SURAU.CO. Sebentar lagi, setiap tanggal 22 Oktober, jagat media sosial akan dipenuhi ucapan selamat Hari Santri Nasional. Foto para santri bersarung, berseragam, dan berpeci memenuhi linimasa. Tapi di balik euforia itu, ada makna yang jauh lebih dalam, semangat juang tanpa pamrih dari para penjaga moral bangsa.
Santri bukan sekadar identik dengan kitab kuning dan kehidupan sederhana, melainkan simbol keteguhan iman, kecintaan pada tanah air, dan semangat belajar tanpa batas. Jika dulu santri berjuang mengusir penjajah dengan bambu runcing dan doa, maka kini mereka berjihad lewat ilmu, dakwah digital, dan karya nyata untuk kemajuan umat.
Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum untuk mengenang jasa para santri yang ikut menorehkan tinta emas dalam sejarah kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Santri bukan hanya sosok bersarung dan berpeci di pesantren, tetapi juga penjaga moral, pelopor perjuangan, sekaligus agen perubahan di berbagai bidang kehidupan. Hari Santri bukan hanya peringatan sejarah, tetapi cermin dari identitas bangsa yang tumbuh dari iman dan ilmu.
Jejak Heroik Santri di Medan Jihad
Sejarah mencatat, ketika Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ancaman penjajahan belum benar-benar berakhir. Pasukan Belanda yang menumpang Sekutu berusaha kembali menancapkan kekuasaan. Di saat genting itulah, KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Isi resolusi itu tegas, bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah fardhu ‘ain (kewajiban setiap individu Muslim). Umat Islam diwajibkan berjihad melawan penjajah yang ingin merebut kembali tanah air. Seruan jihad itu membangkitkan semangat rakyat, terutama para santri dan kiai, untuk turun ke medan perang mempertahankan kemerdekaan.
Tak lama kemudian, Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya meletus. Ribuan santri dan pejuang berjuang dengan tekad yang sama, “Merdeka atau Mati!” Mereka berjuang bukan demi kekuasaan, melainkan karena keyakinan bahwa membela tanah air adalah bagian dari membela agama.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa mati karena membela hartanya, keluarganya, agamanya, dan negerinya, maka ia mati syahid.” (HR. Abu Dawud). Syahid adalah dambaan setiap muslim.
Dari sinilah semangat Hari Santri Nasional lahir. Sebuah penghormatan atas darah, doa, dan dedikasi santri untuk kemerdekaan bangsa. Memperingati hari santri adalah memperingati perjuangan santri mempertahankan kemerdekaan.
Hari Santri Nasional bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk menatap masa depan. Setidaknya ada empat makna penting dari peringatan ini. Pertama, menghormati perjuangan santri. Mengingat jasa santri dalam kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Kedua, menanamkan nilai kebangsaan. Dengan peringatan hari santri mendorong santri dan generasi muda agar mencintai Indonesia dengan cara membangun dan menjaga keadilan. Ketiga, menguatkan identitas Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah, terbuka, dan sejalan dengan budaya bangsa. Dan keempat, mendorong peran santri kontemporer. Santri kini harus siap menghadapi tantangan global: moderasi beragama, dakwah digital, dan pemberdayaan ekonomi umat.
Santri dan Pembentukan Karakter Bangsa
Sejak masa penjajahan, pesantren telah menjadi benteng moral dan pusat perjuangan rakyat. Kiai dan santri bukan hanya mengajarkan tafsir dan fiqih, tetapi juga menanamkan semangat cinta tanah air. Mereka mendidik santri agar berjiwa nasionalis, tangguh, dan berakhlak mulia.
KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari, dua tokoh besar dari dua tradisi pesantren yang berbeda, sama-sama menanamkan nilai penting: bahwa Islam dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Nilai keislaman yang diajarkan di pesantren justru memperkuat nilai kebangsaan.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.” (Hubbul wathan minal iman). Walau hadis ini bersifat maudhu’ (tidak sahih secara sanad), maknanya sejalan dengan prinsip Islam, yaiti mencintai negeri sendiri adalah bentuk syukur kepada Allah atas nikmat kemerdekaan dan amanah yang harus dijaga.
