Khazanah
Beranda » Berita » Guru Itu Bukan Manusia Sempurna, Tapi Jalan Menuju Yang Maha Sempurna

Guru Itu Bukan Manusia Sempurna, Tapi Jalan Menuju Yang Maha Sempurna

Guru tua mengajar santri di serambi pesantren saat sore hari, simbol ketulusan dan peran guru sebagai pembimbing menuju cahaya.
Seorang guru dengan sorban putih sedang mengajar santri di bawah sinar sore yang tenang, simbol bahwa guru adalah jalan menuju cahaya.

Surau.co. Guru itu bukan manusia sempurna. Ia bukan makhluk suci yang bebas dari salah. Tapi justru di situlah letak keindahannya — karena dari ketidaksempurnaan itulah kita belajar makna pengabdian, kesabaran, dan cinta kepada ilmu.

Dalam Kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, Ibn Hajar al-‘Asqalānī menulis dengan lembut tapi dalam:

ينبغي للطالب أن يتواضع لمعلمه ولو كان دونه في النسب أو في السن
“Seorang murid hendaknya merendahkan diri kepada gurunya, meskipun sang guru lebih rendah dalam nasab atau usia.”

Kalimat itu mengajarkan bahwa belajar tidak hanya tentang menerima pengetahuan, tetapi juga tentang melatih kerendahan hati. Di hadapan guru, seorang murid sedang diuji bukan pada kemampuan intelektualnya, tetapi pada ketundukan jiwanya.

Guru bukan cermin kesempurnaan, melainkan jembatan menuju cahaya ilmu. Mereka adalah manusia biasa yang dipilih untuk menyalurkan sesuatu yang luar biasa.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Fenomena Zaman: Saat Murid Kehilangan Takzim

Zaman sekarang, hubungan murid dan guru sering kehilangan kehangatan spiritualnya. Di sekolah, di kampus, bahkan di pesantren sekalipun, sering kali ilmu hanya dilihat sebagai produk yang harus dibeli, bukan warisan yang harus dihormati.

Banyak murid menilai gurunya dari kemampuan mengajar, bukan dari ketulusan membimbing. Banyak yang menghitung guru dari honor dan jabatan, bukan dari perjuangan dan doa-doanya.

Padahal, Ibn Hajar mengingatkan:

العلم لا يعطيك بعضه حتى تعطيه كلك
“Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya sampai engkau memberikan seluruh dirimu padanya.”

Ilmu itu tidak bisa dibeli dengan uang, hanya bisa diraih dengan takzim. Siapa yang tidak menghormati guru, akan kehilangan keberkahan ilmunya. Sebab ilmu bukan hanya informasi, tapi juga nur (cahaya). Dan cahaya itu tidak akan menetap di hati yang sombong.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ketidaksempurnaan yang Mengajarkan Kesempurnaan

Guru sejati tidak pernah mengklaim dirinya benar, tapi justru menunjukkan bahwa kebenaran itu milik Allah semata. Mereka bisa salah, bisa lelah, bisa terluka, namun terus berjalan karena yang mereka ajarkan bukan tentang diri mereka — tapi tentang jalan menuju Yang Maha Sempurna.

Ibn Hajar menulis lagi:

العلم حياة القلوب ونور البصائر
“Ilmu adalah kehidupan bagi hati dan cahaya bagi pandangan.”

Artinya, guru adalah penjaga kehidupan hati itu. Mereka tidak menciptakan cahaya, tapi membantu agar kita mampu melihatnya.

Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ
“Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Ayat ini tidak dimaksudkan untuk meninggikan ulama secara sosial, tapi untuk menegaskan bahwa guru memiliki peran penting dalam membuka pandangan batin umat. Karena lewat merekalah ilmu diturunkan dari generasi ke generasi.

Guru bukan sekadar pengajar, tapi penjaga rantai pengetahuan. Mereka menghidupkan ajaran Nabi melalui pengabdian sunyi — di ruang kelas, di majelis, di hati murid-muridnya.

Belajar dari Guru yang Masih Belajar

Salah satu kebesaran seorang guru justru terletak pada kesadarannya bahwa ia juga murid. Seorang guru sejati tidak pernah berhenti belajar. Ia mengajarkan bukan karena sudah tahu segalanya, tapi karena ingin berbagi apa yang sedikit ia pahami.

Ibn Hajar menulis nasihat yang menyejukkan:

من عمل بما علم أورثه الله علم ما لم يعلم
“Barang siapa mengamalkan ilmu yang telah ia ketahui, Allah akan memberinya ilmu yang belum ia ketahui.”

Guru yang mengamalkan ilmunya akan terus tumbuh, dan murid yang menghormati gurunya akan ikut tumbuh bersamanya. Itulah simbiosis spiritual yang membuat ilmu menjadi hidup.

Namun hari ini, banyak murid yang terlalu cepat menghakimi. Satu kesalahan guru bisa menghapus puluhan kebaikannya. Padahal, para ulama dahulu selalu mengajarkan: siapa pun yang ingin mendapatkan ilmu, harus terlebih dahulu memuliakan orang yang menjadi jalannya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

ليس منا من لم يوقر كبيرنا، ويرحم صغيرنا، ويعرف لعالمنا حقه
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengenali hak orang alim.” (HR. Ahmad)

Hadis ini adalah pondasi adab. Guru adalah orang alim yang membawa pengetahuan. Maka menghormatinya bukan berarti mengkultuskan, tetapi menempatkannya pada posisi yang seharusnya: jalan menuju Tuhan.

Guru adalah Jalan, Bukan Tujuan

Banyak orang berhenti pada kekaguman terhadap guru, lupa bahwa guru sejati tidak pernah meminta untuk disembah. Mereka hanyalah jalan, bukan tujuan. Mereka menyalakan lentera agar murid-muridnya bisa menemukan arah menuju Allah.

Ketika seorang murid mulai merasa cukup hanya dengan mengikuti guru, tanpa berupaya mengenal Tuhannya, maka proses belajar berhenti.

Guru tidak ingin dipuja, tapi dihidupi. Nasihat mereka tidak dimaksudkan untuk dipajang, tapi untuk dijalankan.

Maka, hormatilah guru bukan karena mereka sempurna, tapi karena melalui mereka Allah memperkenalkan kesempurnaan-Nya.

Penutup: Berjalan Bersama Cahaya Guru

Guru sejati bukan orang yang tak pernah jatuh, tapi orang yang selalu bangkit demi terus mengajar. Mereka menanggung lelah agar kita paham, mereka menelan kritik agar ilmu terus hidup.

Mereka bukan manusia tanpa dosa, tapi manusia yang berjuang agar murid-muridnya tidak tersesat.

Kita belajar dari guru bukan untuk meniru semuanya, tapi untuk menemukan jalan kita sendiri menuju Tuhan. Karena guru sejati selalu mendorong muridnya untuk melampaui dirinya.

Allah ﷻ berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)

Maka, jika kau mencintai gurumu, teruskan perjalanannya. Jadilah cermin yang memantulkan cahaya yang pernah ia nyalakan. Karena guru sejati tidak meninggalkan warisan berupa harta, tapi berupa cahaya — yang menuntun murid-muridnya ke arah Yang Maha Sempurna.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement