Khazanah
Beranda » Berita » Bahaya Riya dan Pujian: Ketika Amal Tercemar Niat Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Bahaya Riya dan Pujian: Ketika Amal Tercemar Niat Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

ilustrasi manusia merenung di bawah cahaya simbol keikhlasan dalam amal
: Lukisan digital menggambarkan sosok manusia dalam keheningan malam, cahaya lembut menyinari wajahnya simbol perjuangan melawan riya dan pencarian keikhlasan.

Surau.co. Dalam dunia yang semakin haus akan pengakuan, banyak orang berjuang bukan hanya untuk kebaikan itu sendiri, tetapi juga untuk dilihat baik. Media sosial membuat segalanya terbuka — sedekah difoto, ibadah ditulis, dan kebaikan dibagikan dengan niat yang samar. Di sinilah riya, penyakit hati yang halus, bisa menyelinap tanpa disadari. Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menegaskan bahwa riya adalah penyakit batin yang paling berbahaya, karena bisa menghapus nilai amal seseorang meski amal itu tampak besar di mata manusia.

Riya bukan sekadar ingin terlihat baik; ia adalah pengkhianatan terhadap keikhlasan. Allah tidak membutuhkan amal yang tercampur pamrih. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Ayat ini menegaskan bahwa ikhlas adalah ruh setiap amal. Tanpa ikhlas, amal menjadi jasad tanpa jiwa — berdiri indah di pandangan manusia, tapi kosong di hadapan Allah.

Hakikat Riya Menurut Para Ulama

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Riya berasal dari kata ra’a yang berarti “melihat” atau “memperlihatkan”. Dalam konteks ibadah, riya bermakna memperlihatkan amal agar dilihat orang lain dengan tujuan memperoleh pujian atau kedudukan. Syekh Utsman al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menerangkan:

الرِّيَاءُ هُوَ طَلَبُ الْمَنْزِلَةِ فِي قُلُوبِ النَّاسِ بِالطَّاعَةِ
“Riya adalah keinginan untuk mendapatkan kedudukan di hati manusia melalui ketaatan.”

Makna ini menunjukkan bahwa riya tidak hanya soal penampilan fisik dalam ibadah, tetapi juga menyentuh ranah batin: menginginkan pujian, penghormatan, atau simpati karena ibadah yang dilakukan.

Dalam pandangan para ulama salaf, riya adalah cabang dari syirik kecil (syirkul asghar).

Rasulullah ﷺ bersabda:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكَ الْأَصْغَرُ
قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟
قَالَ: الرِّيَاءُ
“Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.”
Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad)

Riya mengubah arah niat dari Allah menuju manusia. Ia menjadikan amal yang seharusnya menjadi persembahan kepada Tuhan, berubah menjadi panggung pujian dunia.

Amal yang Tidak Diterima Karena Riya

Banyak orang beramal dengan niat yang bercampur. Sebagian untuk Allah, sebagian untuk manusia. Namun menurut hadis Nabi ﷺ, Allah tidak menerima amal yang tidak murni untuk-Nya. Dalam hadis qudsi disebutkan:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa melakukan amal yang di dalamnya ia mempersekutukan-Ku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya itu.”
(HR. Muslim)

Maknanya jelas: amal yang di dalamnya ada niat untuk selain Allah tidak memiliki nilai di sisi-Nya. Bahkan, meskipun amal itu tampak mulia — seperti shalat, sedekah, atau dakwah — bila motivasinya adalah ingin dipuji, maka ia gugur dari timbangan akhirat.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Syekh Utsman al-Khubawi mengibaratkan riya seperti racun dalam madu. Terlihat manis, namun perlahan mematikan, beliau berkata:

الْعَمَلُ بِغَيْرِ الإِخْلاَصِ كَالْجَسَدِ بِغَيْرِ الرُّوحِ
“Amal tanpa keikhlasan bagaikan jasad tanpa ruh.”

Tanpa ruh keikhlasan, amal menjadi mayat yang tidak bisa menghidupkan jiwa pelakunya.

Antara Riya dan Sum‘ah: Dua Saudara Kembar Penyakit Hati

Selain riya (memperlihatkan amal), ada pula sum‘ah — yaitu memperdengarkan amal. Jika riya ingin dilihat, maka sum‘ah ingin didengar. Seseorang bisa saja tidak memperlihatkan ibadahnya secara langsung, tetapi menceritakannya agar orang lain tahu bahwa ia beribadah.

