Khazanah
Beranda » Berita » Menjaga Kitab Seperti Menjaga Cinta: Hati-hati, Pelan, dan Penuh Hormat

Menjaga Kitab Seperti Menjaga Cinta: Hati-hati, Pelan, dan Penuh Hormat

santri membersihkan kitab tua dengan hati-hati dan penuh hormat
Seorang santri memegang kitab dengan lembut, melambangkan cinta dan penghormatan terhadap ilmu.

Surau.co. Setiap pagi, ada seseorang yang selalu menyapu meja kayu kecil di pojok ruang tamunya. Di atas meja itu, tergeletak beberapa kitab tua: sampulnya menguning, pinggir halamannya bergelombang karena sering disentuh tangan. Ia membersihkannya dengan hati-hati, seolah kitab itu bisa merasa. Kadang, ia mencium halamannya sebelum membaca — seperti seseorang yang mencium tangan kekasih yang lama dirindukan. Ia tidak sedang memuja kertas, melainkan sedang menghormati ilmu yang hidup di antara huruf-hurufnya.

Dulu, begitulah cara orang-orang tua memperlakukan kitab: dengan cinta, perlahan, dan penuh hormat. Sebab, bagi mereka, kitab bukan sekadar teks yang dibaca, tetapi ruang suci tempat ilmu bersemayam. Dalam pandangan Ibn Hajar al-‘Asqalānī, adab semacam itu bukan bentuk romantisme, melainkan bagian dari ibadah yang hakiki.

Kitab yang Disentuh dengan Hati Akan Menyentuh Balik

Kini, zaman sudah berubah. Buku digital bisa dibuka kapan saja—bahkan di tengah macet atau di sela makan siang. Namun, justru di tengah kemudahan itu, cara kita memperlakukan ilmu sering menjadi tergesa-gesa. Kitab dibaca seperti notifikasi, bukan seperti percakapan. Padahal, ilmu tidak suka diperlakukan seperti makanan cepat saji; ia ingin disapa dengan sabar dan diselami perlahan.

Ibn Hajar menulis dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim:

وَيَنْبَغِي لِلطَّالِبِ أَنْ يُعَظِّمَ كُتُبَ الْعِلْمِ وَيَحْتَرِمَهَا وَلَا يَضَعَهَا فِي مَوَاضِعِ الْهَوَانِ
“Seorang penuntut ilmu hendaknya memuliakan kitab-kitab ilmu, menghormatinya, dan tidak meletakkannya di tempat yang tidak layak.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Bagi Ibn Hajar, cara seseorang memperlakukan kitab menunjukkan bagaimana ia memperlakukan ilmunya. Ketika kitab disingkirkan sembarangan, ilmu pun menjauh dari hati. Sebaliknya, ketika kitab dijaga dengan hormat, ilmu akan membuka dirinya perlahan — seperti bunga yang mekar di tangan yang lembut.

Ilmu Tidak Menyukai Orang yang Tergesa-gesa

Belajar tidak bisa dipaksa seperti mengejar waktu. Ia menuntut ruang hening, kesabaran, dan ketekunan. Karena itu, dalam tradisi para ulama, sebelum membuka kitab, mereka selalu berwudu, duduk menghadap kiblat, lalu membaca doa dengan pelan. Semua itu bukan sekadar ritual, tetapi bagian dari tazkiyah an-nafs — penyucian diri sebelum menyentuh cahaya ilmu.

Ibn Hajar mengingatkan:

لَا يَصِلُ إِلَى الْعِلْمِ مَنْ لَمْ يَتَأَدَّبْ فِي طَلَبِهِ، وَلَمْ يُزَكِّ نَفْسَهُ قَبْلَ الدُّخُولِ فِيهِ
“Tidak akan sampai kepada ilmu orang yang tidak beradab dalam mencarinya dan tidak mensucikan dirinya sebelum mempelajarinya.”

Kalimat itu menjelaskan bahwa belajar dengan tergesa hanya melahirkan kesombongan, bukan pemahaman. Sebab ilmu tidak akan bersemayam di dada yang gelisah. Karena itu, menjaga kitab dengan pelan dan hormat bukan sekadar kebiasaan, melainkan latihan hati untuk menyambut cahaya ilmu dengan kesadaran penuh.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kitab dan Guru: Dua Cahaya yang Tak Boleh Dipisah

Dalam khazanah keilmuan Islam, kitab tidak pernah berdiri sendiri. Ia hidup melalui lisan seorang guru. Membaca kitab tanpa bimbingan guru ibarat menyalakan lilin di tengah angin; cahayanya bisa padam kapan saja.

Ibn Hajar menulis:

الْكِتَابُ لَا يُغْنِي عَنِ الْمُعَلِّمِ، فَإِنَّهُ يُبَيِّنُ مَا أُشْكِلَ وَيُعَلِّمُ مَا خَفِيَ
“Kitab tidak dapat menggantikan guru, karena guru menjelaskan hal-hal yang sulit dan mengajarkan apa yang tersembunyi.”

Oleh karena itu, guru menjadi ruh yang menghidupkan tulisan. Ia tidak hanya menafsirkan teks, tetapi juga memberi arah, konteks, dan keseimbangan. Kitab tanpa guru kehilangan maknanya; guru tanpa kitab kehilangan pijakannya.

Begitulah hubungan antara keduanya — dan murid menjadi tanah tempat keduanya bertemu. Layaknya air, tanah, dan benih, ketiganya saling membutuhkan agar ilmu tumbuh subur dan berbuah amal.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Menjaga Kitab Adalah Menjaga Hati

Tidak mengherankan jika para ulama melarang meletakkan kitab di lantai atau menaruh benda di atasnya. Larangan itu bukan sekadar aturan fisik, melainkan latihan spiritual. Cara kita memperlakukan yang tampak akan membentuk cara kita memperlakukan yang tak tampak.

Ibn Hajar menulis dengan lembut:

احْفَظْ كُتُبَكَ كَمَا تَحْفَظُ قَلْبَكَ، فَإِنَّ الْعِلْمَ فِي الْكِتَابِ كَالنُّورِ فِي الْقَلْبِ
“Jagalah kitabmu sebagaimana engkau menjaga hatimu, karena ilmu dalam kitab itu seperti cahaya dalam hati.”

Ketika seseorang menjaga kitabnya dengan penuh hormat, sebenarnya ia sedang belajar menjaga hatinya sendiri. Sebab ilmu tidak akan betah tinggal di dada yang berantakan. Maka, semakin hati dijaga, semakin terang pula cahaya ilmu yang menyinari hidupnya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement