Surau.co. Menulis dengan air mata adalah cara santri memahami ilmu. Bukan karena mereka cengeng, tapi karena setiap huruf yang ditulis adalah zikir yang lahir dari perjuangan. Di balik setiap kitab yang terbuka, ada malam-malam panjang yang diisi dengan sabar, haus, rindu pada ilmu, dan tangis yang tak terdengar.
Dalam Kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, Ibn Hajar al-‘Asqalānī menulis:
من لم يذق مرارة التعلم ساعة تجرع ذل الجهل أبدًا
“Barang siapa tidak merasakan pahitnya belajar sesaat, maka ia akan menelan hina kebodohan selamanya.”
Ilmu tidak tumbuh dari kemudahan. Ia menuntut air mata, menuntut kesabaran. Santri yang setia belajar tahu, bahwa setiap tetes peluh dan lelah adalah bagian dari ibadah. Ketekunan bukan hanya disiplin, tapi bentuk cinta yang tidak menyerah.
Fenomena Zaman: Ketika Orang Ingin Cepat Pandai Tapi Enggan Bersabar
Zaman sekarang menciptakan generasi serba instan. Banyak orang ingin cepat pintar tanpa mau bersusah payah. Aplikasi digital menyediakan jawaban dalam hitungan detik, tetapi tidak memberi kebijaksanaan yang lahir dari proses.
Padahal, ilmu bukan hasil unduhan, melainkan perjalanan. Ia menuntut waktu, keheningan, dan pengorbanan.
Ibn Hajar menulis lagi:
العلم لا يعطيك بعضه حتى تعطيه كلك
“Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya sampai engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya.”
Kalimat itu menampar kita semua yang sering menjadikan ilmu sebagai “tambahan”, bukan jalan hidup. Orang yang belajar hanya separuh hati, tak akan mendapatkan apa-apa selain kebingungan. Tapi mereka yang menekuni dengan sepenuh hati, akan menemukan bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan, tapi juga penerang jiwa.
Ketekunan santri di pesantren menjadi contoh nyata: mereka belajar bukan untuk cepat lulus, tapi untuk terus tumbuh.
Ketekunan: Bahasa Sunyi dari Cinta kepada Ilmu
Santri tahu bahwa belajar bukan hanya soal akal, tapi juga tentang hati. Ketekunan bukan sekadar rajin menghafal, melainkan kesanggupan untuk terus berjalan bahkan ketika tidak paham-paham juga.
Ibn Hajar mengajarkan dalam kitabnya:
من طلب العلم صبرًا نال فخرًا
“Barang siapa menuntut ilmu dengan kesabaran, maka ia akan memperoleh kemuliaan.”
Kalimat ini menjelaskan bahwa kemuliaan bukan hasil kepintaran, tetapi buah dari kesabaran. Santri yang sabar menulis berlembar-lembar catatan dengan tangan yang lelah, justru sedang menanam pohon ilmu di hatinya sendiri.
Ketekunan adalah bukti cinta. Karena hanya orang yang mencintai sesuatu yang rela berkorban tanpa menuntut hasil segera. Ilmu tidak bisa dikejar dengan ambisi, ia hanya bisa diraih dengan kesetiaan.
Allah ﷻ berfirman:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Ṭāhā [20]: 114)
Ayat ini adalah doa sekaligus pengingat bahwa menuntut ilmu adalah proses tanpa akhir. Seorang santri yang ikhlas belajar tidak pernah merasa cukup, karena setiap pemahaman baru hanyalah pintu menuju ketidaktahuan yang lebih dalam.
Belajar dari Air Mata: Ketika Kegagalan Menjadi Guru
Ketekunan tidak selalu berarti sukses. Kadang, ia justru penuh kegagalan. Ada santri yang hafalannya hilang setelah semalam suntuk belajar, ada yang dimarahi gurunya karena salah paham, ada yang rindu rumah tapi memilih bertahan.
Namun, air mata itu bukan kelemahan. Ia adalah tanda bahwa hati sedang belajar menerima.
Ibn Hajar menulis lagi:
من عمل بما علم أورثه الله علم ما لم يعلم
“Barang siapa mengamalkan ilmu yang telah ia ketahui, maka Allah akan memberinya ilmu yang belum ia ketahui.”
Belajar bukan hanya menambah pengetahuan, tapi memperdalam penghayatan. Ketika santri bangun dini hari, membaca kitab dalam dingin yang menusuk, lalu salah membaca harakat, itu pun adalah bagian dari belajar. Karena di balik kesalahan, ada kerendahan hati yang sedang tumbuh.
Menulis dengan air mata berarti mengizinkan diri untuk rapuh. Sebab dalam kerentanan itulah keteguhan dilahirkan.
Ilmu yang Tumbuh dari Kesabaran, Bukan dari Kecepatan
Dunia modern menyukai yang cepat, tapi Allah mencintai yang sabar. Di pesantren, para kiai mengajarkan bahwa satu huruf yang dipahami dengan niat yang benar lebih berharga dari seribu teori yang dilafalkan tanpa makna.
Ketekunan adalah seni untuk melambat di tengah dunia yang tergesa-gesa. Karena ilmu sejati tidak datang kepada orang yang sibuk berlari, melainkan kepada mereka yang bersedia duduk, diam, dan merenung.
Rasulullah ﷺ bersabda:
من سلك طريقًا يلتمس فيه علمًا سهل الله له به طريقًا إلى الجنة
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Jalan ilmu adalah jalan menuju surga, tapi bukan jalan yang mulus. Ia terjal, penuh ujian, namun juga penuh rahmat. Maka santri yang menulis dengan air mata sesungguhnya sedang membuka jalannya sendiri menuju ridha Allah.
Penutup: Ketika Pena Menjadi Doa
Menulis dengan air mata berarti menulis dengan hati. Setiap kalimat menjadi doa, setiap hafalan menjadi bentuk cinta. Ketekunan bukan sekadar kebiasaan, melainkan cara untuk terus dekat dengan Tuhan.
Santri yang tulus belajar tidak mencari sorotan. Mereka tahu, ilmu sejati adalah rahasia antara murid dan Allah.
Ketika dunia memuja kecepatan, santri memilih kesabaran. Ketika banyak orang bicara tentang hasil, santri tetap mencintai proses.
Sebab di ujung setiap perjuangan yang penuh air mata, selalu ada cahaya yang menenangkan — cahaya yang tidak berasal dari dunia, tapi dari keberkahan ilmu yang diterima dengan hati yang bersih.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
