Khazanah
Beranda » Berita » Qana‘ah: Merasa Cukup dan Bahagia Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Qana‘ah: Merasa Cukup dan Bahagia Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Pemuda Muslim bersyukur di bawah langit senja — simbol qana‘ah dan ketenangan hati.
Realistik-filosofis — seorang pemuda Muslim duduk di tepi danau senja dengan tangan di dada, wajahnya damai diterpa cahaya lembut

Surau.co. Dalam dunia yang terus berputar dengan cepat, manusia terus menambah keinginannya hingga batas “cukup” semakin kabur. Karena itu, sifat qana‘ah—yakni rasa cukup terhadap rezeki dan ketentuan Allah—menjadi permata langka yang harus dijaga. Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi dalam kitab klasik Ad-Durratun Nashihin menjelaskan bahwa qana‘ah bukanlah bentuk kemiskinan pilihan, melainkan kemuliaan hati yang memerdekakan manusia dari ketamakan dunia.

Artikel ini berupaya mengajak pembaca untuk kembali memahami makna qana‘ah secara mendalam menurut Ad-Durratun Nashihin. Melalui penelusuran terhadap pandangan para ulama salaf dan kaitannya dengan kehidupan modern, kita akan melihat bagaimana nilai qana‘ah dapat menyelamatkan manusia dari kegelisahan dan rasa kurang yang tak berkesudahan.

Qana‘ah dalam Pandangan Ulama Salaf

Syekh Utsman Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menegaskan bahwa qana‘ah menjadi sumber ketenangan jiwa sekaligus kunci kebahagiaan sejati. Beliau menuliskan sebuah pepatah hikmah yang terkenal:

القناعة كنز لا يفنى
“Qana‘ah adalah harta yang tidak akan habis.”

Ungkapan singkat ini memperlihatkan betapa agungnya kedudukan qana‘ah di mata para ulama. Mereka menilai bahwa harta dunia bisa lenyap dan jabatan dapat berganti, tetapi hati yang qana‘ah tidak akan kekurangan. Dengan kata lain, orang yang qana‘ah mampu menyeimbangkan antara usaha yang sungguh-sungguh dan keridaan terhadap hasil yang Allah tetapkan.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Selain itu, Syekh Al-Khubawi juga menjelaskan bahwa orang yang qana‘ah tidak menjadikan dunia sebagai beban, tetapi memandangnya sebagai titipan sementara untuk bekal menuju akhirat. Dengan pandangan seperti ini, seseorang menjalani hidup dengan tenang karena ia bekerja tanpa diperbudak oleh hasil. Maka, qana‘ah sejati bukanlah sikap pasif atau malas, melainkan ketenangan hati dalam usaha yang disertai tawakal.

Al-Qur’an tentang Rasa Cukup dan Kebahagiaan

Al-Qur’an menuntun manusia agar menilai kebahagiaan bukan dari banyaknya harta, tetapi dari ketenangan hati yang bersandar kepada Allah.

Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Ayat ini mengingatkan manusia bahwa Allah telah menakar segala sesuatu dengan penuh kebijaksanaan. Oleh sebab itu, siapa pun yang menerima takaran Allah dengan ridha akan hidup lapang, sedangkan orang yang menolak takdir-Nya justru akan tenggelam dalam kesempitan jiwa.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Selanjutnya, dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki secukupnya, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.”
(HR. Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa keberuntungan sejati lahir dari tiga unsur utama: keimanan, kecukupan, dan kepuasan batin.

Antara Usaha dan Qana‘ah: Menyatu dalam Tawakal

Sebagian orang sering salah memahami qana‘ah sebagai sikap pasrah tanpa usaha. Padahal, para ulama salaf memandang bahwa qana‘ah berjalan seiring dengan tawakal. Manusia harus berusaha sebaik-baiknya, namun hatinya tidak boleh bergantung pada hasil.

Syekh Al-Khubawi menulis dalam Ad-Durratun Nashihin:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا، واعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
“Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati esok hari.”

Melalui pesan ini, beliau menanamkan keseimbangan hidup yang mendalam. Manusia boleh bercita-cita tinggi dan bekerja keras, tetapi ia tetap harus menyadari bahwa semua hasil ada dalam genggaman Allah. Dengan demikian, qana‘ah sejati berarti berjalan di bumi dengan tekad kuat, namun tetap menundukkan hati di hadapan takdir.

Qana‘ah dan Dunia Modern: Ketika “Cukup” Menjadi Langka

Kini, manusia hidup di zaman yang terus membisikkan pesan tunggal: lebih adalah lebih baik. Media sosial setiap hari menampilkan standar hidup tinggi yang sulit dicapai, hingga banyak orang lupa bersyukur atas nikmat yang telah dimiliki. Akibatnya, sebagian orang bekerja bukan karena kebutuhan, tetapi karena ingin meniru kehidupan orang lain.

Sebaliknya, qana‘ah justru mengajarkan kebebasan dari jebakan perbandingan sosial. Orang yang qana‘ah memandang dirinya berharga bukan karena apa yang ia miliki, tetapi karena keikhlasannya dalam menjalani hidup.

Rasulullah ﷺ bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang di atas kalian. Karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.”
(HR. Muslim)

Hadits ini memberikan terapi batin yang menenangkan di tengah hiruk pikuk kehidupan modern. Melalui ajaran ini, seseorang belajar bahwa qana‘ah bukan berarti memiliki sedikit, tetapi menyadari bahwa apa yang dimilikinya sudah lebih dari cukup.

Tanda dan Buah dari Qana‘ah

Syekh Utsman Al-Khubawi menyebutkan bahwa qana‘ah memiliki tiga tanda utama yang mudah dikenali. Pertama, orang yang qana‘ah tidak iri terhadap rezeki orang lain. Ia yakin bahwa Allah telah menetapkan bagian rezeki bagi setiap makhluk, sehingga ia lebih suka mendoakan keberkahan untuk sesama daripada merasa dengki.

Kedua, ia tidak mengeluh atas takdir. Hatinya selalu ridha terhadap ujian yang Allah berikan karena ia memahami bahwa setiap kesulitan menyimpan hikmah tersembunyi.

Ketiga, ia selalu bersyukur atas hal-hal kecil. Orang yang qana‘ah dapat menemukan kebahagiaan bahkan dalam kesederhanaan—seperti udara segar, senyum anak, atau waktu tenang untuk beribadah.

Dengan menjalani ketiga tanda tersebut, seseorang akan memetik buah qana‘ah: ketenteraman. Dalam jiwa yang qana‘ah tidak ada tempat bagi iri, sombong, atau cemas. Ia hidup ringan, bebas dari kebutuhan palsu yang diciptakan dunia.

Qana‘ah dan Kemandirian Batin

Selain itu, qana‘ah juga melahirkan kemandirian batin. Orang yang qana‘ah tidak mudah tergoda oleh kekuasaan atau rayuan dunia, karena ia yakin hanya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu.

Sebuah hikmah menyebutkan:

من قنع استغنى، ومن لم يقنع لم يغنه مال الدنيا
“Barang siapa yang qana‘ah, maka ia telah kaya. Barang siapa yang tidak qana‘ah, maka harta dunia tidak akan membuatnya cukup.”

Dengan pandangan ini, seseorang menjadi bebas dari ketakutan sosial dan tekanan ekonomi yang berlebihan. Ia tetap bekerja keras, namun tidak kehilangan arah spiritualnya. Ia tidak gila kerja untuk membuktikan eksistensi, sebab tujuan utamanya hanyalah mencari ridha Allah.

Qana‘ah Sebagai Obat Hati yang Gelisah

Pada zaman modern, banyak orang hidup dalam kegelisahan batin. Mereka memiliki kekayaan, namun hati mereka tetap kosong. Mereka terkenal, tetapi merasa tidak berarti. Dalam situasi seperti ini, qana‘ah hadir sebagai obat yang menenangkan hati.

Ketika seseorang mulai mensyukuri hal-hal kecil, dunia luar tidak lagi menakutkan. Hidup terasa sederhana dan ringan.

Allah berfirman dalam Surah Ibrahim ayat 7:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Ayat ini menyampaikan janji sekaligus peringatan. Syukur melahirkan qana‘ah, dan qana‘ah pada gilirannya menumbuhkan keberkahan yang melimpah.

Menanam Qana‘ah dalam Diri: Langkah Praktis

Untuk menumbuhkan qana‘ah, seseorang dapat menempuh beberapa langkah sederhana namun mendalam.

  1. Latih diri untuk bersyukur setiap hari. Mulailah pagi dengan menghitung tiga nikmat kecil yang dirasakan. Cara ini membantu hati untuk fokus pada kelimpahan, bukan kekurangan.
  2. Kurangi kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Batasi konsumsi media sosial yang memunculkan rasa iri, sebab tidak semua yang tampak di layar menggambarkan kenyataan.
  3. Jalani kehidupan yang sederhana namun bermakna. Pilih gaya hidup yang mendukung ibadah dan ketenangan, bukan sekadar mengejar status sosial.

Keempat, perbanyak doa dan dzikir. Dengan berzikir, hati akan tenang dan senantiasa ingat bahwa hanya Allah yang menjadi sumber ketenteraman sejati.

Penutup

Pada akhirnya, qana‘ah menurut Ad-Durratun Nashihin  merupakan seni hidup bahagia yang diajarkan para ulama dan diwariskan para nabi. Nilai ini tidak tumbuh dari harta atau pujian, melainkan dari hati yang ridha terhadap ketentuan Allah.

Hidup qana‘ah bukan berarti berhenti bermimpi, tetapi bermimpi dengan ketenangan—tanpa rasa cemas, iri, atau tamak. Dalam qana‘ah, manusia menemukan kemerdekaan sejati: terbebas dari genggaman dunia, namun semakin dekat dengan Sang Pencipta.

Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenakan mahkota itu setiap hari, di setiap napas, hingga hidup kita menjadi indah dalam kesederhanaan dan lapang dalam kesyukuran.

Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement