SURAU.CO – Banyak orang tua menginginkan anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang shalih, jujur, dan bertanggung jawab. Mereka ingin memiliki keturunan yang berakhlak mulia, rajin beribadah, berbakti kepada orang tua, dan mampu menjadi cahaya bagi masyarakat di sekitarnya. Namun, tidak sedikit dari mereka lupa bahwa jalan menuju itu semua tidak sekadar melalui kata-kata dan nasihat, melainkan melalui keteladanan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Ustadz Mas’ud Hafizhahullah Ta’ala mengingatkan, “Banyak orang tua ingin anaknya shalih, jujur, dan bertanggung jawab. Namun, tidak sedikit orang tua yang justru lari dari hal tersebut. Mari berbenah. Anak belajar bukan dari nasihat, melainkan dari teladan.”
Ungkapan ini begitu dalam. Ia mengetuk hati siapa pun yang mau jujur menilai dirinya.
Keteladanan Adalah Cermin Pendidikan yang Sesungguhnya
Anak-anak adalah peniru yang ulung. Mereka belajar bukan pertama kali dari buku atau guru, tapi dari lingkungan terdekatnya — terutama orang tua. Sejak usia dini, mata mereka merekam setiap gerak-gerik ayah dan ibu. Cara berbicara, cara marah, cara menyelesaikan masalah, bahkan cara orang tua memperlakukan orang lain — semua menjadi pelajaran hidup yang tertanam dalam diri anak.
Apabila orang tua rajin shalat berjamaah, anak akan tumbuh menganggap ibadah itu penting. Jika orang tua senang membaca Al-Qur’an, anak akan merasa bahwa membaca Qur’an adalah bagian dari kehidupan yang indah.
Namun sebaliknya, jika orang tua lebih sering sibuk dengan gawai dan media sosial daripada berinteraksi dengan anak, maka anak pun akan meniru sikap yang sama — mencari perhatian dan kebahagiaan di dunia digital yang tak berbatas.
Krisis Keteladanan di Era Media Sosial
Memperlihatkan kontras: di satu sisi, seorang ayah duduk bersama anaknya membaca Al-Qur’an; di sisi lain, ada tayangan TikTok di layar gawai yang seolah menggambarkan dunia nyata keluarga masa kini. Ini bukan sekadar gambar, tapi potret sosial yang sangat relevan.
Banyak orang tua hari ini ingin anaknya menjauhi pengaruh negatif media sosial, namun justru mereka sendiri yang lebih sibuk berselancar di dunia maya. Anak dilarang bermain TikTok, tapi orang tua menghabiskan waktu berjam-jam menonton video pendek tanpa faedah. Dan Anak diminta disiplin, sementara ayah-ibunya tak menepati janji. Anak disuruh shalat tepat waktu, tapi orang tua masih menunda-nunda.
Inilah krisis keteladanan yang sedang terjadi. Anak-anak tumbuh dalam kebingungan moral. Mereka mendengar pesan yang baik, namun melihat contoh yang bertolak belakang. Ketika ucapan dan tindakan tak sejalan, pesan kebaikan kehilangan kekuatannya.
Pendidikan Dimulai dari Diri Sendiri
Rasulullah ﷺ telah memberikan contoh terbaik dalam mendidik umatnya. Beliau tidak hanya berbicara, tetapi mencontohkan. Allah ﷻ berfirman:
> “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”
(QS. Al-Ahzab: 21)
Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan paling kuat adalah dengan uswah hasanah — keteladanan yang baik. Maka, seorang ayah yang ingin anaknya rajin membaca Al-Qur’an harus terlebih dahulu memperbaiki kebiasaannya dalam membaca Al-Qur’an. Seorang ibu yang berharap anaknya menjaga lisannya, hendaklah ia dahulu menjaga ucapannya dari ghibah dan keluh kesah.
Anak tidak akan mudah percaya pada perintah yang tak dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Sebaliknya, anak akan meneladani tindakan baik yang dilakukan secara konsisten, meski tanpa banyak kata.
Bahaya Teladan yang Buruk
Setiap kebiasaan orang tua akan menurun, baik atau buruk. Jika anak tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kemarahan, caci maki, dan pertengkaran, maka ia belajar bahwa menyakiti adalah hal wajar. Jika orang tua memanjakan anak dengan kemewahan tanpa tanggung jawab, anak belajar bahwa hidup tidak perlu diusahakan.
