Khazanah
Beranda » Berita » Jangan Duduk Lebih Tinggi dari Gurumu, Bahkan dalam Pikiran

Jangan Duduk Lebih Tinggi dari Gurumu, Bahkan dalam Pikiran

murid duduk dengan penuh hormat di depan gurunya di ruang belajar tradisional
Seorang murid menunduk di hadapan gurunya, melambangkan ketundukan hati dan hormat dalam menuntut ilmu.

Surau.co. Ada masa ketika seorang murid tidak berani duduk di depan gurunya tanpa izin. Ia menunduk, menyimak, dan menahan napas ketika sang guru berbicara. Bukan karena takut, tapi karena hormat. Kini, di zaman ketika semua orang bisa bicara dan merasa tahu segalanya, batas antara guru dan murid mulai kabur. Dalam dunia digital, seorang murid bisa menegur, membantah, bahkan menertawakan gurunya di ruang komentar. Padahal, dalam pandangan para ulama, menghormati guru bukan hanya soal posisi duduk, tapi juga posisi hati dan pikiran.

Adab yang Hilang di Tengah Kemudahan Akses Ilmu

Hari ini, ilmu bisa diakses dari mana saja. Satu klik di gawai, dan kita bisa membaca kitab, menonton kajian, atau mendengar ceramah dari siapa pun. Namun, seiring dengan kemudahan itu, adab pelan-pelan tergerus. Murid merasa sejajar, bahkan lebih tahu, hanya karena menemukan satu referensi yang berbeda.

Dalam kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, Ibn Hajar al-‘Asqalānī memberi nasihat yang terasa sangat relevan untuk zaman ini:

وَمِنْ أَدَبِ الطَّالِبِ مَعَ مُعَلِّمِهِ أَنْ لَا يَتَقَدَّمَ عَلَيْهِ فِي مَجْلِسٍ وَلَا كَلَامٍ وَلَا فِكْرٍ
“Termasuk adab murid terhadap gurunya adalah tidak mendahuluinya dalam majelis, dalam ucapan, dan bahkan dalam pikiran.”

Kalimat terakhirnya — “wala fikr” — begitu menohok. Bahkan dalam pikiran pun, seorang murid tidak boleh merasa lebih tinggi dari gurunya. Ini bukan soal merendahkan diri secara buta, melainkan latihan spiritual untuk menundukkan ego.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Di sinilah letak keindahan adab Islam: ia tidak berhenti di perilaku lahiriah, tetapi menembus ruang batin manusia. Duduk lebih rendah dari guru hanyalah simbol. Yang lebih penting adalah hati yang tunduk.

Menghormati Guru Adalah Menghormati Ilmu

Setiap guru membawa amanah ilmu. Ia adalah perantara antara murid dan pengetahuan, antara kebodohan dan pencerahan. Maka, ketika kita menghormati guru, sejatinya kita sedang menghormati ilmu itu sendiri.

Ibn Hajar menulis lagi dalam kitabnya:

الْمُعَلِّمُ سَبَبٌ لِحَيَاةِ الْقُلُوبِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يُحْتَرَمَ كَمَا يُحْتَرَمُ الْأَبُ
“Guru adalah sebab hidupnya hati, maka ia seharusnya dihormati sebagaimana seorang ayah dihormati.”

Betapa dalam makna ini. Guru bukan hanya pengajar, tapi penghidup hati. Tanpa guru, ilmu hanya menjadi kumpulan huruf yang kering. Dengan guru, huruf-huruf itu menjadi hidup dan memberi arah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah sebagai seorang guru.” (HR. Ibnu Majah)

Maka, menghormati guru adalah meneladani cara kita menghormati Rasul. Sebab setiap guru, pada hakikatnya, adalah pewaris misi kenabian: membawa manusia dari gelap menuju terang.

Ketika Pikiran Ingin Lebih Tinggi

Sering kali, kita tidak menyadari bahwa kita duduk “lebih tinggi” dari guru kita bukan secara fisik, tapi secara batin. Kita menilai, mengkritik, atau menyepelekan tanpa menyelami. Kita lupa bahwa seorang guru memiliki perjalanan panjang — ilmu yang ditempa, pengalaman yang diuji, dan hikmah yang disaring dari kehidupan.

Ibn Hajar menulis peringatan yang lembut namun tajam:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

لَا يَسْتَقِلَّ الطَّالِبُ شَيْئًا مِنْ فَضْلِ مُعَلِّمِهِ وَلَا يَنْسِبَ الْفَضْلَ إِلَى نَفْسِهِ
“Janganlah seorang murid meremehkan keutamaan gurunya, dan jangan pula menisbatkan keutamaan ilmu kepada dirinya sendiri.”

Sombong terhadap guru adalah bentuk kesombongan terhadap ilmu. Karena ilmu tidak pernah datang kepada hati yang congkak. Ia hanya datang kepada mereka yang menunduk. Seperti tanah rendah yang mampu menampung air, hati yang rendah adalah tempat terbaik bagi turunnya ilmu.

Adab Duduk Adalah Simbol Ketundukan Hati

Tradisi pesantren di Nusantara masih menyisakan jejak keindahan ini. Santri tidak duduk sejajar dengan kiai tanpa izin. Mereka menunduk, mencium tangan, dan menyimak tanpa menyela. Sebagian orang modern mungkin menganggapnya kuno, tapi sesungguhnya itulah latihan spiritual yang halus.

Dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, Ibn Hajar menegaskan:

وَلَا يَجْلِسْ فِي مَجْلِسِ الْعَالِمِ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلَا يَرْفَعْ صَوْتَهُ فَوْقَ صَوْتِهِ
“Janganlah murid duduk di majelis gurunya tanpa izin, dan jangan meninggikan suaranya di atas suara gurunya.”

Adab duduk bukan hanya aturan etika sosial, tetapi bentuk penghormatan terhadap suasana batin ilmu. Duduk sejajar tanpa izin bisa berarti merasa sejajar dalam kehormatan. Padahal, guru bukan sekadar orang yang lebih tahu, tetapi yang lebih dahulu berkorban untuk tahu.

Refleksi: Belajar Menjadi Murid Seumur Hidup

Menghormati guru bukan berarti menutup ruang berpikir kritis. Justru sebaliknya, adab adalah fondasi agar pikiran tetap jernih. Karena siapa pun yang kehilangan hormat, akan kehilangan hikmah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak ulama.” (HR. Ahmad)

Hormat kepada guru adalah bagian dari ibadah. Ia bukan beban, tapi sumber keberkahan. Dan barangkali, di dunia yang semakin bising ini, cara paling sederhana untuk menghormati ilmu adalah dengan menundukkan hati di hadapan mereka yang telah menuntun kita mencintainya.

Jangan duduk lebih tinggi dari gurumu — bahkan dalam pikiran. Karena dari situlah cahaya ilmu akan menemukan jalannya menuju hatimu.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement