Surau.co. Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, manusia sering menjerumuskan dirinya ke dalam pusaran keinginan tanpa ujung. Mereka mengejar harta, jabatan, dan kemewahan sebagai simbol kesuksesan yang tampak gemerlap di mata dunia. Namun, Islam memandang keberhasilan sejati bukan dari seberapa banyak seseorang memiliki, melainkan dari seberapa lapang hatinya dalam menjalani hidup. Inilah makna zuhud — hidup sederhana tanpa terikat oleh dunia, sebagaimana Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri al-Khubawi jelaskan dalam Ad-Durratun Nashihin.
Makna Zuhud dalam Pandangan Islam
Zuhud tidak berarti seseorang harus meninggalkan dunia sepenuhnya. Sebaliknya, manusia perlu menempatkan dunia di tangan, bukan di hati. Melalui cara pandang ini, manusia belajar mengendalikan harta benda agar tidak diperbudak olehnya, tetapi justru menjadikannya sebagai jalan menuju kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu, zuhud hadir sebagai oase ketenangan di tengah gelombang keserakahan zaman.
Syekh Utsman bin Hasan menjelaskan bahwa zuhud berarti meninggalkan kecintaan berlebihan terhadap dunia serta mengutamakan kehidupan akhirat. Beliau menulis:
الزهد أن لا تفرح بما وجد ولا تحزن بما فقد
“Zuhud adalah tidak bergembira dengan apa yang didapat dan tidak bersedih atas apa yang hilang.”
Kalimat singkat ini memuat makna yang sangat dalam. Seorang yang zuhud tidak menolak dunia, tetapi ia menolak menjadikan dunia sebagai pusat hatinya. Ia tetap bekerja, berusaha, dan berinteraksi dengan masyarakat, namun tetap menjaga jarak batin dari ketergantungan duniawi. Ia sadar bahwa segala yang dimilikinya hanyalah titipan sementara.
Al-Qur’an juga menegaskan nilai ini melalui firman Allah:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid [57]: 20)
Ayat ini mengingatkan manusia agar melihat dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Dunia hanyalah bayangan yang semakin menjauh ketika terus dikejar.
Zuhud Bukan Menolak Dunia, tetapi Mengendalikannya
Banyak orang salah memahami zuhud sebagai kemiskinan atau pengasingan diri. Padahal, para sahabat Nabi ﷺ seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan Abu Bakar ash-Shiddiq hidup kaya raya namun tetap berhati zuhud. Mereka menggunakan kekayaan sebagai alat kebaikan, bukan sumber kesombongan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ، وَلَكِنَّ الزُّهْدَ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدِ اللهِ
“Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud adalah ketika engkau lebih percaya pada apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu sendiri.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa inti zuhud terletak pada ketenangan hati. Orang zuhud tidak menolak kenikmatan dunia, tetapi menempatkannya pada posisi yang tepat. Ia menjadikan dunia sebagai sarana ibadah, bukan sebagai tujuan utama hidupnya. Dengan demikian, zuhud melahirkan keseimbangan antara usaha dan tawakal.
Zuhud sebagai Jalan Kebahagiaan Batin
Ketenangan sejati tumbuh dari hati yang tidak bergantung pada dunia. zuhud menurut Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman bin Hasan menulis bahwa orang yang zuhud merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dibeli oleh emas atau permata. Dunia memang mampu memberi kenyamanan, tetapi hanya iman dan zuhud yang mampu menghadirkan kedamaian sejati.
Beliau mengisahkan bahwa seseorang pernah datang kepada Hasan al-Bashri dan berkata, “Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan dalam hidupku.” Hasan al-Bashri menjawab, “Engkau tidak bahagia karena hatimu masih mencintai dunia. Jika engkau melepaskan dunia dari hatimu, engkau akan menemukan kebahagiaan yang hakiki.”
