Surau.co. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah latihan ruhani untuk mengendalikan diri, menundukkan hawa nafsu, dan menghidupkan kesadaran akan kehadiran Allah. Dalam kitab Ad-Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri al-Khubawi, puasa digambarkan sebagai ibadah yang menjadi jembatan antara dunia dan akhirat, antara tubuh yang fana dan ruh yang abadi. Puasa adalah sekolah jiwa yang mengajarkan arti kekosongan: kosong dari hawa nafsu, namun penuh dengan zikir dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Makna Puasa dalam Pandangan Al-Qur’an dan Sunnah
Al-Qur’an memandang puasa bukan hanya sebagai kewajiban ritual, tetapi juga sebagai jalan menuju ketakwaan. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah membentuk takwa. Takwa bukan hanya rasa takut kepada Allah, tetapi kesadaran yang dalam untuk selalu menjaga diri dari perbuatan yang dapat menjauhkan dari-Nya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berpuasa Ramadan dengan penuh iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah yang memadukan aspek jasmani dan rohani. Iman dan niat menjadi pondasi utama, sementara lapar dan dahaga hanyalah jalan menuju pemurnian diri.
Puasa dan Penundukan Nafsu
Syekh Utsman dalam Ad-Durratun Nashihin menjelaskan bahwa puasa merupakan cara untuk mengendalikan syahwat dan menundukkan nafsu yang sering menyeret manusia ke jurang maksiat. Beliau menulis:
الصومُ جُنَّةٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنَ النَّارِ، وَهُوَ كَفٌّ لِلنَّفْسِ عَنِ الشَّهَوَاتِ وَالْمَعَاصِي
“Puasa adalah perisai bagi orang beriman dari api neraka, dan ia merupakan pengekang bagi nafsu dari syahwat dan maksiat.”
Dalam kehidupan modern, nafsu tidak hanya berupa dorongan biologis, tetapi juga keinginan untuk tampil, memiliki, dan menguasai. Nafsu menjadi liar ketika tidak diarahkan oleh nilai-nilai ruhani. Puasa datang sebagai jeda dari kesibukan dunia yang melelahkan; ia menuntut manusia berhenti sejenak dari kejaran ambisi, untuk menatap ke dalam dan bertanya: “Apa sebenarnya yang aku cari?”
Dengan berpuasa, seseorang belajar bahwa tidak semua keinginan harus dipenuhi. Ada kenikmatan yang lebih tinggi dari sekadar memenuhi hasrat — yakni kenikmatan dekat dengan Allah.
Menahan Lapar, Menghidupkan Hati
Puasa mengajarkan manusia untuk memahami arti kekurangan dan penderitaan. Dalam rasa lapar, seorang hamba mengingat saudara-saudaranya yang kelaparan. Dalam dahaga, ia merasakan kefanaan tubuh. Syekh Utsman menulis bahwa lapar adalah kunci lembutnya hati:
إنَّ الجُوعَ يُنَوِّرُ القَلْبَ وَيُذَلِّلُ النَّفْسَ وَيُقَرِّبُ الإِنسَانَ إِلَى رَبِّهِ
“Sesungguhnya lapar itu menerangi hati, menundukkan jiwa, dan mendekatkan manusia kepada Tuhannya.”
Ketika perut dikosongkan, hati menjadi lebih peka. Dalam kesunyian, seseorang lebih mudah mendengar suara hatinya sendiri. Ia mulai menyadari betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan, dan betapa sedikit rasa syukurnya.
Puasa juga mengajarkan disiplin spiritual: bukan sekadar menahan diri dari makanan, tetapi menahan lisan dari ghibah, menahan mata dari pandangan sia-sia, dan menahan pikiran dari prasangka buruk. Itulah hakikat puasa yang sesungguhnya.
Puasa dan peninggian Ruh
Puasa adalah proses pengangkatan ruh. Dalam Ad-Durratun Nashihin, disebutkan bahwa ruh manusia akan bersinar ketika tubuhnya dilatih untuk sederhana. Puasa membuat manusia memahami bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kepemilikan, melainkan pada kemampuan untuk menahan diri.
Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9–10)
Puasa adalah alat penyucian jiwa. Ia membersihkan karat yang menutupi hati akibat dosa, kelalaian, dan keserakahan duniawi. Ruh yang bersih akan mudah merasakan nikmatnya ibadah dan kedamaian batin.
Dalam pandangan ulama salaf, puasa bukanlah siksaan, tetapi keindahan spiritual. Mereka memandang lapar sebagai cahaya, karena dengan lapar, tabir yang menutupi hati menjadi tipis. Orang yang terbiasa berpuasa tidak mudah goyah oleh gemerlap dunia, sebab ruhnya telah terbiasa terbang lebih tinggi dari hawa nafsu.
Puasa Sebagai Latihan Kehidupan
Puasa tidak berhenti di bulan Ramadan. Ia adalah latihan jangka panjang untuk seluruh kehidupan. Seseorang yang telah memahami makna puasa sejati akan membawa semangatnya ke hari-hari biasa. Ia akan berlatih untuk menahan diri dari amarah, menunda kesenangan, dan mendahulukan kebaikan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ، فَرْحَةٌ عِندَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِندَ لِقَاءِ رَبِّهِ
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kebahagiaan sejati bukan hanya saat berbuka, tetapi ketika seseorang mampu “berbuka” dari hawa nafsunya — ketika ia tidak lagi diperbudak oleh keinginan duniawi.
Dalam konteks kehidupan modern, di mana segalanya serba cepat dan instan, puasa mengajarkan nilai menunda dan merenung. Ia menuntun manusia untuk memahami bahwa hidup tidak selalu tentang “memiliki lebih”, tetapi tentang “menjadi lebih”: lebih sabar, lebih bersyukur, lebih dekat dengan Allah.
Puasa dan Dimensi Sosial
Puasa juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Dengan menahan lapar, seseorang belajar empati terhadap sesama. Ia menyadari betapa banyak orang yang hidup dengan keterbatasan. Dari kesadaran itu, lahir semangat berbagi dan menolong.
Syekh Utsman menulis dalam Ad-Durratun Nashihin:
مَنْ لَمْ يَرْحَمِ الجَائِعَ، لَمْ يَذُقْ حَقِيقَةَ الصِّيَامِ
“Barang siapa tidak berbelas kasih kepada orang yang lapar, maka ia belum merasakan hakikat puasa.”
Puasa sejati melahirkan solidaritas. Ia mengikat hati orang kaya dan miskin dalam satu rasa: rasa lapar. Dalam rasa lapar itulah tumbuh kesadaran bahwa semua manusia sama di hadapan Allah, hanya takwa yang membedakan.
Menjaga Ruh Puasa di Zaman Modern
Di tengah dunia yang penuh distraksi, menjaga ruh puasa menjadi tantangan tersendiri. Media sosial, hiburan, dan gaya hidup konsumtif sering kali mengaburkan makna kesederhanaan. Namun, justru di sinilah keindahan puasa diuji.
Puasa mengajarkan keseimbangan antara kebutuhan dunia dan tuntutan ruhani. Ia bukan ajakan untuk meninggalkan dunia, melainkan untuk menggunakannya dengan bijak. Seseorang yang berpuasa dengan kesadaran penuh akan membawa nilai-nilai itu dalam kesehariannya — dalam cara ia bekerja, berinteraksi, dan beribadah.
Puasa juga menjadi sarana untuk memperkuat hubungan spiritual dengan Allah. Ketika seseorang menahan diri dari yang halal demi ketaatan, ia akan lebih mudah meninggalkan yang haram.
Penutup
Puasa adalah keheningan yang berbicara. Dalam sepi perut dan haus tenggorokan, ada dialog lembut antara hamba dan Tuhannya. Di sanalah ruh mulai tumbuh, menembus lapisan ego dan kesombongan.
Puasa bukan hanya tentang lapar, tapi tentang kesadaran. Ia bukan sekadar kewajiban, tapi kesempatan — kesempatan untuk mengenali diri, membersihkan jiwa, dan mendekat pada Sang Pencipta.
Sebagaimana ditulis Syekh Utsman dalam penutup bab tentang puasa di Ad-Durratun Nashihin:
مَنْ صَامَ بَاطِنُهُ مِنَ الدُّنْيَا، رَأَى نُورَ الحَقِّ فِي قَلْبِهِ
“Barang siapa yang hatinya berpuasa dari dunia, ia akan melihat cahaya kebenaran dalam hatinya.”
Dan mungkin, pada akhirnya, itulah makna sejati puasa: bukan sekadar menahan diri dari makanan, tetapi menahan hati dari keterikatan pada dunia, hingga yang tersisa hanyalah cinta yang murni kepada Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
