Khazanah
Beranda » Berita » Menghafal dengan Cinta, Bukan dengan Tekanan

Menghafal dengan Cinta, Bukan dengan Tekanan

guru dan murid menghafal Al-Qur’an dengan cinta
Guru membimbing murid menghafal dengan lembut, simbol harmoni antara ilmu dan kasih.

Surau.co. Di banyak pesantren dan sekolah Islam, kita sering menyaksikan pemandangan yang serupa: seorang anak duduk bersila di depan mushaf, bibirnya bergerak pelan, matanya sayu. Di hadapannya berdiri seorang ustaz yang memegang pena, siap menilai lancar tidaknya hafalan sang murid. Kadang, ketika lidahnya terpeleset sedikit saja, terdengar suara teguran: “Ulangi dari awal!”

Pemandangan itu tampak biasa. Tapi di baliknya, sering tersembunyi rasa cemas, tekanan, bahkan takut. Menghafal yang seharusnya menjadi jalan cinta menuju Allah, berubah menjadi beban. Padahal, ilmu dan hafalan akan tumbuh indah bila disirami kasih, bukan dipupuk oleh tekanan.

Cinta yang Menghidupkan Hafalan

Dalam kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, Ibn Hajar al-‘Asqalānī menegaskan bahwa niat adalah jantung dari setiap proses belajar. Beliau menulis:

مَنْ فَضْلِ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ إِنَّمَا هُوَ فِي حَقِّ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ بِعِلْمِهِمْ الَّذِينَ قَصَدُوا بِهِ وَجْهَ اللهِ الْكَرِيمِ
“Keutamaan ilmu dan para ahlinya sesungguhnya adalah bagi ulama yang mengamalkan ilmunya dan meniatkannya semata-mata karena Allah Yang Maha Mulia.”

Menghafal dengan cinta dimulai dari niat yang jernih. Seorang murid yang meniatkan hafalannya bukan untuk nilai, bukan untuk sanjungan, tapi agar hatinya semakin dekat dengan Allah—itulah yang dimaksud dengan “niat karena wajah Allah”. Di sinilah cinta bekerja: ia menuntun hafalan menjadi ibadah, bukan kewajiban kaku.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Cinta membuat proses hafalan tidak lagi seperti menaruh huruf di kepala, tapi menanam makna di dalam hati. Ayat demi ayat menjadi seperti taman yang tumbuh pelan-pelan, disirami kesabaran dan rasa syukur.

Ketika Tekanan Menghapus Makna

Kita hidup di zaman kecepatan. Target hafalan kadang ditentukan seperti target produksi. Lima halaman per minggu, atau sepuluh juz dalam setahun. Tidak salah jika niatnya baik, tapi berbahaya ketika orientasinya bergeser menjadi kompetisi.

Seorang murid bisa saja hafal 30 juz, tapi jika jiwanya kering, hafalan itu tak memantulkan cahaya. Sebaliknya, ada murid yang baru hafal beberapa surah, namun wajahnya teduh dan lidahnya basah oleh dzikir. Ia belajar dengan cinta.

Ibn Hajar mengingatkan dalam salah satu nasihatnya:

وَإِنَّمَا الْعِلْمُ بِالْعَزْمِ وَالصَّبْرِ
“Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan tekad dan kesabaran.”

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Kesabaran adalah wajah lain dari cinta. Cinta tidak terburu-buru. Ia tahu bahwa setiap ayat perlu waktu untuk benar-benar masuk ke hati. Cinta tidak memaksa, tapi menuntun.

Guru yang Mengasuh, Bukan Menghukum

Hubungan antara ‘ālim (guru) dan muta‘allim (murid) bukanlah relasi kekuasaan. Ia adalah jembatan kasih. Dalam kitab yang sama, Ibn Hajar menulis:

فَاعْلَمْ أَنَّ التَّعَبَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ أَجْرُهُ أَعْظَمُ مِنْ ثَمَرِهِ
“Ketahuilah bahwa keletihan dalam mencari ilmu pahalanya lebih besar daripada buahnya.”

Artinya, proses yang penuh kesulitan itu sendiri sudah bernilai ibadah. Maka, guru yang benar adalah yang sabar menemani murid dalam kesulitannya, bukan yang mempermalukan mereka.

Cinta menuntun guru untuk memahami ritme muridnya. Tidak semua murid cepat. Tidak semua kuat. Kadang yang lambat itulah yang lebih dalam menyerap makna.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Guru yang mengajar dengan cinta akan lebih banyak tersenyum daripada memarahi, lebih banyak memotivasi daripada menghakimi. Ia tahu, tugasnya bukan sekadar menilai hafalan, tetapi menumbuhkan hati.

Menanamkan Cinta dalam Diri Murid

Bagaimana menanamkan cinta dalam proses hafalan?
Pertama, niatkan hafalan sebagai jalan pulang kepada Allah. Kedua, hadirkan rasa syukur dalam setiap kemajuan sekecil apa pun. Ketiga, istirahatkan hati saat jenuh. Sebab cinta butuh napas.

Ibn Hajar juga menulis dengan lembut:

وَاعْتَرِفْ بِذُنُوبِكَ فَإِنَّ اعْتِرَافَ الذَّنْبِ يُزِيلُهُ
“Akuilah dosa-dosamu, karena pengakuan itu akan menghapusnya.”

Ketika murid jujur mengakui kelemahan, hatinya menjadi lapang. Ia tidak malu mengulang dari awal, karena yang ia kejar bukan pujian manusia, melainkan ridha Allah.

Refleksi Ruhani: Hafalan sebagai Zikir

Allah berfirman:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Ya Rabb, tambahkanlah aku ilmu.” (QS. Ṭāhā: 114)

Dan Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”

Ketika hafalan dilakukan dengan cinta, ia tidak lagi menjadi hafalan. Ia berubah menjadi zikir, menjadi napas ruhani. Ia menjadikan penghafalnya bukan sekadar pengingat ayat, tapi penjaga makna.

Menjadi Penutur Cinta Qur’ani

Di akhir perjalanan, kita sadar bahwa menghafal dengan cinta adalah panggilan batin: untuk menjadikan setiap huruf hidup dalam dada, bukan sekadar melintas di lidah.

Hafalan yang tumbuh dari cinta akan memantulkan kelembutan. Ia menyejukkan orang yang mendengarnya, menenteramkan yang mengucapkannya, dan menghadirkan Allah dalam setiap jeda napas.

Maka, mari ubah cara kita menghafal. Bukan dengan tekanan, tapi dengan cinta.
Karena cinta yang tulus akan menjadikan hafalan bukan sekadar prestasi, melainkan perjumpaan dengan Allah di setiap ayat yang dibaca perlahan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement