Surau.co. Dalam kehidupan modern yang serba cepat ini, hubungan antara anak dan orang tua sering kali tergeser oleh kesibukan dan ego. Banyak orang lebih mudah membalas pesan atasan ketimbang menelpon ibunya, atau lebih sabar mendengarkan rekan kerja dibanding ayah yang mulai pelupa. Padahal, dalam pandangan Islam, birrul walidain — berbakti kepada kedua orang tua — bukan hanya kewajiban moral, melainkan juga jalan menuju keberkahan hidup dan ketenangan hati.
Kitab Ad-Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi memberi pencerahan mendalam tentang hal ini. Beliau menegaskan bahwa bakti kepada orang tua bukanlah perintah temporer, melainkan ibadah yang berlangsung sepanjang hayat, bahkan setelah keduanya tiada.
Makna Birrul Walidain dalam Cahaya Wahyu
Dalam Al-Qur’an, perintah berbakti kepada orang tua disebut berulang kali, sejajar dengan perintah untuk menyembah Allah. Allah berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu.” (QS. Al-Isra’: 23)
Ayat ini menunjukkan bahwa menghormati orang tua bukan sekadar sopan santun sosial, melainkan bentuk penghambaan spiritual. Syekh Utsman Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menjelaskan:
قال الشيخ عثمان بن حسن الخُبَوي: برّ الوالدين من أعظم أبواب الجنة، ومن عقّهما فقد أغلق على نفسه بابها
“Bakti kepada kedua orang tua adalah salah satu pintu terbesar menuju surga. Barang siapa durhaka kepada keduanya, maka ia telah menutup pintu itu bagi dirinya sendiri.”
Ungkapan ini mengandung makna mendalam — bahwa setiap tindakan hormat, kasih, dan pengorbanan untuk orang tua sesungguhnya membuka jalan ke surga, sedangkan sikap kasar atau lalai adalah bentuk penutupan rahmat Allah atas diri seseorang.
Meneladani Birrul Walidain dari Para Nabi
Kisah para nabi memberi teladan betapa tinggi derajat bakti kepada orang tua. Nabi Ismail عليه السلام, ketika diperintahkan untuk disembelih oleh ayahnya, menjawab dengan kelembutan yang luar biasa:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Wahai Ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102)
Ayat ini memperlihatkan keseimbangan antara kepatuhan seorang anak kepada ayahnya dan ketundukan kepada perintah Allah.
Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menulis bahwa kisah ini bukan sekadar sejarah, melainkan simbol dari kepasrahan cinta — cinta anak kepada ayah, dan cinta manusia kepada Tuhan.
Birrul walidain sejatinya adalah latihan spiritual. Di dalamnya terkandung keikhlasan, kesabaran, dan kerendahan hati. Barang siapa mampu berbuat baik kepada orang tuanya, ia telah menaklukkan salah satu nafsu terbesar dalam diri: keangkuhan.
Bakti Tak Berhenti di Dunia
Sering kali, seseorang baru merasakan kehilangan orang tua setelah keduanya pergi. Namun, menurut Islam, bakti kepada mereka tidak berakhir dengan kematian. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Doa anak menjadi penopang amal orang tua setelah wafat. Dalam Ad-Durratun Nashihin, dijelaskan:
الولد الصالح عمل لوالديه بعد موتهما، كما كانا عملاً له في حياته
“Anak yang saleh adalah amal bagi kedua orang tuanya setelah kematian mereka, sebagaimana keduanya adalah amal baginya ketika masih hidup.”
Dengan demikian, setiap sujud, doa, dan amal baik yang dilakukan seorang anak akan menjadi cahaya bagi kedua orang tuanya di alam kubur. Maka, mendoakan mereka bukan hanya tanda cinta, melainkan bentuk kelanjutan bakti yang abadi.
Bentuk Nyata Birrul Walidain di Era Modern
Bakti tidak selalu diwujudkan dalam bentuk besar. Dalam kehidupan modern, birrul walidain bisa muncul dalam tindakan sederhana — menahan suara saat berbicara, menunda kesibukan demi menengok orang tua, atau sekadar mendengarkan cerita mereka yang berulang. Rasulullah ﷺ mengingatkan:
رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Keridaan Allah tergantung pada keridaan orang tua, dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua.” (HR. Tirmidzi)
Dalam konteks kini, mungkin kita tidak tinggal serumah, tidak selalu bertemu, dan sibuk dengan tanggung jawab. Tetapi kebaikan hati, perhatian, dan doa adalah bentuk birrul walidain yang tetap relevan. Bakti bukan tentang frekuensi pertemuan, tetapi tentang kedalaman niat dan ketulusan hati.
Ketika Durhaka Menjadi Budaya Halus
Menariknya, bentuk kedurhakaan di zaman modern sering kali tidak tampak sebagai dosa besar. Ia hadir dalam bentuk pengabaian digital — membiarkan pesan ibu tidak terbaca, membalasnya singkat tanpa sapaan, atau sibuk dengan gawai saat ayah berbicara.
Syekh Utsman dalam Ad-Durratun Nashihin memperingatkan:
من عقّ والديه ولو بكلمة فقد عرض نفسه لغضب الله
“Barang siapa durhaka kepada kedua orang tuanya, meski hanya dengan sepatah kata, maka ia telah menyerahkan dirinya pada murka Allah.”
Betapa banyak orang yang mungkin tidak menyadari bahwa diamnya mereka di depan orang tua dengan wajah masam adalah bentuk kedurhakaan hati. Padahal, birrul walidain sejatinya bukan hanya tentang tindakan lahiriah, tetapi juga kelembutan batin dan penghormatan dalam tutur.
Birrul Walidain sebagai Jalan Pembersihan Jiwa
Bakti kepada orang tua adalah sarana tazkiyatun nafs — pembersihan jiwa. Melalui birrul walidain, seseorang belajar mengendalikan ego, menghapus kesombongan, dan menumbuhkan empati. Setiap kali kita menahan diri untuk tidak membantah orang tua, sesungguhnya kita sedang memperbaiki hubungan dengan Allah.
Syekh Utsman menulis:
من أراد أن يطهر قلبه فليبدأ ببرّ والديه، فإن رضاهما مفتاح الرضا الإلهي
“Barang siapa ingin mensucikan hatinya, hendaklah ia memulai dengan berbakti kepada kedua orang tuanya, karena keridaan keduanya adalah kunci ridha Ilahi.”
Kalimat ini menegaskan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, yang salah satu jalurnya melewati cinta kepada orang tua
Refleksi: Memandang Wajah Mereka Adalah Ibadah
Rasulullah ﷺ bersabda:
النظر إلى الوالدين عبادة
“Memandang wajah kedua orang tua adalah ibadah.” (HR. Baihaqi)
Hadis ini mungkin sederhana, tetapi penuh makna. Ia mengingatkan bahwa kasih sayang tidak selalu butuh ucapan, cukup dengan pandangan yang lembut dan hati yang penuh cinta. Dalam pandangan Syekh Utsman, ketika seorang anak memandang orang tuanya dengan hormat, cahaya kasih itu akan kembali menerangi dirinya sendiri.
Penutup
Bakti kepada orang tua adalah kisah cinta yang tidak pernah berakhir — ia dimulai sejak kita dilahirkan, dan terus berlanjut bahkan setelah mereka tiada. Dunia modern boleh mengubah cara kita berinteraksi, tetapi tidak seharusnya mengikis makna birrul walidain.
Bersyukurlah bagi siapa yang masih memiliki kesempatan untuk mendengar suara orang tuanya. Bagi yang telah kehilangan, semoga setiap doa yang terucap menjadi bunga yang harum di alam barzakh mereka.
Karena sejatinya, bakti bukan sekadar kewajiban. Ia adalah cermin cinta, jembatan surga, dan jalan pulang menuju ridha Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
