Khazanah
Beranda » Berita » Relevansi Aswaja dalam Menjawab Tantangan Zaman

Relevansi Aswaja dalam Menjawab Tantangan Zaman

Tidak banyak literatur sejarah yang menjelaskan tentang pintu ini karena kondisinya telah ditutup ketika Sultan Shalahuddin memenangkan perang Salib dan membuka Masjid Al-Aqsa. Beberapa pintu lainnya adalah; Gerbang Khalil yang berada di tengah dari barat dinding Masjid Al-Aqsa, Gerbang Nabi Daud, berada di bagian selatan dinding masjid, Gerbang Jadid, berada di bagian sudut barat laut dinding Masjid Al-Aqsa, Gerbang Amud, berada di bagian utara tembok Kota Tua, dan Gerbang Sahira, berada di bagian tengah utara tembok Masjid Al-Aqsa.

SURAU. CO – Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) merupakan salah satu aliran dalam Islam yang menjunjung tinggi keseimbangan, moderasi, dan toleransi. Dalam perjalanan sejarah Islam, Aswaja hadir sebagai jalan tengah antara berbagai pemahaman ekstrem, baik yang terlalu liberal maupun yang terlalu radikal. Prinsip ini membuat Aswaja tetap relevan di setiap zaman, termasuk di era digital dengan derasnya arus globalisasi, digitalisasi, dan pertarungan ideologi.

Aswaja berpegang teguh pada ajaran Al-Qur’an dan Hadis, serta menggunakan ijma’ (kesepakatan para ulama) dan qiyas (analogi hukum) sebagai metode berpikir dan berijtihad. Melalui empat pijakan ini, Aswaja membangun sistem pemahaman yang kokoh namun tetap fleksibel menghadapi perubahan zaman. Karakter inilah yang menjadikan Aswaja sebagai wajah Islam yang ramah, moderat, dan relevan bagi masyarakat luas.

Tantangan Aswaja di Tengah Arus Globalisasi

Namun, Aswaja tidak luput dari tantangan di tengah perkembangan global. Penyebaran pemahaman radikal melalui media sosial menjadi ancaman serius bagi pemahaman keagamaan yang damai. Banyak generasi muda yang terpapar ajaran ekstrem karena kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai Aswaja. Media digital yang seharusnya menjadi sarana edukasi justru sering digunakan untuk menyebarkan narasi kebencian dan perpecahan.

Dalam konteks ini, buku Surat kepada Kaum Sunni karya M Afif Hasan memberikan kontribusi penting. Buku ini hadir sebagai panduan untuk memahami kembali akar dan nilai-nilai Aswaja di tengah tantangan modern. Sebagai pengasuh pondok pesantren, M Afif Hasan menulis dengan dasar keilmuan yang mendalam dan pengalaman nyata di dunia pendidikan Islam. Buku ini menjadi karya ke-27 dalam perjalanan intelektualnya, menunjukkan konsistensi dan dedikasinya terhadap penguatan pemahaman Islam moderat.

Melalui bukunya, M Afif Hasan menjelaskan silsilah Aswaja secara rinci. Ia meneliti bagaimana pemahaman ini muncul sebagai bentuk respons terhadap perpecahan umat Islam di masa awal sejarahnya. Aswaja lahir sebagai upaya menjaga keseimbangan antara teks dan konteks, antara akidah dan akhlak, antara keimanan dan rasionalitas.

Pentingnya Akhlak Mulia

Ciri Khas dan Karakter Moderat Aswaja

Ciri khas Aswaja, sebagaimana diuraikan oleh M Afif Hasan, terletak pada sikap moderat, toleran, dan inklusif. Ia menegaskan bahwa Islam yang sejati bukanlah agama yang menakutkan atau memecah belah, melainkan yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Aswaja menolak kekerasan dan ekstremisme, serta mengajak umat untuk mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan perbedaan.

Salah satu bagian menarik dalam buku ini adalah kritik penulis terhadap pandangan yang dianggap menyimpang dari teologi Aswaja. M Afif Hasan tidak hanya sekedar mengkritik, tetapi juga memberikan argumentasi teologis dan historis yang kuat. Ia menunjukkan bagaimana beberapa pemahaman ekstrem telah melenenceng dari prinsip-prinsip dasar Islam yang damai. Kritik ini bukan untuk menimbulkan permusuhan, melainkan sebagai upaya meluruskan arah agar umat kembali kepada ajaran yang benar.

Lebih jauh lagi, penulis menekankan pentingnya pendidikan sebagai benteng utama menjaga ajaran Aswaja. Menurutnya, lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, berperan strategis dalam membentuk karakter generasi yang berakhlak dan berilmu. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai toleransi, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial. M Afif Hasan meyakini bahwa pendidikan berbasis Aswaja mampu mencetak generasi yang tangguh menghadapi arus globalisasi tanpa kehilangan jati diri.

Aswaja di Era Digital dan Tantangan Literasi Media

Buku ini juga menyoroti pengaruh besar media sosial terhadap pembentukan pemahaman keagamaan. Penulis mengingatkan bahwa informasi yang tersebar di dunia maya tidak selalu benar. Oleh karena itu, masyarakat perlu membangun literasi digital agar tidak mudah terpengaruh oleh berita bohong atau propaganda keagamaan yang menyesatkan. Generasi muda khususnya harus diajak untuk menjadikan media sosial sebagai sarana dakwah positif dan edukatif.

Selain membahas aspek teologis dan sosial, M Afif Hasan juga mengajak umat Islam untuk menghayati Aswaja sebagai praktik hidup. Menurutnya, ajaran Aswaja tidak berhenti pada konsep tataran, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan sehari-hari—dalam sikap saling menghormati, menolong sesama, dan menjaga keharmonisan sosial. Ia menegaskan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan. Islam yang bernafaskan Aswaja harus mampu hidup berdampingan dengan siapa pun, tanpa kehilangan prinsip keimanan.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Kelebihan lain dari buku ini terletak pada bahasanya yang sederhana dan mudah dipahami. M Afif Hasan menulis dengan gaya komunikatif, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat memahami pesan yang disampaikan.

Menjaga Aswaja, Wajah Menjaga Islam yang Damai

Melalui Surat kepada Kaum Sunni , M Afif Hasan menunjukkan bahwa menjaga tradisi Aswaja di era modern bukan berarti menolak kemajuan, melainkan menempatkan nilai-nilai keislaman sebagai pedoman dalam menghadapi perubahan. Aswaja harus tampil sebagai kekuatan moral yang membimbing umat menuju perdamaian, bukan perpecahan.

Di dunia tengah yang semakin terhubung namun rawan disinformasi, Aswaja menjadi mercusuar yang membimbing umat Islam untuk tetap teguh pada prinsip moderasi, keadilan, dan kasih sayang. Dengan memperkuat pendidikan, memperluas literasi digital, dan memelihara tradisi keilmuan pesantren, Aswaja akan terus relevan sebagai benteng moral umat di tengah arus globalisasi.

Dengan demikian, menjaga Aswaja berarti menjaga wajah Islam yang damai dan manusiawi. Serupa dengan pesan M Afif Hasan, umat Islam harus terus berperan aktif menjadi agen perubahan positif—mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin di tengah dunia yang terus berubah.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement