Surau.co. Di sebuah ruang kelas sederhana, seorang guru berdiri di depan papan tulis. Di wajahnya tampak kelelahan yang tidak ia sembunyikan. Matanya menatap para murid satu per satu, seakan sedang menyalakan pelita kecil di hati mereka. Di luar kelas, hidupnya mungkin tidak mudah — gaji kecil, waktu terbatas, beban berat. Namun setiap kali ia mulai mengajar, semua kesulitan itu seakan menguap. Ia sadar, mengajar berarti menyalakan lilin, bukan membakar diri.
Kalimat ini memang terdengar puitis, tetapi maknanya sangat dalam. Ajaran itu sejalan dengan pesan dalam Kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim karya Ibn Hajar al-‘Asqalānī, yang menekankan tentang tanggung jawab guru, keikhlasan, dan keseimbangan antara memberi manfaat dan menjaga diri.
Guru Bukan Martir, Tapi Penyalur Cahaya
Kita sering mendengar perumpamaan bahwa guru adalah “pahlawan tanpa tanda jasa yang rela membakar diri demi menerangi orang lain.” Ucapan itu memang indah, tetapi jika direnungkan lebih jauh, maknanya perlu diluruskan. Guru sejati tidak seharusnya terbakar habis. Ia bukan korban, melainkan penjaga nyala.
Ibn Hajar menulis dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim:
وَيَنْبَغِي لِلْمُعَلِّمِ أَنْ يَقْصِدَ بِتَعْلِيمِهِ إِحْيَاءَ الْعُلُومِ وَتَبْلِيغَ الْحِكْمَةِ، لَا طَلَبَ الْمَالِ وَلَا السُّمْعَةِ
“Hendaknya seorang guru berniat mengajarkan ilmu untuk menghidupkan pengetahuan dan menyebarkan hikmah, bukan untuk mencari harta atau popularitas.”
Ungkapan ihyā’ al-‘ulūm — “menghidupkan ilmu” — menjadi kunci penting. Guru yang baik tidak bekerja demi penghargaan, melainkan berusaha menjaga agar ilmu tetap hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, ia tidak membakar dirinya sendiri; ia menyalakan cahaya yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, mengajar bukan berarti kehilangan diri, tetapi menemukan makna baru di dalam memberi.
Ilmu yang Diajarkan dengan Cinta Akan Hidup Lebih Lama
Di tengah kehidupan modern, banyak guru merasa tertekan oleh administrasi, target, dan tuntutan hasil. Akibatnya, semangat mengajar perlahan meredup. Namun, jika mengajar dilakukan dengan cinta, energi itu justru tumbuh tanpa batas.
Ibn Hajar menulis lagi:
مَنْ عَلَّمَ النَّاسَ وَأَصْلَحَ نِيَّتَهُ نُفِخَ فِي قَلْبِهِ نُورُ الْحِكْمَةِ وَالْبَرَكَةِ فِي عِلْمِهِ
“Barang siapa mengajar manusia dengan niat yang baik, maka Allah akan meniupkan ke dalam hatinya cahaya hikmah dan memberkahi ilmunya.”
Dengan kata lain, ketika niat seorang guru tulus, ilmunya menjadi berkah. Ia tidak berhenti di kepala murid, melainkan menyentuh hati mereka. Seperti lilin yang menyalakan lilin lain, cahayanya berpindah tanpa kehilangan sinar aslinya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menegaskan bahwa mengajar adalah ibadah, bukan pengorbanan buta. Guru yang mengajar dengan cinta sedang menyalakan api suci dalam jiwa, bukan membakar dirinya sampai padam.
Menjaga Diri Agar Ilmu Tidak Padam
Bagaimanapun, guru tetap manusia. Ia punya batas tenaga, rasa lelah, dan kebutuhan untuk merawat dirinya sendiri. Sering kali, karena semangat memberi, seorang guru lupa menjaga keseimbangan batinnya.
Dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, Ibn Hajar memberikan nasihat yang sangat bijak:
لَا يُفْرِطِ الْمُعَلِّمُ فِي التَّعْلِيمِ حَتَّى يُتْعِبَ نَفْسَهُ أَوْ يُضَيِّعَ وَقْتَهُ عَنْ فَرَائِضِهِ وَحَقِّ نَفْسِهِ
“Janganlah guru berlebihan dalam mengajar hingga ia melelahkan dirinya atau mengabaikan kewajibannya dan hak dirinya sendiri.”
Pesan ini terasa menenangkan. Mengajar memang mulia, tetapi berlebihan hingga melupakan diri bukanlah bentuk pengabdian, melainkan ketidakadilan terhadap diri sendiri. Karena itu, guru perlu tahu kapan waktunya menyalakan lilin, dan kapan menjaga nyalanya agar tidak padam.
Dengan menjaga keseimbangan itu, guru tidak kehilangan kebahagiaan pribadi. Justru, keseimbangan antara memberi dan merawat diri menjadi bentuk keikhlasan yang paling sejati.
Guru yang Tenang Adalah Guru yang Mendidik dengan Hati
Guru yang bijak tidak perlu meninggikan suara agar didengar. Ia berbicara lembut, namun setiap kata menembus hati. Ia paham bahwa ilmu tidak bisa dipaksakan masuk ke kepala murid; ia harus diantar dengan kesabaran dan kasih sayang.
Ibn Hajar menulis:
لْيَكُنِ الْمُعَلِّمُ رَفِيقًا بِالطَّالِبِ، رَحِيمًا بِهِ، كَمَا يَرْحَمُ الْوَالِدُ وَلَدَهُ
“Hendaknya guru bersikap lembut kepada murid, penuh kasih sayang seperti kasih seorang ayah kepada anaknya.”
Kelembutan bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kedewasaan jiwa. Guru yang lembut mampu menyalakan semangat tanpa melukai perasaan. Ia tahu, kata-kata yang tajam bisa memadamkan cinta belajar, sedangkan kelembutan mampu menghidupkan semangat bahkan pada hati yang hampir menyerah.
Refleksi: Menyalakan Lilin Tanpa Padam
Setiap guru, pada akhirnya, akan bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ilmu yang aku ajarkan benar-benar sampai ke hati muridku? Apakah aku sudah tulus, atau masih mengejar pujian?
Pertanyaan ini penting. Sebab, seperti ditegaskan Ibn Hajar, ilmu yang diajarkan tanpa adab akan kehilangan keberkahan. Guru sejati tidak menilai keberhasilan dari tepuk tangan, melainkan dari perubahan kecil yang tumbuh di hati muridnya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fāṭir: 28)
Ayat ini mengingatkan bahwa guru sejati adalah ia yang menyadari kebesaran Allah, bukan kebesaran dirinya. Ia menyalakan lilin ilmu dengan rendah hati, tanpa ingin menjadi pusat cahaya.
Mengajar, pada akhirnya, bukan tentang pengorbanan yang menghabiskan, tetapi tentang keberlanjutan yang menumbuhkan. Cahaya yang dinyalakan dengan ikhlas tidak akan padam. Ia akan berpindah dari satu hati ke hati lain, terus menyala bahkan ketika sang guru telah pergi meninggalkan dunia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
