurna kadang membuat seseorang menempuh jalan dusta. Padahal, Islam menempatkan kejujuran sebagai salah satu pilar akhlak mulia dan menjauhi dusta sebagai bentuk penjagaan terhadap iman.
Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi menjelaskan bahwa dusta bukan hanya dosa yang mencemari lidah, tetapi juga tanda kerusakan hati. Beliau berpendapat:
“الكذب أصل الشرور ومفتاح الفجور”
“Dusta adalah sumber segala kejahatan dan kunci bagi kefasikan.”
Ucapan ini menggambarkan betapa dalamnya luka yang ditimbulkan oleh kebohongan, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Karena itu, menegakkan kejujuran bukan sekadar etika sosial, melainkan bagian dari penyucian jiwa.
Makna Dusta dalam Pandangan Islam
Islam memandang dusta sebagai dosa besar yang menggerogoti iman. Rasulullah ﷺ bersabda:
“إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ…”
(“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga. Seseorang senantiasa berkata jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan dusta membawa kepada kefasikan, dan kefasikan membawa kepada neraka.”) — (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjelaskan hubungan langsung antara ucapan dan takdir spiritual seseorang. Kejujuran bukan sekadar perilaku sosial, tetapi jalan menuju kebahagiaan abadi. Sebaliknya, kebohongan bukan hanya menyesatkan sesaat, melainkan menggelincirkan jiwa menuju kehancuran moral dan spiritual.
Akar Dusta: Dari Hati yang Lemah
Syekh Al-Khubawi menekankan bahwa akar dari dusta adalah kelemahan hati dan ketakutan kepada manusia, bukan kepada Allah. Dalam Ad-Durratun Nashihin disebutkan:
“من خاف الله صدق، ومن خاف الناس كذب”
“Barang siapa takut kepada Allah, ia akan berkata jujur; dan barang siapa takut kepada manusia, ia akan berdusta.”
Dari kalimat ini kita memahami bahwa dusta lahir dari kegelisahan batin dan hilangnya rasa tawakal. Orang yang yakin bahwa rezeki, kehormatan, dan hasil segala urusan ditentukan oleh Allah, tidak akan membutuhkan dusta untuk melindungi dirinya.
Sebaliknya, mereka yang bergantung pada penilaian manusia akan mudah tergoda untuk menutupi kebenaran demi citra dan keuntungan dunia. Maka, melatih diri untuk jujur sejatinya adalah melatih keimanan dan keberanian spiritual.
Dusta dalam Hubungan Sosial dan Dampaknya
Kebohongan tidak hanya melukai diri sendiri, tetapi juga memutus jalinan kepercayaan antarmanusia. Sebuah hubungan — baik pertemanan, keluarga, maupun pekerjaan — hanya bisa berdiri di atas kejujuran. Sekali kepercayaan hilang karena dusta, sulit bagi cinta dan rasa hormat tumbuh kembali.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.”
— (QS. At-Taubah: 119)
Ayat ini mengandung pesan sosial yang kuat. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk jujur, tetapi juga agar selalu bergaul dengan orang-orang jujur. Karena lingkungan yang jujur menumbuhkan hati yang bersih, sementara lingkungan yang penuh dusta menumbuhkan kemunafikan.
Dusta kecil, bila dibiarkan, akan tumbuh menjadi kebiasaan. Seperti api kecil yang tak segera dipadamkan, lama-lama ia membakar seluruh nilai moral yang kita miliki. Oleh sebab itu, kejujuran bukan sekadar kebajikan individual, tetapi tanggung jawab sosial.
Jenis Dusta yang Tersembunyi
Syekh Al-Khubawi juga menyinggung bentuk-bentuk dusta yang sering tidak disadari oleh banyak orang. Beliau menerangkan:
“ومن الكذب ما يكون بالقلب لا باللسان، وهو الرياء في العمل.”
“Di antara bentuk dusta adalah dusta hati, bukan lidah, yaitu riya dalam amal.”
Riya — berpura-pura ikhlas dalam ibadah padahal demi pujian manusia — merupakan dusta batin. Orang yang riya sejatinya menipu dirinya sendiri. Ia mengira sedang beramal untuk Allah, padahal hatinya mengharap balasan dari manusia.
Inilah dusta paling berbahaya karena tidak tampak di permukaan, namun mencemari seluruh amal. Rasulullah ﷺ bersabda:
“أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر”
Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “الرياء”
(“Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil — yaitu riya.”)
