Khazanah
Beranda » Berita » Belajarlah dari Orang yang Tak Memamerkan Ilmunya

Belajarlah dari Orang yang Tak Memamerkan Ilmunya

Santri membaca kitab di serambi pesantren dalam suasana tenang, simbol keikhlasan menuntut ilmu tanpa pamer.
Santri membaca kitab di serambi masjid yang sunyi, menggambarkan ilmu sejati yang diam tapi menghidupkan.

Surau.co.Belajarlah dari orang yang tidak memamerkan ilmunya. Sebab, ilmu sejati tidak berisik, tidak mencari sorotan, dan tidak haus pujian. Ia tumbuh dalam keheningan—di dada-dada yang rendah hati, bukan di lisan yang berlomba ingin didengar.

Di zaman ini, banyak orang pandai berbicara, tetapi sedikit yang benar-benar memahami. Media sosial telah menjelma menjadi mimbar baru, tempat siapa pun bisa tampil sebagai “alim” dalam sekejap. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalānī dalam Kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim:

من طلب العلم ليصرف وجوه الناس إليه أدخله الله النار
“Barang siapa menuntut ilmu agar manusia menoleh kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”

Kata “menoleh” di sini bukan hanya tentang perhatian, tetapi juga tentang keinginan untuk diakui. Dari situlah awal kematian ruh ilmu terjadi—saat ilmu tidak lagi menjadi jalan menuju Tuhan, melainkan jalan mencari pengakuan diri.

Fenomena Zaman: Ilmu Jadi Panggung, Bukan Pengabdian

Kini, ilmu sering diperlakukan seperti konten. Nilainya diukur dari jumlah penonton, bukan dari kedalaman makna. Seseorang bisa viral karena satu kutipan, namun kehilangan adab dalam memahami maknanya. Banyak orang mengutip ayat dan hadis bukan untuk menuntun, melainkan untuk menang debat.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Padahal, Ibn Hajar pernah menulis:

العلم عبادة بالقلب كما أن الصلاة عبادة بالجوارح
“Ilmu adalah ibadah dengan hati, sebagaimana salat adalah ibadah dengan anggota tubuh.”

Jika ilmu adalah ibadah, menampilkannya tanpa keikhlasan berarti beribadah demi pandangan manusia. Karena itu, ilmu tanpa rasa tunduk akan kehilangan barakahnya. Ia memang bisa menambah kepintaran, tetapi sekaligus memperbesar kesombongan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

من تعلم العلم ليباهي به العلماء أو ليماري به السفهاء أو ليصرف وجوه الناس إليه فهو في النار
“Barang siapa menuntut ilmu untuk membanggakan diri di hadapan para ulama, memperdebatkan orang bodoh, atau menarik perhatian manusia, maka ia di neraka.” (HR. Tirmidzi)

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Hadis ini bukan sekadar ancaman. Sebaliknya, ia menjadi peringatan agar ilmu tetap suci dari ambisi pribadi. Sebab, ilmu sejati tidak pernah butuh panggung. Ia justru tumbuh di dada mereka yang diam, yang bekerja dalam kesunyian, yang tidak sibuk menunjukkan, tetapi sibuk menanamkan.

Ilmu yang Tersembunyi, Tapi Menghidupkan

Ibn Hajar menulis dalam salah satu bagian kitabnya:

العلم حياة القلوب ونور البصائر
“Ilmu adalah kehidupan bagi hati dan cahaya bagi pandangan.”

Ilmu yang benar bekerja seperti cahaya matahari pagi—lembut, hangat, dan menerangi tanpa menyilaukan. Ia tidak berteriak agar terasa, tetapi keberadaannya menenangkan.

Kita bisa belajar dari para guru di pesantren-pesantren kecil yang setiap hari mengajar dengan cinta, meski tanpa nama besar. Dari ibu-ibu yang membaca Al-Qur’an di sudut rumah dengan suara pelan, tetapi penuh ketenangan. Dari para petani yang bekerja jujur karena paham bahwa ikhtiar adalah bagian dari iman.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Mereka tidak memamerkan ilmunya, tetapi menjalankannya dalam keseharian. Karena itu, ilmu yang tersembunyi justru lebih hidup. Ia tidak tampak di mata, tetapi terasa di laku.

Belajar dari Kesunyian Para Guru

Ada sebuah kisah yang sering diceritakan di pesantren. Seorang santri muda bertanya kepada kiainya,
“Kenapa panjenengan jarang bicara di hadapan jamaah?”

Sang kiai tersenyum, lalu menjawab,
“Karena sebagian ilmu harus diam, agar tidak kehilangan ruhnya.”

Begitulah hakikat ilmu. Sebagian memang perlu disampaikan, tetapi sebagian lain lebih baik disimpan di hati. Sebab, ada pengetahuan yang justru rusak jika terlalu sering dibicarakan.

Ibn Hajar pernah menulis pula:

من لم يذق مرارة التعلم ساعة تجرع ذل الجهل أبدًا
“Barang siapa tidak merasakan pahitnya belajar sesaat, maka ia akan menelan hina kebodohan selamanya.”

Orang berilmu sejati tidak tergesa-gesa menampilkan hasil belajarnya. Ia tahu bahwa kematangan lahir dari waktu yang panjang—dari pahitnya menahan diri, dari kesunyian, dari kontemplasi. Karena itu, mereka tidak haus sorotan. Mereka sadar bahwa ilmu bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk diamalkan.

Ilmu yang Diam Tapi Bekerja

Ilmu yang diam bukan berarti pasif. Ia seperti akar pohon: tak terlihat, tapi menopang kehidupan. Ia tidak berbicara keras, namun membuat batang dan daun tetap berdiri kokoh.

Begitulah ilmu yang tersimpan dalam hati orang-orang ikhlas. Ia bekerja dalam diam—memperhalus perilaku, menumbuhkan kasih, menundukkan ego.

Allah ﷻ berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)

Derajat itu tidak muncul dari banyak bicara, tetapi dari banyak berbuat. Ilmu sejati tampak melalui akhlak, bukan kata-kata.

Pada akhirnya, mereka yang tidak memamerkan ilmunya justru menjadi sebab orang lain belajar tanpa diminta. Sebab, cahaya yang lahir dari ketulusan tak mungkin disembunyikan. Ia akan tetap menyinari, bahkan dalam diam.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement