SURAU.CO – Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah lepas dari interaksi sosial. Kita berbicara, berdiskusi, bercanda, dan bertukar pendapat dengan sesama. Namun, dari lisan yang tidak terjaga sering kali muncul dosa besar yang dianggap remeh, yaitu ghibah.
Ghibah atau menggunjing adalah penyakit hati dan lisan yang sangat berbahaya. Ia bisa menyebar lebih cepat dari api yang membakar hutan, menghancurkan persaudaraan, menimbulkan kebencian, bahkan menghapus pahala amal kebaikan.
Islam memandang ghibah bukan sekadar kesalahan sosial, tetapi dosa besar yang sejajar dengan memakan daging saudara sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tegas menggambarkan keburukan ghibah dalam firman-Nya yang sangat menggugah hati:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini memberikan gambaran betapa menjijikkan perbuatan ghibah. Ia bukan hanya dosa yang merusak hubungan antar manusia, tetapi juga menunjukkan betapa rendahnya akhlak seseorang di hadapan Allah.
Pengertian Ghibah
Secara bahasa, ghibah berarti “menyebut sesuatu yang tersembunyi” atau “membicarakan di belakang”. Sedangkan menurut istilah syar’i, Rasulullah ﷺ menjelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Yaitu engkau menyebut tentang saudaramu sesuatu yang ia tidak sukai.’” (HR. Muslim)
Para sahabat kemudian bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan benar-benar ada pada dirinya?” Rasulullah ﷺ menjawab:
“Jika apa yang engkau katakan benar adanya pada dirinya, maka engkau telah mengghibahinya. Jika tidak ada padanya, maka engkau telah berdusta atasnya.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menjelaskan dengan sangat jelas bahwa ghibah tidak harus berupa kebohongan. Bahkan ketika apa yang dikatakan benar, jika orang yang dibicarakan tidak suka, maka tetap termasuk ghibah. Adapun jika perkataan itu tidak benar, maka itu berubah menjadi fitnah, yang dosanya lebih besar lagi.
Mengapa Ghibah Haram
Larangan ghibah bukan hanya untuk menjaga kehormatan orang lain, tetapi juga untuk menjaga kebersihan hati dan lisan seorang Muslim. Islam sangat menekankan pentingnya ukhuwah (persaudaraan) dan saling menjaga nama baik sesama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Ghibah adalah racun yang merusak ukhuwah. Ketika seseorang menggunjing saudaranya, maka ia telah menanam benih kebencian, iri, dan permusuhan di tengah masyarakat. Ucapan yang disampaikan di belakang sering kali sampai ke telinga orang yang dibicarakan — dan saat itulah kepercayaan runtuh, cinta berubah menjadi benci, dan silaturahmi hancur.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, tetapi imannya belum masuk ke dalam hatinya! Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan mencari-cari kesalahan mereka. Barang siapa mencari aib saudaranya, maka Allah akan membuka aibnya, walaupun di dalam rumahnya sendiri.”
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini menjadi peringatan keras bahwa ghibah mencerminkan lemahnya iman. Orang yang suka membicarakan keburukan orang lain sesungguhnya tidak sadar bahwa dirinya sedang membuka pintu kehinaan bagi diri sendiri.
Musabab Terjadinya Ghibah
Mengapa seseorang tergoda untuk mengghibah? Banyak sebab yang membuat manusia terjerumus ke dalamnya, di antaranya:
- Rasa iri dan dengki.
Orang yang iri sering tidak tahan melihat saudaranya mendapatkan nikmat. Untuk melampiaskan rasa dengkinya, ia membuka aib atau mengurangi kehormatan saudaranya dengan kata-kata. - Merasa lebih baik dari orang lain.
Kesombongan halus ini membuat seseorang merendahkan orang lain dengan membicarakan kekurangannya, agar dirinya tampak lebih baik. - Bercanda dan mencari perhatian.
Kadang ghibah dilakukan dalam suasana santai, hanya untuk membuat orang lain tertawa atau menarik simpati. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
“Celakalah orang yang berbicara, lalu berdusta hanya untuk membuat orang tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.”
(HR. Abu Dawud)
- Menutupi kesalahan diri sendiri.
Ada orang yang mencari pelampiasan dengan membicarakan kesalahan orang lain, agar kekurangannya sendiri tidak tampak. - Lingkungan yang rusak.
Ketika seseorang terbiasa berada di lingkungan yang gemar membicarakan orang lain, maka ia pun mudah terseret ikut-ikutan.
Dampak Buruk Ghibah
Ghibah tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga meninggalkan dampak spiritual yang sangat berat bagi pelakunya.
- Menghapus pahala amal.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” Mereka menjawab, ‘Orang yang tidak memiliki dirham dan harta.’ Beliau bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia telah mencaci, memfitnah, dan menumpahkan darah. Maka pahala amalnya diberikan kepada orang yang dizaliminya, dan jika pahala itu habis, dosa mereka diberikan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke neraka.’”
(HR. Muslim)Ghibah adalah salah satu bentuk kezaliman lisan yang dapat membuat amal kita berpindah ke orang lain.
- Menimbulkan kebencian dan permusuhan.
Ketika ucapan buruk tersebar, hubungan yang tadinya akrab berubah menjadi renggang, bahkan bisa berujung pada dendam dan pertikaian. - Membiasakan hati pada dosa.
Semakin sering seseorang mengghibah, semakin tipis rasa malu dan takutnya kepada Allah. Hati menjadi keras, dan dosa terasa ringan. - Mendapat murka Allah.
Allah membenci orang yang merendahkan saudaranya. Firman-Nya:
“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.”
(QS. Al-Humazah: 1)Ghibah adalah bentuk nyata dari “humazah” dan “lumazah” — yaitu mengumpat dan mencela, baik dengan lisan maupun dengan isyarat.
Cara Menghindari Ghibah
Agar terhindar dari dosa besar ini, Islam memberikan beberapa tuntunan dan langkah praktis:
- Ingat bahwa setiap ucapan dicatat.
Allah berfirman:
“Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.”
(QS. Qaf: 18)
Kesadaran ini akan membuat kita berhati-hati dalam berbicara. - Sibukkan diri dengan introspeksi.
Orang yang sibuk memperbaiki diri tidak punya waktu membicarakan kekurangan orang lain. Imam Hasan Al-Bashri berkata,
“Kami dahulu mengingatkan orang lain dengan niat memperbaiki, tetapi kini manusia mengingatkan dengan niat mempermalukan.” - Jaga pertemanan.
Hindari duduk di majelis yang suka membicarakan keburukan orang lain. Jika pembicaraan seperti itu terjadi, ubahlah topik atau tinggalkan majelis tersebut. - Doakan orang yang digunjing.
Sebagai bentuk penyesalan, doakanlah orang yang pernah kita bicarakan agar Allah menutup aibnya dan mengampuni dosa kita. - Minta maaf jika memungkinkan.
Jika ghibah telah menyakiti seseorang, maka mintalah maaf kepadanya sebelum hari pembalasan datang. Karena di akhirat, penyesalan tidak lagi berguna.
Ghibah Zaman Modern
Pada era media sosial, orang semakin mudah melakukan ghibah. Jari-jemari kita bisa menjadi sumber dosa melalui komentar, status, atau unggahan yang menjelekkan orang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menceritakan semua yang ia dengar.”
(HR. Muslim)
Banyak orang tanpa sadar menyebarkan keburukan, kabar bohong, atau aib orang lain hanya karena ingin terlihat tahu atau ingin viral. Padahal, setiap kata yang ditulis di dunia maya juga dicatat oleh malaikat.
Karenanya, berhati-hatilah dalam bermedia sosial. Jangan sampai jari yang kita gunakan untuk menulis menjadi saksi dosa di hadapan Allah kelak.
Penutup
Ghibah adalah dosa besar yang merusak hati, menghancurkan persaudaraan, dan menimbulkan kebencian serta permusuhan. Ia bisa muncul dari lisan, tulisan, atau bahkan isyarat, namun semuanya sama-sama dilarang oleh Allah.
Setiap Muslim hendaknya menjaga lisannya dari membicarakan hal yang tidak bermanfaat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Diam lebih baik daripada berbicara buruk. Menjaga lisan berarti menjaga kehormatan diri. Sebaliknya, lisan yang tidak terjaga bisa menyeret seseorang ke neraka.
Mari kita berusaha membersihkan hati, memperbaiki diri, dan menghiasi lisan dengan dzikir, doa, serta kata-kata yang membawa kebaikan. Hindari ghibah dalam bentuk apa pun, baik dalam percakapan langsung maupun di media sosial.
Ingatlah, kehormatan seorang Muslim sangat berharga di sisi Allah. Barang siapa menjaga kehormatan saudaranya di dunia, maka Allah akan menjaga kehormatannya di akhirat.
“Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim)
Semoga Allah menjaga lisan kita dari keburukan, membersihkan hati dari iri dan dengki, serta menuntun kita menjadi hamba-hamba-Nya yang mencintai kedamaian dan persaudaraan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