Dari kisah ini, jelas bahwa zuhud mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara kebutuhan jasmani dan kelapangan ruhani. Orang zuhud tahu kapan harus berusaha keras dan kapan harus menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Buah Zuhud: Hati Lapang dan Jiwa Merdeka
Ketika seseorang hidup zuhud, hatinya menjadi lapang. Ia tidak iri terhadap kekayaan orang lain, tidak takut kehilangan harta, dan tidak gundah saat menghadapi kekurangan. Sebab, ia meyakini bahwa semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Dengan kesadaran itu, ia menumbuhkan sikap tawakal sejati.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ
“Agar kamu tidak bersedih atas apa yang luput darimu, dan tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan kepadamu.” (QS. Al-Hadid [57]: 23)
Ayat ini sejalan dengan definisi zuhud yang diuraikan para ulama: hati yang tenang di antara kehilangan dan keberlimpahan. Oleh karena itu, orang zuhud menikmati dunia dengan rasa syukur tanpa keterikatan. Ia mungkin memiliki banyak harta, tetapi hatinya tetap merdeka dari belenggu dunia.
Zuhud dan Kesederhanaan Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ menjadi teladan utama dalam hal zuhud. Meskipun beliau mampu hidup mewah, beliau memilih kesederhanaan. Rumah beliau terbuat dari tanah liat, makanannya sederhana, dan pakaiannya jauh dari kemewahan. Namun, justru dari kesederhanaan itu terpancar kemuliaan yang luar biasa.
Diriwayatkan bahwa:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَنَامُ عَلَى الْحَصِيرِ فَيُؤَثِّرُ فِي جَنْبِهِ
“Rasulullah ﷺ tidur di atas tikar kasar hingga meninggalkan bekas di tubuhnya.” (HR. Bukhari)
Beliau memilih hidup sederhana bukan karena tidak mampu, tetapi karena hatinya tidak bergantung pada dunia. Dengan demikian, kesederhanaan Rasulullah ﷺ menjadi simbol kebebasan batin dan ketenangan jiwa.
Zuhud dalam Kehidupan Modern
Lalu, bagaimana kita bisa menerapkan zuhud di era modern yang serba materialistis? Kuncinya adalah kesadaran. Manusia perlu menyadari bahwa dunia hanyalah ujian, bukan tujuan. Oleh karena itu, seseorang tetap boleh bekerja keras, berkarier, dan memiliki harta, asalkan ia menempatkannya dalam bingkai ibadah.
Seorang profesional yang bekerja jujur tanpa tamak, seorang pengusaha yang dermawan, atau seorang pejabat yang amanah — semuanya dapat hidup zuhud bila hati mereka bersih dari cinta dunia berlebihan.
Zuhud di zaman sekarang berarti hidup secara proporsional: tidak berlebihan dalam gaya hidup, tidak boros dalam pengeluaran, dan tidak mengukur nilai diri dengan ukuran materi. Bahkan, prinsip “cukup” menjadi bentuk kekayaan sejati yang menghadirkan kebahagiaan.
Buah Spiritualitas dari Zuhud
Hidup dengan semangat zuhud menumbuhkan ketenangan batin, kedekatan dengan Allah, dan kepekaan sosial. Orang yang zuhud lebih mudah bersyukur, ringan berbagi, dan enggan menimbun harta. Ia memahami bahwa rezeki sejati terletak pada keberkahan, bukan pada jumlah angka di rekening.
Syekh Utsman bin Hasan menulis:
من زهد في الدنيا أحبه الله، ومن زهد فيما عند الناس أحبه الناس
“Barang siapa zuhud terhadap dunia, Allah akan mencintainya. Dan barang siapa zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain, manusia akan mencintainya.”
Dari sini kita belajar bahwa buah terbesar dari zuhud adalah cinta Allah dan cinta manusia. Kedua hal ini menjadi sumber kebahagiaan sejati yang tidak bisa dibeli oleh harta dunia.
Penutup
Hidup di dunia hanyalah perjalanan singkat menuju kampung abadi. Dunia ibarat ladang untuk menanam amal, bukan tempat untuk menetap. Melalui zuhud, manusia belajar menanam amal kebaikan, bukan menimbun harta. Ia menemukan makna dari kesederhanaan dan kekuatan dari rasa syukur.
Allah mengingatkan:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Tetapi kamu (wahai manusia) lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la [87]: 16–17)
Dengan demikian, zuhud bukanlah sikap meninggalkan dunia, melainkan cara memahami bahwa dunia bukan segalanya. Melalui zuhud, manusia menjaga jiwanya dari keserakahan dan meraih ketenangan sejati. Sesungguhnya, yang benar-benar tenang bukanlah yang memiliki segalanya, melainkan yang merasa cukup dengan apa yang Allah anugerahkan.
*Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