Media sosial menambah kompleksitas ini. Banyak orang tua yang tanpa sadar mempertontonkan gaya hidup hedonistik kepada anak-anaknya. Mereka lebih sering memotret makanan daripada mensyukuri nikmatnya, lebih sibuk menata feed Instagram daripada menata hati. Anak-anak pun belajar, bahwa kebahagiaan diukur dari likes dan views, bukan dari nilai dan amal saleh.
Padahal Rasulullah ﷺ telah bersabda:
> “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Orang tua adalah pemimpin bagi anak-anaknya. Maka tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial anak, kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Menjadi Teladan di Tengah Godaan Digital
Di era digital ini, menjadi orang tua yang baik bukan sekadar soal memberi makan dan pakaian, tapi juga soal memberi arah. Dunia maya penuh dengan nilai-nilai yang sering bertentangan dengan Islam. Jika orang tua tidak kuat memfilter, bagaimana anak-anak akan mampu melawan derasnya arus tersebut?
Keteladanan di sini menjadi benteng utama. Ajarkan anak untuk tidak kecanduan gawai dengan memberi contoh: batasi waktu bermain ponsel di rumah, matikan televisi ketika azan berkumandang, dan isi waktu bersama keluarga dengan kegiatan yang mendekatkan diri kepada Allah — seperti membaca Al-Qur’an, berdiskusi, atau makan bersama tanpa gangguan gadget.
Lebih dari itu, penting bagi orang tua untuk menampilkan akhlak yang lembut. Jangan sampai dalam upaya melarang anak dari sesuatu yang buruk, orang tua justru bersikap kasar atau marah. Keteladanan bukan hanya soal perilaku baik yang terlihat, tapi juga suasana hati yang ditularkan kepada anak. Anak belajar sabar dari kesabaran orang tuanya. Anak belajar kasih sayang dari kelembutan ibunya.
Teladan yang Membangun Jiwa Anak
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh teladan baik akan memiliki keteguhan moral yang kuat. Mereka belajar bahwa kebaikan bukan sekadar teori, tapi realitas yang hidup di rumahnya. Mereka akan mudah menolak hal-hal buruk di luar, karena sudah melihat keindahan akhlak di dalam keluarganya.
Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak konsisten — di mana ucapan dan tindakan sering bertentangan — akan mengalami krisis identitas. Ia bingung memilih nilai hidup, dan mudah tergoda oleh pengaruh luar.
Oleh karena itu, para ulama terdahulu menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) bagi orang tua sebelum mendidik anak. Sebab, pendidikan bukanlah tentang transfer pengetahuan, tetapi penanaman karakter.
Mari Berbenah Bersama
Kutipan dalam gambar tadi mengajak kita untuk berbenah. Ini bukan sekadar ajakan moral, tetapi seruan spiritual. Setiap orang tua pasti pernah khilaf, pernah lalai, namun tidak ada kata terlambat untuk berubah.
Mari kita mulai dari hal kecil: memperbaiki niat, membiasakan ibadah bersama keluarga, mengurangi waktu bermain gawai, dan memperbanyak doa untuk anak-anak kita. Sebab doa orang tua adalah senjata yang paling ampuh dalam membentuk masa depan mereka.
Ingatlah bahwa anak-anak tidak hanya mewarisi wajah kita, tapi juga cara hidup kita. Jika kita ingin mereka tumbuh menjadi insan yang dekat dengan Allah, maka kita pun harus berusaha mendekat kepada-Nya.
Penutup
Menjadi teladan bagi anak bukan perkara mudah, tapi bukan pula mustahil. Ia membutuhkan kesungguhan, keikhlasan, dan kesabaran. Dunia boleh berubah, teknologi boleh semakin canggih, tapi nilai-nilai Islam tetap abadi: kejujuran, tanggung jawab, dan kasih sayang.
Sebagaimana pepatah Arab mengatakan:
“Tarbiyah itu bukan dari lisan, tapi dari keadaan.”
Anak tidak hanya mendengarkan kita, tetapi melihat dan meniru. Maka, jadilah teladan terbaik di rumah, agar kelak mereka menjadi penerus yang meneladani kita dalam kebaikan dan keimanan.
“Anak belajar bukan dari nasihat, melainkan dari teladan.”
— Ustadz Mas’ud Hafizhahullah Ta’ala. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