— (HR. Ahmad)
Dusta batin ini dapat menghancurkan amal seperti api membakar kayu kering. Maka, kejujuran tidak hanya di lisan, tetapi juga di niat.
Menjaga Lisan sebagai Benteng Iman
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa lisan adalah cermin hati. Jika hati bersih, maka lisan akan jujur. Sebaliknya, bila hati kotor, lisan akan mudah berbohong. Beliau bersabda:
“لا يستقيم إيمان عبد حتى يستقيم قلبه، ولا يستقيم قلبه حتى يستقيم لسانه”
“Tidak akan lurus iman seorang hamba hingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya hingga lurus lisannya.” — (HR. Ahmad)
Kalimat ini menjadi dasar spiritual bahwa menjaga kejujuran bukan hanya urusan ucapan, tapi juga perawatan iman.
Dalam kehidupan sehari-hari, menjaga lisan berarti menolak godaan untuk berbohong, membesar-besarkan sesuatu, atau menyembunyikan fakta demi kenyamanan pribadi. Orang jujur mungkin tidak selalu disukai, tetapi ia selalu dihormati.
Latihan Kejujuran dalam Kehidupan Modern
Di era digital, di mana informasi begitu cepat menyebar, kebohongan bisa berlipat ganda dampaknya. Sekali seseorang menyebarkan berita palsu atau menulis hal yang tidak benar, ia menjadi bagian dari rantai dosa yang meluas. Oleh karena itu, kejujuran di dunia maya menjadi ujian baru bagi umat beriman.
Menjauhi dusta di dunia modern berarti berani berkata benar meskipun sulit, menolak ikut arus fitnah meskipun ramai, dan tidak tergoda untuk tampil sempurna dengan kebohongan digital.
Kejujuran di zaman ini bukan hanya tentang kata-kata, tetapi tentang integritas — kesatuan antara apa yang tampak dan yang tersembunyi. Dan itu hanya mungkin jika hati senantiasa diisi dengan rasa takut kepada Allah.
Cara Membersihkan Hati dari Dusta
Syekh Al-Khubawi menasihatkan bahwa untuk menghindari dusta, seseorang harus memperbanyak dzikir dan muhasabah diri. Ia berkata:
“الصدق نور في القلب، والكذب ظلمة تطفئه.”
“Kejujuran adalah cahaya dalam hati, sedangkan dusta adalah kegelapan yang memadamkannya.”
Maka, cara menghidupkan hati adalah dengan terus melatih diri berkata benar, walau sederhana. Mulai dari hal kecil: menepati janji, berkata sesuai kenyataan, dan tidak menambah atau mengurangi fakta demi kesan baik.
Selain itu, memperbanyak istighfar membantu melembutkan hati. Sebab, kebohongan sering muncul dari hati yang keras dan jauh dari kesadaran akan dosa.
Kejujuran Sebagai Jalan Kedamaian
Orang yang jujur hidup dengan hati tenang. Ia tidak perlu mengingat kebohongan yang diucapkan, karena kebenaran selalu konsisten. Kejujuran membebaskan manusia dari tekanan dan rasa bersalah yang memenjarakan batin.
Sebaliknya, pembohong hidup dengan cemas — takut rahasianya terbongkar, takut kehilangan kepercayaan. Ia tidak pernah benar-benar damai. Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Al-Khubawi mengingatkan:
“الصدق راحة الضمير، والكذب عذاب الضمير.”
“Kejujuran adalah ketenangan hati, sedangkan dusta adalah siksaan batin.”
Kedamaian batin inilah yang menjadi buah dari kejujuran. Dan kedamaian itu adalah nikmat yang tak ternilai.
Penutup
Kejujuran adalah jalan panjang yang terkadang sunyi. Namun, di ujungnya ada cahaya yang tak pernah padam. Dusta mungkin memberi kemenangan sesaat, tetapi ia menciptakan kekalahan yang abadi.
Mari kita renungkan firman Allah:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَانًا نَّصِيرًا
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkanlah aku dari tempat keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.”
— (QS. Al-Isra: 80)
Jujurlah meski sendiri, karena Allah bersama orang-orang yang jujur. Dalam dunia yang sering memuja topeng, jadilah wajah yang jernih. Dalam zaman yang menyanjung kepalsuan, jadilah suara yang benar.
Sebab, hanya dengan kejujuran, hati dapat diselamatkan — dan hubungan antar manusia dapat kembali suci.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