Peran santri tidak berhenti setelah kemerdekaan. Dalam masa pembangunan bangsa, pesantren menjadi pusat pendidikan karakter yang sangat penting. Di tengah dunia yang makin individualistik, pesantren menanamkan nilai disiplin, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial.
Ada empat metode pendidikan karakter khas pesantren. Pertama, keteladanan. Guru dan kiai menjadi contoh nyata bagi santri dalam ibadah, etika, dan kehidupan sehari-hari. Kedua, nasihat. Kiai menanamkan nilai moral melalui petuah yang menyentuh hati, bukan sekadar teori. Ketiga, disiplin. Aturan ketat di pesantren melatih santri untuk hidup tertib, menghargai waktu, dan menghormati sesama. Dan keempat, kegiatan sosial. Santri dibiasakan untuk aktif membantu masyarakat, mengajar mengaji, dan terlibat dalam kegiatan kemanusiaan.
Pesantren tidak hanya mencetak ulama, tapi juga melahirkan guru, pendidik, pengusaha, bahkan politisi yang berintegritas. Mereka membawa nilai-nilai tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran), sebagai nilai inti Islam rahmatan lil ‘alamin.
Santri dan Transformasi di Era Modern
Dulu, pesantren identik dengan kitab kuning dan kehidupan sederhana. Namun kini, wajah pesantren telah banyak berubah. Di berbagai daerah, pesantren mulai menggabungkan tradisi klasik dengan inovasi modern. Mereka mengajarkan bahasa asing, teknologi informasi, hingga keterampilan wirausaha.
Santri tidak lagi dianggap ketinggalan zaman. Banyak pesantren mengembangkan program “santripreneur”, mengajarkan santri menjadi pelaku ekonomi kreatif. Mereka melakukan kegiatan usaha kreatif, seperti usaha sablon digital, produksi makanan halal, hingga koperasi syariah. Perubahan ini menunjukkan bahwa pesantren mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77). Santri masa kini menghidupi ayat itu dengan nyata, dengan menguasai ilmu dunia sambil menjaga nilai-nilai akhirat.
Santri dalam Dunia Sosial dan Politik
Sejarah membuktikan, kaum santri tidak hanya ahli dalam bidang agama, tetapi juga aktif dalam pembangunan sosial dan politik. Dari masa perjuangan hingga kini, banyak tokoh bangsa berasal dari kalangan pesantren. Sebut saja KH. Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga tokoh-tokoh muda di parlemen dan lembaga publik.
Santri berperan dalam memperjuangkan keadilan sosial dan demokrasi yang berkeadaban. Mereka mewarisi semangat para ulama terdahulu dalam berpolitik dengan nilai, bukan dengan nafsu kekuasaan. Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah, bukan tujuan.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Pemimpin adalah pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena itu, santri yang terjun ke dunia politik harus menjadikan jabatan sebagai ladang pengabdian, bukan alat untuk memperkaya diri.
Santri untuk Masa Depan Bangsa
Perjalanan panjang santri membuktikan bahwa mereka bukan sekadar bagian dari masa lalu, melainkan pilar masa depan. Di tengah krisis moral, degradasi etika, dan derasnya arus globalisasi, santri hadir sebagai cahaya yang menuntun arah.
Pesantren bukan menara gading yang jauh dari realitas, tetapi laboratorium sosial tempat nilai keislaman, keilmuan, dan kebangsaan bersatu. Santri adalah contoh nyata bahwa tradisi dan kemajuan bisa berjalan beriringan.
Hari Santri Nasional mengingatkan kita bahwa jihad hari ini bukan lagi perang melawan penjajah, tetapi perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, dan kebencian. Jihad hari ini adalah membangun bangsa dengan ilmu, iman, dan amal.
Santri adalah simbol dari semangat Islam yang mencerahkan. Mereka adalah penjaga tradisi, penerus perjuangan, dan penggerak peradaban. Dari pesantrenlah lahir generasi berilmu, berakhlak, dan berjiwa nasionalis.
Ketika dunia terus berubah, santri tetap punya satu kompas yaitu keikhlasan untuk berjuang demi agama dan bangsa. Sebab, sebagaimana pesan KH. Hasyim Asy’ari, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman, dan menuntut ilmu adalah bagian dari jihad.” Dan di tangan para santri—masa depan Indonesia akan terus bersinar.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
