SURAU.CO – Pada masa awal Allah SWT mensyariatkan puasa, aturan yang berlaku sangat berbeda dari yang dikenal umat Islam sekarang. Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi dalam buku Keistimewaan Puasa Menurut Syariat & Kedokteran (Qultum Media) menjelaskan bahwa pada saat itu umat Islam tidak boleh makan, minum, atau berhubungan dengan suami istri setelah salat Isya. Jika seseorang tertidur sebelum berbuka, maka ia harus menahan lapar dan haus hingga malam berikutnya.
Aturan ini terasa berat, terutama bagi para sahabat yang bekerja keras di siang hari. Meski begitu, mereka tetap menjalankan perintah Allah dengan penuh ketaatan dan kesabaran. Salah satu di antara mereka adalah Qais bin Shirmah Al-Anshari RA , sahabat yang mengalami peristiwa mengharukan hingga menjadi sebab turunnya ayat keringanan dalam puasa.
Qais bin Shirmah dan Kejadian yang Mengharukan
Suatu hari, Qais bin Shirmah menjalankan puasa sebagaimana biasanya. Ketika waktu buka tiba, ia bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu punya makanan?” Sang istri menjawab jujur, “Tidak ada, tetapi aku akan mencarinya untukmu.”
Seharian Qais bekerja keras hingga tubuhnya kelelahan. Ia menunggu istrinya menyiapkan makanan, namun kantuk menguasainya. Ia pun tertidur sebelum sempat membuka. Ketika istrinya kembali membawa makanan, ia mendapati Qais sudah terlelap. Dengan nada sedih, sang istri berkata, “Rugilah kamu,” karena dia tahu suaminya tidak bisa makan hingga malam berikutnya.
Malam itu, Qais tidak sempat berbuka. Keesokan harinya ia tetap berpuasa tanpa makan dan minum sejak dua hari sebelumnya. Akibat kelelahan dan lapar yang menumpuk, tubuhnya tak lagi mampu bertahan. Qais pun jatuh pingsan.
Turunnya Surat Al-Baqarah Ayat 187
Peristiwa yang menimpa Qais bin Shirmah menggugah perhatian Allah SWT. Sebagai bentuk kasih sayang dan keringanan bagi umat Islam, Allah menurunkan Surat Al-Baqarah ayat 187 .
“Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam…” (QS. Al-Baqarah: 187).
Ayat ini mengubah aturan berpuasa secara signifikan. Allah SWT mengizinkan umat Islam makan, minum, dan berhubungan dengan suami istri pada malam hari hingga terbit fajar sebelum salat Subuh. Sejak saat itu, umat Islam tidak lagi mengalami kesulitan seperti yang dialami Qais dan para sahabat sebelumnya.
Makna Benang Putih dan Benang Hitam
Dalam ayat tersebut, Allah SWT berfirman, “hingga jelas bagimu antara benang putih dan benang hitam dari fajar.” Beberapa sahabat menafsirkan kalimat itu secara harfiah. Salah seorang di antara mereka, Adi bin Hatim RA , mengambil dua helai benang — satu putih dan satu hitam — lalu mengamatinya di malam hari untuk mencari perbedaan keduanya.
Melihat hal itu, Rasulullah SAW menjelaskan makna sebenarnya. Beliau bersabda,
“(Bukan demikian), tetapi yang dimaksud adalah gelapnya malam dan terangnya siang (fajar).” (HR.Bukhari)
Penjelasan Nabi SAW menegaskan bahwa tanda dimulainya puasa bukanlah dua benang secara fisik, melainkan peralihan dari kegelapan malam menuju cahaya fajar.
Kegembiraan Umat Islam
Turunnya Surat Al-Baqarah ayat 187 membuat kaum Muslimin bersyukur dan bergembira. Ahmad Rofia Usmani dalam Teladan Indah Rasulullah dalam Ibadah mencatat bahwa para sahabat menyambut keringanan ini dengan penuh suka cita. Mereka merasa lebih mudah menjalankan puasa tanpa harus menanggung beban berat seperti sebelumnya.
Aturan baru tersebut menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya. Allah tidak ingin bersantai umat-Nya dalam beribadah. Ia menurunkan syariah yang seimbang dengan kemampuan manusia sekaligus mengandung nilai spiritual yang tinggi.
Hikmah di Balik Kisah Qais bin Shirmah
Kisah Qais bin Shirmah bukan sekadar cerita tentang sahabat yang pingsan karena lapar. Kisah itu menggambarkan ketulusan dan ketaatan seorang mukmin dalam menjalankan perintah Allah. Qais tidak mengeluh meski tubuhnya lemah. Ia tetap menahan lapar dan haus karena yakin Allah akan menolongnya.
Peristiwa ini mengajarkan bahwa ketaatan tanpa keluhan selalu datangnya pertolongan dan keringanan dari Allah. Setiap kesulitan dalam beribadah mengandung hikmah besar, dan setiap ujian akan berakhir dengan rahmat Allah.
Kisah Qais bin Shirmah Al-Anshari RA menunjukkan bahwa Allah menurunkan syariat Islam secara bertahap sesuai kemampuan manusia. Allah Maha Mengetahui kelemahan hamba-hamba-Nya dan memberikan kemudahan agar ibadah tidak menjadi beban.
Melalui turunnya Surat Al-Baqarah ayat 187, Allah memberikan keringanan besar dalam puasa — ibadah yang kini menjadi salah satu amalan paling dicintai umat Islam di seluruh dunia.
Semoga kisah Qais bin Shirmah menguatkan semangat kita untuk berpuasa dengan penuh keikhlasan dan keteguhan, sebagaimana beliau yang rela menahan lapar demi menaati perintah Allah SWT hingga akhirnya menjadi sebab turunnya ayat penuh rahmat ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
