Surau.co. Dalam setiap hembusan napas yang keluar dan masuk tanpa kita sadari, sejatinya terdapat nikmat besar yang sering terlewat dari kesadaran manusia: nikmat hidup. Syukur bukan sekadar ucapan di bibir, tetapi cara pandang terhadap hidup itu sendiri. Kitab Ad-Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi mengajarkan bahwa syukur adalah seni memandang nikmat dengan hati yang sadar, bukan hanya dengan mata yang melihat.
Dalam dunia modern yang serba cepat dan penuh perbandingan, manusia sering kehilangan kepekaan terhadap nikmat-nikmat kecil yang menghidupi kesehariannya. Artikel ini mengajak kita menelusuri makna syukur menurut para ulama salaf, menimbangnya dalam konteks kehidupan masa kini, dan menemukan kembali seni untuk merasa cukup—seni yang menenangkan hati dan meninggikan derajat ruhani.
Syukur: Pondasi Iman dan Penyejuk Jiwa
Syukur dalam pandangan Islam bukanlah sekadar ekspresi kebahagiaan sesaat, melainkan tanda pengakuan terhadap keagungan Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’’ (QS. Ibrahim [14]: 7)
Ayat ini menunjukkan hubungan langsung antara syukur dan penambahan nikmat. Syukur bukan hanya bentuk rasa terima kasih, tetapi kunci spiritual untuk menarik lebih banyak kebaikan. Ulama menjelaskan bahwa syukur yang sejati melibatkan tiga unsur: pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan perbuatan.
Syekh Utsman Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menulis:
وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Barang siapa tidak bersyukur atas nikmat yang sedikit, ia tidak akan mampu bersyukur atas nikmat yang banyak.”
Ungkapan ini menggugah kesadaran: syukur sejati tidak bergantung pada jumlah nikmat, tetapi pada kepekaan hati untuk mengenali kebaikan Allah dalam setiap keadaan.
Memandang Nikmat dari Kacamata Hati
Syukur bukan sekadar tentang apa yang dimiliki, melainkan bagaimana seseorang memandang kehidupannya. Banyak orang memiliki segalanya, tetapi hidup dalam keluh kesah. Sebaliknya, sebagian orang hidup sederhana namun penuh kebahagiaan karena mampu melihat rahmat Allah di balik hal kecil. Dalam hal ini, syukur adalah kemampuan menata pandangan hati.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian (dalam hal dunia), dan jangan melihat kepada orang yang di atas kalian. Karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini mengajarkan keseimbangan dalam memandang kehidupan. Dengan menundukkan pandangan terhadap dunia, seseorang menegakkan pandangan batin kepada Pemberi nikmat. Dalam setiap keterbatasan, ada pelajaran untuk mensyukuri apa yang sudah dimiliki.
Syekh Al-Khubawi menjelaskan dalam kitabnya, bahwa hati yang tidak pandai bersyukur akan selalu gersang meski dipenuhi kenikmatan dunia. Syukur menghidupkan rasa qana’ah (merasa cukup), dan qana’ah menenangkan jiwa dari gejolak tamak yang tak pernah puas.
Syukur dalam Setiap Keadaan: Ujian dan Nikmat
Salah satu tanda kedewasaan iman adalah kemampuan untuk bersyukur tidak hanya dalam kelapangan, tetapi juga dalam kesempitan. Orang yang memahami makna syukur akan melihat ujian sebagai bentuk kasih sayang Allah, bukan sekadar cobaan berat. Ia menyadari bahwa setiap kesulitan membawa hikmah, dan setiap air mata membawa pelajaran.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin! Semua urusannya adalah baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar dan itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)
Syukur dan sabar adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Ketika nikmat datang, syukur menumbuhkan rasa rendah hati; ketika ujian datang, sabar menjaga hati dari putus asa. Keduanya saling melengkapi dalam membentuk kekuatan spiritual seorang mukmin.
Syukur Sebagai Energi Kehidupan Modern
Dalam konteks dunia modern, syukur sering terpinggirkan oleh budaya konsumtif dan perbandingan sosial yang berlebihan. Media sosial, misalnya, membuat manusia lebih sering menatap hidup orang lain daripada mensyukuri hidupnya sendiri. Akibatnya, rasa iri dan kecewa lebih mudah tumbuh dibanding rasa syukur.
Padahal, syukur adalah energi yang dapat mengubah cara kita menjalani kehidupan. Ia membuat seseorang lebih fokus pada kebaikan yang ada daripada kekurangan yang belum terpenuhi. Seorang yang bersyukur tidak mudah stres, karena ia menilai keberhasilan bukan dari seberapa banyak yang ia miliki, tetapi dari seberapa tenang hatinya.
Syekh Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menulis bahwa orang yang bersyukur akan hidupnya akan memperoleh ketenangan bahkan dalam kesempitan, karena hatinya bergantung pada Allah, bukan pada dunia. Beliau juga berkata:
الشُّكْرُ يُوَرِّثُ الرِّضَا وَالرِّضَا يُنْجِي الْقَلْبَ مِنَ الْحِقْدِ وَالْحَسَدِ
“Syukur menumbuhkan ridha, dan ridha menyelamatkan hati dari kedengkian dan iri.”
Ungkapan ini menjadi sangat relevan di zaman sekarang. Rasa syukur mampu menyehatkan batin di tengah tekanan sosial yang sering menuntut kesempurnaan semu.
Menanam Syukur dalam Kehidupan Sehari-hari
Syukur bukan teori, tetapi praktik yang harus dilatih. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dapat menanamkan syukur melalui tiga langkah sederhana namun mendalam: menyadari, mengucapkan, dan mengamalkan.
Pertama, menyadari nikmat. Mulailah dengan merenungkan hal-hal sederhana—napas yang lancar, mata yang masih bisa melihat, atau sahabat yang setia menemani. Kesadaran ini membuka pintu pertama menuju hati yang lembut.
Kedua, mengucapkan syukur. Ucapan “Alhamdulillah” bukan hanya formalitas, melainkan afirmasi spiritual yang menegaskan hubungan kita dengan Sang Pemberi Nikmat. Dengan lisan yang bersyukur, hati ikut tercerahkan.
Ketiga, mengamalkan syukur. Nikmat terbesar bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga dibagikan. Bersedekah, menolong, dan berbuat baik adalah wujud syukur yang hidup. Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Al-Khubawi menegaskan bahwa amal yang disertai rasa syukur akan berlipat ganda pahalanya di sisi Allah.
Penutup
Syukur bukan sekadar ibadah hati; ia adalah cahaya yang menuntun langkah hidup. Ia menuntun manusia dari kegelapan keluh kesah menuju ketenangan batin yang lembut. Setiap detak jantung, setiap udara yang kita hirup, setiap detik yang kita jalani—semuanya adalah nikmat yang menuntut kesadaran.
Dalam diamnya malam dan hiruk-pikuk siang, syukur adalah nafas spiritual yang menghidupkan jiwa. Maka, setiap kali hati mulai mengeluh, ingatlah firman Allah:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kamu kufur kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 152)
Syukur adalah seni memandang kehidupan dengan mata iman. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan tentang memiliki segalanya, tetapi tentang menyadari bahwa segala yang dimiliki sudah lebih dari cukup.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
