Surau.co. Menuntut ilmu dengan rasa, bukan ambisi, adalah jalan sunyi yang hanya bisa dilalui oleh mereka yang sabar dan tulus. Jalan ini tidak ramai oleh tepuk tangan atau sorotan kamera, sebab mereka yang berjalan di atasnya tahu: ilmu bukan tentang siapa yang lebih cepat sampai, tetapi siapa yang tetap ikhlas berjalan.
Dalam Kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, Ibn Hajar al-‘Asqalānī menulis:
العلم عبادة بالقلب كما أن الصلاة عبادة بالجوارح
“Ilmu adalah ibadah dengan hati, sebagaimana shalat adalah ibadah dengan anggota tubuh.”
Ilmu sejati bukan sekadar pengetahuan yang disimpan di kepala. Ia tumbuh dari hati yang jernih dan niat yang tulus. Sayangnya, di tengah dunia yang serba cepat dan kompetitif, banyak orang menjadikan ilmu sebagai perlombaan ambisi. Mereka belajar bukan untuk mencari makna, melainkan untuk mencari nama.
Pada akhirnya, menuntut ilmu hari ini sering kali lebih dekat dengan keinginan untuk terlihat berilmu, bukan untuk benar-benar menjadi berilmu.
Fenomena Modern: Saat Ilmu Diperdagangkan
Kini dunia telah menjelma menjadi pasar gagasan. Siapa yang lebih lantang, lebih viral, sering dianggap lebih benar. Ilmu pun perlahan berubah menjadi komoditas — dijual dalam seminar, dikemas dalam konten, bahkan dijadikan alat untuk menundukkan yang lain.
Padahal, Ibn Hajar sudah memperingatkan dengan keras:
من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو ليصرف وجوه الناس إليه أدخله الله النار
“Barang siapa menuntut ilmu untuk menandingi ulama, memperdebatkan orang bodoh, atau agar manusia menoleh kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”
Pesan ini menampar lembut zaman yang gemar pamer pengetahuan. Sebab ilmu sejati tidak untuk disanjung, melainkan untuk disucikan. Orang berilmu sejati tidak sibuk menonjolkan dirinya, tetapi sibuk menundukkan hatinya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Begitu pula dengan ilmu — nilainya bergantung pada niat yang menumbuhkannya. Bila niatnya ambisi, ilmu hanya akan melahirkan kesombongan. Namun bila niatnya rasa, ilmu akan membawa seseorang menuju cahaya.
Rasa: Jembatan antara Ilmu dan Hati
Sesungguhnya, belajar bukan sekadar proses berpikir, tetapi juga berperasa. Ilmu tanpa rasa akan kering, sedangkan rasa tanpa ilmu akan tersesat.
Ibn Hajar menulis:
العلم حياة القلوب ونور البصائر
“Ilmu adalah kehidupan bagi hati dan cahaya bagi pandangan.”
Ilmu sejati menumbuhkan empati. Ia membuat seseorang memahami bahwa pengetahuan bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyembuhkan. Bukan untuk memenangkan perdebatan, tetapi untuk menuntun manusia memahami kebenaran.
Ketika ilmu dipelajari dengan rasa, setiap kata guru menjadi doa, setiap halaman kitab menjadi cermin, dan setiap kesulitan menjadi ujian ketulusan. Karena itulah, rasa memisahkan antara santri sejati dan pelajar yang hanya mengejar nilai.
Belajar dengan rasa membuat seseorang mampu menangis saat membaca, merenung saat mendengar, dan bersyukur saat memahami. Sebab baginya, ilmu bukan sekadar teks, tetapi napas yang menghidupkan.
Jalan Sunyi yang Tak Banyak Dipilih
Menuntut ilmu dengan rasa berarti berjalan di jalan yang sepi. Tidak banyak yang memilihnya, karena jalan ini tidak menjanjikan sorotan, melainkan kesabaran. Ia menuntut keheningan di tengah keramaian dan ketulusan di tengah godaan ambisi.
Ibn Hajar mengingatkan:
من لم يذق مرارة التعلم ساعة تجرع ذل الجهل أبدًا
“Barang siapa tidak merasakan pahitnya belajar sesaat, maka ia akan menelan hina kebodohan selamanya.”
Belajar dengan rasa berarti siap menghadapi kepahitan. Karena pada hakikatnya, rasa adalah jalan menuju makna.Ilmu sejati tidak akan turun kepada orang yang ingin serba instan. Ia hanya akan datang kepada mereka yang sabar, tekun, dan berani menghadapinya dalam diam.
Setiap malam yang dihabiskan dengan membaca kitab, setiap waktu yang dipenuhi hafalan, setiap tangis karena tidak paham — semuanya adalah bagian dari ziarah batin menuju cahaya.
Allah ﷻ berfirman:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Taha [20]: 114)
Ayat ini bukan sekadar permintaan pengetahuan, melainkan permohonan agar hati diperluas untuk menampung cahaya.
Ilmu yang Membawa Cahaya, Bukan Silau
Ada dua macam cahaya ilmu: yang menerangi dan yang menyilaukan. Cahaya yang menerangi tumbuh dari keikhlasan, sementara cahaya yang menyilaukan lahir dari ambisi.
Ilmu yang sejati tidak membuat seseorang bangga karena tahu, tetapi membuatnya takut karena belum cukup tahu. Ia tidak melahirkan arogansi, melainkan ketundukan.
Orang yang belajar dengan rasa akan tampak tenang. Ia tidak banyak bicara, tetapi setiap katanya menenangkan. Ia tidak merasa paling tahu, tetapi ilmunya menuntun banyak orang. Karena baginya, ilmu bukan untuk dipegang, melainkan untuk disebar dengan cinta.
Penutup: Rasa yang Menuntun ke Cahaya
Menuntut ilmu dengan rasa adalah meniti jalan sunyi menuju cahaya. Ia bukan perjalanan menuju popularitas, melainkan perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan Tuhan.
Belajar adalah cara lain untuk bersujud. Ia mengajarkan bahwa setiap pengetahuan sejatinya adalah ayat Allah yang harus dipahami dengan hati yang lapang.
Ketika seseorang belajar dengan rasa, ia tidak lagi sibuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia sadar bahwa setiap langkahnya adalah bagian dari ibadah. Ia tidak berlari untuk sampai, melainkan berjalan untuk memahami.
Ilmu sejati bukan tentang siapa yang paling cepat paham, tetapi siapa yang paling ikhlas dalam mencari. Karena di ujung perjalanan ilmu, bukan gelar atau penghargaan yang menunggu, melainkan cahaya — cahaya yang tidak menyilaukan, tetapi menenangkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
