Surau.co.
Ada kitab yang hanya berhenti di atas meja. Halamannya dibuka, isinya dikutip, lalu segera ditutup tanpa sempat menyentuh hati. Namun, ada pula kitab yang hidup melampaui kertas; ia menuntun perilaku, memengaruhi tutur, dan menumbuhkan kesadaran. Kitab seperti ini tidak sekadar dibaca, melainkan dihidupi setiap hari.
Salah satu di antaranya adalah Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim karya Ibn Hajar al-‘Asqalānī. Karya ini tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga mengajarkan cara menghormati ilmu. Ia tidak berbicara tentang hukum, logika, atau tafsir, melainkan menyingkap etika — jantung dari seluruh pengetahuan.
Ilmu yang Tak Beradab Akan Hilang Cahaya
Di era modern ini, kita hidup di tengah banjir informasi. Segalanya mudah dicari lewat mesin pencari — dari teori hingga tafsir. Namun, semakin deras arus pengetahuan mengalir, semakin redup cahaya yang terasa. Mengapa demikian? Karena ilmu tanpa adab hanya menjadi tumpukan data tanpa makna.
Ibn Hajar membuka kitabnya dengan kalimat yang sangat dalam:
إِنَّمَا الْعِلْمُ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللهُ فِي الْقُلُوبِ لَا يُنَالُ بِكَثْرَةِ الْكِتَابِ وَالدِّرَاسَةِ
“Sesungguhnya ilmu adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati; ia tidak diperoleh hanya dengan banyak membaca atau menelaah.”
Ungkapan itu menampar cara kita belajar hari ini. Banyak orang mengira bahwa semakin banyak buku yang dibaca, semakin tinggi ilmunya. Padahal, ilmu sejati tidak terletak pada tumpukan hafalan, melainkan pada kejernihan hati yang menerimanya. Hati yang sombong tidak akan memantulkan cahaya ilmu.
Karena itu, Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim hadir bukan hanya untuk mengajarkan teori belajar, tetapi untuk menuntun perjalanan spiritual dalam mencari ilmu.
Antara Ilmu dan Laku Sehari-hari
Sering kali, kita menemukan orang yang pandai berbicara tentang kebaikan, tetapi kesulitan melakukannya. Di sinilah tampak penyakit ilmu yang tidak dihidupi. Ibn Hajar mengingatkan:
لَا يَنْتَفِعُ بِالْعِلْمِ إِلَّا مَنْ عَمِلَ بِهِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ دَلِيلٌ عَلَى الْعَمَلِ
“Tidak ada manfaat dari ilmu kecuali bagi orang yang mengamalkannya, sebab ilmu adalah penunjuk jalan bagi amal.”
Belajar seharusnya mengubah cara hidup. Namun, sering kali ilmu hanya berhenti di kepala dan tidak pernah turun ke tangan dan kaki. Seorang guru bisa berbicara tentang kesabaran, tetapi di rumah mudah tersulut amarah. Seorang murid bisa menulis panjang tentang keikhlasan, tetapi tetap haus pujian.
Karena itu, Ibn Hajar menegaskan: ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Ia mungkin tumbuh tinggi, tetapi tidak meneduhkan siapa pun di sekitarnya.
Murid dan Guru Sama-Sama Berjalan dalam Ibadah
Dalam pandangan Ibn Hajar, guru dan murid bukan dua pihak yang berseberangan. Keduanya berjalan bersama di jalan ibadah. Guru memberi bukan karena merasa lebih tahu, tetapi karena ingin berbagi cahaya. Sementara itu, murid belajar bukan untuk menandingi, melainkan untuk memperluas makna.
Beliau menulis:
وَيَنْبَغِي لِلْمُعَلِّمِ وَالْمُتَعَلِّمِ أَنْ يَقْصِدَا بِذٰلِكَ وَجْهَ اللهِ تَعَالَى
“Hendaknya guru dan murid sama-sama meniatkan ilmunya untuk mencari wajah Allah Ta‘ala.”
Kalimat itu menjadi penuntun arah: tujuan akhir dari belajar dan mengajar bukanlah pengakuan, pangkat, atau prestise, melainkan ridha Allah. Ketika niat itu bergeser, ilmu berubah menjadi alat mencari kedudukan, bukan lagi jalan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Rasulullah ﷺ pun mengingatkan:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ
“Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari keridhaan Allah, namun ia mempelajarinya hanya demi dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini bukan sekadar peringatan, tetapi ajakan untuk meluruskan niat. Ilmu yang dihidupi hanya tumbuh dari keikhlasan.
Adab Sebelum Ilmu: Fondasi yang Terlupakan
Di pesantren-pesantren, kita sering mendengar ungkapan, “Adab sebelum ilmu.” Kalimat itu sesungguhnya berakar dari kitab klasik seperti karya Ibn Hajar ini.
Beliau menulis:
عَلَى الْمُتَعَلِّمِ أَنْ يُقَدِّمَ تَطْهِيرَ قَلْبِهِ مِنَ الرَّذَائِلِ قَبْلَ طَلَبِ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ لَا يَدْخُلُ قَلْبًا مُظْلِمًا
“Wajib bagi penuntut ilmu untuk terlebih dahulu membersihkan hatinya dari sifat-sifat buruk sebelum mencari ilmu, karena ilmu tidak akan masuk ke hati yang gelap.”
Adab bukan hanya soal sopan santun, melainkan kesiapan batin untuk menerima kebenaran. Karena itu, orang yang hatinya kotor akan sulit memahami makna sejati ilmu, meski hafal seribu dalil.
Ketika murid kehilangan adab, ilmu berubah menjadi beban. Ketika guru kehilangan adab, ilmu kehilangan keberkahannya. Maka, kitab ini tidak sekadar mengatur tata belajar, melainkan menata kembali niat, hati, dan laku.
Refleksi: Menghidupi Ilmu dalam Kehidupan
Belajar tidak berhenti pada pengumpulan pengetahuan, melainkan pada perubahan diri. Guru dan murid sejatinya sama-sama sedang berlatih menjadi manusia yang sadar akan keterbatasannya.
Kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim mengajarkan bahwa ilmu sejati bukan milik mereka yang pandai berdebat, tetapi milik mereka yang rendah hati dalam belajar. Ia tidak cukup untuk diketahui, melainkan perlu dihidupi — dalam tutur, sikap, dan kasih kepada sesama.
Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah: 11)
Akhirnya, ilmu yang dihidupi akan meninggikan manusia bukan karena titel atau gelar, tetapi karena ketulusan yang menyalakan cahaya dalam dirinya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
