Surau.co. Di sebuah ruang kelas kecil, seorang guru menulis pelan di papan tulis. Suaranya lembut, tak pernah meninggi. Ia tahu sebagian muridnya mungkin tidak terlalu memperhatikan. Beberapa sibuk mencatat, sebagian lain menguap. Namun, ia tetap melanjutkan penjelasannya dengan sabar. Dalam hati, ia berbisik, “Aku hanya ingin ilmu ini sampai, tak penting mereka mengingat siapa yang menyampaikannya.”
Berada Dalam Dunia yang Haus Pengakuan
Dalam dunia yang semakin haus akan pengakuan, sikap seperti itu terasa langka. Kini, di media sosial, banyak orang berlomba agar dikenang, disebut namanya, atau diakui sumbernya. Padahal, menurut pandangan para ulama klasik, guru sejati justru tidak takut dilupakan. Ia memahami bahwa cahaya ilmu tidak memerlukan nama sebagai bahan bakarnya, melainkan keikhlasan hati.
Ilmu Itu Bukan Tentang Siapa yang Menyampaikan, Tapi Bagaimana Ia Menyala
Kita hidup di zaman yang mencatat hampir segalanya. Setiap ide, kutipan, dan pemikiran ingin dikaitkan dengan seseorang. Namun, adab para guru masa lalu berbeda jauh. Mereka tidak sibuk menulis nama sendiri, melainkan menanamkan makna di dalam jiwa muridnya.
Ibn Hajar al-‘Asqalānī dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim menulis:
وَيَنْبَغِي لِلْمُعَلِّمِ أَنْ يُخْلِصَ نِيَّتَهُ فِي التَّعْلِيمِ لِلّٰهِ تَعَالَى، وَلَا يَقْصِدَ بِهِ سِمْعَةً وَلَا جَاهًا وَلَا مَالًا
“Seorang guru hendaknya mengikhlaskan niatnya dalam mengajar karena Allah Ta‘ala, dan tidak menjadikan pengajarannya sebagai jalan mencari nama, kedudukan, atau harta.”
Kalimat ini menampar kesadaran kita yang hidup di zaman penuh “branding” dan pencitraan. Bagi Ibn Hajar, tujuan tertinggi dari mengajar bukanlah agar dikenal, melainkan agar cahaya pengetahuan menyala dalam hati murid.
Guru sejati tidak ingin menjadi pusat perhatian. Ia justru berharap muridnya melampaui dirinya. Ia seperti lilin yang rela habis demi menerangi, tanpa peduli siapa yang menikmati sinarnya.
Mengajar dengan Niat Membersihkan, Bukan Menguasai
Tugas seorang guru bukan menciptakan pengikut, melainkan memerdekakan pikiran. Ia tidak sekadar mengisi kepala murid dengan hafalan, tapi juga membersihkan hati dari kesombongan dan kebodohan.
Ibn Hajar menulis lagi:
إِذَا عَلِمَ الْمُعَلِّمُ أَنَّ نَفْسَهُ أَهْلٌ لِلتَّعْلِيمِ فَلْيُقَدِّمْ عَلَيْهِ نِيَّةَ التَّطْهِيرِ لِنَفْسِهِ وَغَيْرِهِ
“Jika seorang guru merasa dirinya layak mengajar, hendaklah ia mendahulukan niat untuk menyucikan dirinya dan orang lain.”
Kalimat ini mengubah cara pandang kita. Mengajar bukan hanya soal mentransfer ilmu, tetapi juga menyucikan batin—baik bagi guru maupun murid. Guru yang ikhlas tahu bahwa setiap pelajaran yang ia sampaikan adalah proses pembersihan jiwa.
Karena itu, ia tidak marah ketika muridnya lebih terkenal darinya. Ia pun tidak kecewa bila namanya tidak tercantum di catatan kaki buku. Sebaliknya, ia tenang. Ia paham bahwa ilmunya bukan untuk dikenang, tapi untuk menuntun.
Ketika Nama Bukan Lagi Tujuan
Ada kisah menarik tentang Imam Sufyan ats-Tsauri. Suatu hari, beliau berkata, “Aku tidak pernah merasa lebih hina daripada ketika seseorang memanggilku dengan gelar yang aku sukai.” Ia takut rasa ingin diingat akan menghapus keberkahan amalnya.
Demikian pula para ulama lainnya. Mereka menulis ratusan kitab tanpa menonjolkan nama sendiri. Bahkan, banyak karya klasik yang anonim—tanpa diketahui penulisnya. Namun, cahaya ilmu mereka tetap bertahan berabad-abad lamanya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Guru sejati tidak takut dilupakan. Sebab, yang ia kejar bukanlah ucapan terima kasih manusia, tetapi ridha Allah. Nama mungkin hilang, tapi niat yang tulus akan kekal di sisi Tuhan.
Mengajar Adalah Jalan Sunyi yang Mulia
Mengajar adalah pekerjaan sunyi. Tidak ada sorotan lampu, tidak ada tepuk tangan panjang. Namun, justru dalam kesunyian itulah seorang guru menemukan makna sejati dari pengabdian.
Ibn Hajar kembali menulis:
مَنْ عَلَّمَ النَّاسَ وَنَصَحَهُمْ وَدَعَاهُمْ إِلَى الْخَيْرِ كَانَ لَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِعِلْمِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa mengajarkan manusia, menasihati mereka, dan mengajak mereka kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala dari setiap amal mereka hingga hari kiamat.”
Kutipan ini menjadi penghiburan bagi setiap guru yang merasa usahanya tak terlihat. Allah tidak menilai seberapa banyak orang mengenang kita, melainkan seberapa besar manfaat yang tumbuh dari tangan kita.
Guru yang mengajar dengan cinta memahami bahwa muridnya mungkin lupa wajah atau suaranya, tetapi tidak akan pernah lupa cahaya dari ilmunya.
Refleksi: Saat Kita Ikhlas Menjadi Bayangan
Menjadi guru yang tidak takut dilupakan adalah puncak keikhlasan. Ia memilih menjadi bayangan yang meneduhkan, bukan patung yang ingin dipuja.
Di tengah dunia yang semakin bising oleh ambisi, guru yang tenang dan tulus ibarat oase. Ia mengingatkan bahwa ilmu bukan milik siapa pun—ilmu adalah milik Allah, dan manusia hanyalah penyalur sementara.
Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Hadis itu tidak menyebut nama, tidak mengagungkan siapa gurunya atau muridnya. Yang penting, proses belajar itu terus berlangsung, dan ilmu itu tetap hidup.
Karena itu, bila suatu hari engkau mengajar—di ruang kelas, di mushala, atau bahkan lewat percakapan sederhana—jangan resah bila namamu tak disebut. Mungkin muridmu lupa siapa yang mengajarinya, tetapi Allah tidak pernah lupa siapa yang menanamkan kebaikan itu di hatinya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