Contohnya, seseorang mengatakan, “Tadi malam aku tahajud lama sekali,” atau “Aku baru saja khatam Al-Qur’an.” Ungkapan itu bisa saja benar dan bernilai pahala bila tujuannya adalah menginspirasi orang lain. Tetapi bila niatnya untuk mendapat pujian, maka ia menjadi sum‘ah — dan nilainya sama buruknya dengan riya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ
“Barang siapa beramal untuk memperdengarkan (sum‘ah), Allah akan memperdengarkan aibnya; dan barang siapa beramal untuk memperlihatkan (riya), Allah akan memperlihatkan kehinaannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, Allah akan menyingkap kepura-puraan pelaku riya, baik di dunia maupun di akhirat. Keikhlasan tidak bisa disembunyikan; begitu juga kemunafikan hati, akan selalu terlihat dari ketenangan atau kegelisahan seseorang dalam beramal.

Riya dalam Dunia Modern: Amal yang Terancam oleh “Likes” dan “Views”

Riya di zaman dahulu mungkin terjadi di masjid atau majelis ilmu. Namun di era digital, bentuknya semakin halus dan berbahaya. Setiap unggahan amal baik di media sosial berpotensi menjadi ajang riya modern. Sedekah direkam, ibadah difoto, dakwah dijadikan konten.

Pertanyaannya bukan “Apakah boleh?” — melainkan “Untuk siapa?” Jika niatnya murni untuk menginspirasi dan menyeru kepada kebaikan, maka itu terpuji. Tetapi jika hati bergetar karena jumlah likes, bukan karena keridhaan Allah, maka riya telah masuk tanpa disadari.

Syekh Utsman al-Khubawi mengingatkan dalam Ad-Durratun Nashihin bahwa tanda riya adalah ketika seseorang gembira jika amalnya diketahui orang, dan sedih jika amalnya tidak dilihat. beliau berkata:

مَنْ سُرَّ بِعَمَلِهِ إِذَا رُئِيَ وَحَزِنَ إِذَا لَمْ يُرَ فَهُوَ مُرَائٍ
“Barang siapa gembira saat amalnya dilihat orang, dan sedih saat tidak dilihat, maka ia termasuk orang yang riya.”

Cara Menyembuhkan Hati dari Riya

Riya adalah penyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan latihan hati. Ada tiga langkah utama yang diajarkan para ulama untuk menumbuhkan keikhlasan dan menghapus riya:

  1. Menyadari Kebesaran Allah dan Kecilnya Diri

Riya tumbuh karena keinginan untuk dihargai. Maka obatnya adalah menyadari bahwa semua pujian dan kedudukan sejatinya milik Allah.

Dalam Al-Qur’an disebutkan:

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan segala nikmat yang ada pada kalian, itu berasal dari Allah.”
(QS. An-Nahl [16]: 53)

Maka setiap amal baik bukan hasil kehebatan pribadi, melainkan anugerah yang dipinjamkan Allah untuk sementara.

  1. Menyembunyikan Amal Seperti Menyembunyikan Aib

Ulama salaf gemar menyembunyikan amalnya agar selamat dari riya. Mereka menangis dalam tahajud tanpa seorang pun tahu, dan bersedekah tanpa meninggalkan jejak. Diriwayatkan, sebagian ulama menutupi tangannya ketika memberi sedekah agar tangan kirinya tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanannya — sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
“Dan seseorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Memperbanyak Doa dan Muhasabah

Keikhlasan tidak datang sekaligus, melainkan tumbuh melalui doa dan muhasabah.

Rasulullah ﷺ sering berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas sesuatu yang aku tidak mengetahuinya.”
(HR. Ahmad)

Doa ini adalah pengingat agar kita selalu waspada dari kesyirikan kecil, termasuk riya yang bersembunyi di balik amal baik.

Penutup

Riya adalah kegelapan yang halus, sedangkan ikhlas adalah cahaya yang menembusnya. Dunia mungkin tidak akan tahu siapa yang benar-benar ikhlas, tetapi Allah mengetahui setiap bisikan niat di dalam dada. Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menerangkan:

الإِخْلاَصُ سِرٌّ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ لاَ يَطَّلِعُ عَلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكْتُبَهُ وَلاَ شَيْطَانٌ فَيُفْسِدُهُ
“Ikhlas adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya; malaikat tidak dapat menulisnya, dan setan tidak dapat merusaknya.”

Maka, amal yang ikhlas adalah cahaya tersembunyi yang menerangi hati pelakunya, meski dunia tidak pernah mengetahuinya. Ia mungkin tidak viral, tidak terkenal, dan tidak disorot kamera — tetapi amal itulah yang paling tinggi nilainya di sisi Allah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement