Kisah
Beranda » Berita » Kisah Akhir Riwayat Umayyah bin Khalaf, Penyiksa Sahabat Nabi

Kisah Akhir Riwayat Umayyah bin Khalaf, Penyiksa Sahabat Nabi

Kisah Akhir Riwayat Umayyah bin Khalaf, Penyiksa Sahabat Nabi
Ilustrasi Umayyah bin Khalaf (Foto: Net)

SURAU.CO – Umayyah bin Khalaf adalah tokoh Quraisy yang paling terkenal karena kekayaannya sekaligus kebenciannya terhadap Islam. Ia hidup di tengah kemewahan, namun hatinya tertutup dari cahaya kebenaran. Riwayat menyebutkan bahwa ia adalah putra Khalaf bin Habib bin Wahab bin Hudzafah, berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya di Jazirah Arab. Kekayaan itu menjadikannya angkuh, kikir, dan gemar memperlakukan budaknya dengan kejam.

Sebagai pemuka Quraisy, Umayyah memiliki banyak budak. Salah satunya adalah Bilal bin Rabah, sosok yang kelak dikenal sebagai muazin pertama dalam Islam. Namun sebelum menjadi sahabat mulia Rasulullah SAW, Bilal pernah mengalami cerminan luar biasa di bawah kekuasaan majikannya yang zalim ini.

Keangkuhan dan Kebencian Umayyah terhadap Islam

Ketika Rasulullah SAW mulai menyebarkan ajaran Islam di Makkah, banyak tokoh Quraisy yang merasa terancam, termasuk Umayyah bin Khalaf. Ia melihat Islam sebagai bahaya besar yang dapat meruntuhkan sistem kepercayaan nenek moyangnya serta mengguncang struktur sosial dan ekonomi kaum Quraisy.

Umayyah tidak hanya menolak ajaran Islam, tetapi juga menjadi salah satu penentang paling keras terhadap Nabi Muhammad SAW. Ia menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang-orang yang telah memeluk Islam, terutama mereka yang berasal dari kalangan budak dan orang lemah.

Ketika mendengar bahwa budaknya sendiri, Bilal bin Rabah, telah mengikrarkan keislaman, amarahnya meluap. Baginya, keislaman Bilal adalah bentuk penghinaan terhadap dirinya sendiri sebagai majikan dan penghinaan terhadap berhala-berhala yang disembah suku Quraisy.

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

Penyiksaan terhadap Bilal bin Rabah

Dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid, dikisahkan bahwa Umayyah menarik Bilal ke tengah padang pasir Makkah yang panas membara. Ia memerintahkan algojonya untuk menelanjangi Bilal, membaringkannya di atas pasir yang membakar kulit, lalu meletakkan batu besar di atas dadanya.

Dengan penuh kebencian, Umayyah memaksanya untuk meninggalkan Islam dan kembali menyembah Lata dan Uzza. Namun Bilal hanya menjawab dengan kalimat yang menggetarkan hati siapa pun yang mendengar, “Ahad… Ahad…” (Allah Yang Maha Esa).

Hari demi hari, Umayyah terus menyiksa Bilal. Ia berharap penderitaan fisik akan membuat budaknya menyerah. Tapi Bilal tetap teguh, menunjukkan keteguhan iman yang luar biasa. Beberapa tokoh Quraisy bahkan merasa iba dan menyarankan Umayyah untuk berhenti, namun enggan menutup hatinya. Ia menolak setiap permintaan untuk menghentikan paksaan itu.

Akhirnya Abu Bakar Ash-Shiddiq datang dan menawar Bilal dengan harga tebusan. Dengan kekuasaan dan hartanya, Umayyah menerima tebusan itu, mungkin tanpa menyadari bahwa ia baru saja kehilangan kesempatan terakhir untuk memperoleh rahmat Allah. Sejak saat itu, Bilal menjadi orang merdeka dan semakin dekat dengan Rasulullah SAW.

Pertemuan Kembali di Medan Badar

Waktu berlalu. Islam tumbuh pesat meski para penentangnya terus berusaha menghancurkannya. Hingga tiba hari yang menjadi titik balik sejarah — Perang Badar , perang besar pertama antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy.

Mengenal Dunia agar Tidak Tertipu olehnya: Tafsir Hikmah Al-Hikam

Di medan Badar, takdir mempertemukan kembali dua sosok yang sebelumnya terikat oleh rantai tertentu: Bilal bin Rabah dan mantan majikannya, Umayyah bin Khalaf. Saat itu, Bilal telah menjadi prajurit Muslim yang gagah berani, sedangkan Umayyah datang sebagai bagian dari pasukan kafir Quraisy yang ingin melampaui Islam.

Ketika Bilal melihat Umayyah di medan perang, ingatannya kembali pada masa-masa kelam ketika tubuhnya disiksa di padang pasir. Amarah dan tekadnya membara. Ia berteriak kepada sahabatnya, “Saudara-saudara Muslim! Inilah Umayyah bin Khalaf, gembong kekafiran!”

Abdurrahman bin Auf, sahabat Rasulullah yang dulunya merupakan teman dekat Umayyah di Makkah, sempat berusaha melindunginya dengan niat menjadikan tawanan perang. Namun, Bilal menolak. Ia tidak akan tenang selama Umayyah masih hidup, selama penyiksa umat Islam itu masih merdeka.

Akhir Tragis Sang Penindas

Umayyah yang dulunya gagah dan sombong kini berdiri dalam ketakutan. Ia sadar bahwa kekuasaan dan hartanya tidak lagi berarti di hadapan orang-orang yang berjuang demi keimanan. Ketika Bilal menantangnya bertarung, ia tak punya pilihan selain mengangkat pedangnya.

Pertarungan sengit pun terjadi. Bilal, yang digerakkan oleh iman dan luka masa lalu, berduel dengan semangat yang tak tergoyahkan. Dalam satu serangan yang cepat dan tepat, pedang Bilal menembus celah baju besi Umayyah. Ia roboh di medan perang, menutup kehidupannya dalam kehinaan.

Panjang Umur Belum Tentu Bermakna: Hikmah dalam Al-Hikam tentang Kualitas Usia

Demikianlah akhir tragis seorang yang menentang kebenaran dan menzalimi orang beriman. Umayyah bin Khalaf, pedagang kaya yang kikir dan sombong, akhirnya tewas di tangan mantan budaknya sendiri — simbol keadilan Allah yang tak pernah tertunda.

Pelajaran dari Kisah Umayyah bin Khalaf

Kisah ini memberi pelajaran mendalam bagi umat Islam. Kekuasaan, harta, dan status sosial tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai iman dan ketundukan kepada Allah. Kesombongan Umayyah menutup pintu hidayah dan menjerumuskannya dalam kebinasaan.

Sebaliknya, kisah Bilal bin Rabah menunjukkan bahwa keimanan yang tulus dan kesabaran yang kokoh akan mengangkat derajat seseorang, meski ia berasal dari kalangan rendah sekalipun.

Umayyah bin Khalaf dikenang bukan karena kekayaannya, melainkan karena kezaliman dan kesombongannya. Sedangkan Bilal mengingat sepanjang masa sebagai simbol keteguhan iman dan privasi dari rantai memilih.

Kisah ini menegaskan firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.

Sejarah Umayyah bin Khalaf adalah cermin bahwa kesombongan hanya akan membawa kehancuran. Sebaliknya, keteguhan iman seperti yang dimiliki Bilal akan selalu menghadirkan pada kemuliaan abadi.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement