Khazanah
Beranda » Berita » Guru yang Mengajarkan dengan Hati Tidak Butuh Mikrofon

Guru yang Mengajarkan dengan Hati Tidak Butuh Mikrofon

guru mengajar dengan hati di ruang sederhana tanpa mikrofon
Guru mengajar dengan penuh ketenangan tanpa mikrofon, menggambarkan kekuatan keikhlasan dalam mendidik.

Surau.co. Di sebuah mushala kecil di sudut kampung, seorang guru duduk dikelilingi anak-anak yang bersila. Tidak ada pengeras suara, tidak ada papan tulis digital. Hanya suara lembut, mengalir pelan, mengisi ruang dengan kesabaran dan kasih. Anak-anak itu mendengarkan dengan mata berbinar. Mereka tidak hanya mendengar kalimat, tetapi juga keikhlasan yang keluar dari dada. Di situlah kita belajar satu hal: guru yang mengajarkan dengan hati tidak butuh mikrofon.

Ketika Suara Hati Lebih Kuat dari Suara Mikrofon

Zaman ini penuh dengan suara yang berlomba-lomba ingin didengar. Mikrofon, podcast, video ceramah, kelas daring—semuanya menawarkan panggung untuk berbicara. Namun, semakin banyak yang berbicara, semakin sedikit yang benar-benar didengarkan. Karena yang keluar bukan lagi dari hati, tapi dari keinginan untuk dilihat.

Padahal, Ibn Hajar al-‘Asqalānī dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim menulis dengan jelas:

وَيَنْبَغِي لِلْمُعَلِّمِ أَنْ يَجْعَلَ نِيَّتَهُ خَالِصَةً لِلّٰهِ تَعَالَى، لَا يَقْصِدُ بِهَا سِمْعَةً وَلَا جَاهًا
“Seorang guru hendaknya menjadikan niat mengajarnya semata-mata karena Allah Ta‘ala, bukan karena ingin terkenal atau dihormati.”

Mengajar dengan hati bukan berarti menolak teknologi atau menolak mikrofon. Tapi hati yang tulus tidak membutuhkan alat untuk memperkeras suara. Karena yang berbicara bukan hanya lisan, tapi juga nurani. Dan suara nurani, bila jernih, bisa menembus tanpa pengeras suara.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Keikhlasan Adalah Resonansi Terkuat

Pernahkah kamu merasa tergetar mendengar seseorang berbicara dengan lirih, tapi tulus? Atau menangis mendengar guru menasihati dengan lembut tanpa sedikit pun nada marah? Itulah resonansi hati.

Ibn Hajar menulis lagi:

مَنْ عَلَّمَ النَّاسَ لِلّٰهِ تَعَالَى جَعَلَ اللّٰهُ لِكَلَامِهِ قَبُولًا فِي الْقُلُوبِ
“Barang siapa mengajarkan manusia karena Allah Ta‘ala, maka Allah akan menanamkan penerimaan terhadap perkataannya di dalam hati manusia.”

Kata-kata yang lahir dari hati akan mengetuk hati. Guru yang ikhlas tak perlu bicara keras untuk didengar. Ia berbicara pelan, tapi setiap kalimatnya menancap dalam jiwa. Bahkan setelah ia tiada, suaranya tetap hidup dalam ingatan murid-muridnya.

Mikrofon mungkin memperbesar suara, tapi hanya keikhlasan yang bisa memperbesar makna.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Guru Sejati Tidak Mengejar Tepuk Tangan

Dalam dunia yang serba kompetitif, banyak yang ingin tampil sebagai guru—baik di panggung, layar, atau media sosial. Ada yang sibuk dengan gelar, ada yang sibuk membangun citra, hingga lupa bahwa mengajar bukan tentang popularitas.

Ibn Hajar mengingatkan dalam nasihat berikut:

وَلَا يَطْلُبْ الْمُعَلِّمُ بِعِلْمِهِ الْمَالَ وَالشُّهْرَةَ، فَإِنَّ ذٰلِكَ يُذْهِبُ بَرَكَةَ الْعِلْمِ
“Janganlah seorang guru mencari harta atau ketenaran dengan ilmunya, karena hal itu akan menghilangkan keberkahan ilmu.”

Guru sejati tidak mengajar untuk dipuji, tetapi untuk menghidupkan jiwa murid. Ia tidak takut jika kelasnya sepi atau namanya tidak disebut. Ia percaya, yang mendengar dari hati akan membawa ilmunya ke kehidupan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah sebagai seorang guru.” (HR. Ibnu Majah)

Nabi tidak butuh mikrofon, tapi kata-katanya menembus abad. Karena yang berbicara bukan suaranya, tapi hatinya.

Mengajar Adalah Menyampaikan, Bukan Mendominasi

Guru yang baik tidak berteriak untuk didengar. Ia berbicara cukup, lalu memberi ruang bagi murid untuk merenung. Ia tidak mendominasi percakapan, tapi menuntun kesadaran.

Ibn Hajar menulis dalam bagian lain:

عَلَى الْمُعَلِّمِ أَنْ يَتَوَاضَعَ فِي تَعْلِيمِهِ، وَلَا يَسْتَكْبِرَ عَلَى تَلَامِيذِهِ، فَإِنَّ الْكِبْرَ يُظْلِمُ الْقَلْبَ وَيَمْنَعُ نُورَ الْعِلْمِ
“Guru hendaknya rendah hati dalam mengajar, tidak sombong terhadap muridnya, karena kesombongan akan menggelapkan hati dan menghalangi cahaya ilmu.”

Kerendahan hati itulah yang membuat guru disukai bukan karena wibawa semu, tetapi karena ketulusan yang nyata. Guru yang mengajar dengan hati tidak ingin menguasai murid, tapi ingin menemani mereka tumbuh.

Refleksi: Suara Hati yang Tak Pernah Padam

Guru sejati akan terus didengar, bahkan ketika ia tidak lagi berbicara. Karena ilmu yang ia tanam tidak berhenti di telinga, tapi bersemi di jiwa.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Ya Rabb, tambahkanlah aku ilmu.” (QS. Ṭāhā: 114)

Ayat ini tidak hanya untuk murid, tetapi juga untuk guru. Karena mengajar bukan akhir dari belajar, tapi justru cara paling dalam untuk terus belajar.

Maka, guru yang mengajarkan dengan hati tak pernah berhenti menimba makna. Ia tahu bahwa setiap murid adalah cermin dirinya sendiri — tempat ia menemukan lagi alasan mengapa ia mulai mengajar.

Guru yang mengajar dengan hati tidak butuh mikrofon, karena suara hatinya telah cukup untuk mengguncang dunia kecil di dalam dada muridnya. Dan dunia kecil itulah yang perlahan menyalakan cahaya di sekitar kita semua.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement