Khazanah
Beranda » Berita » Shalat sebagai Tiang Kehidupan: Nasihat Ulama dalam Kitab Ad-Durratun Nashihin Mengenai Ibadah

Shalat sebagai Tiang Kehidupan: Nasihat Ulama dalam Kitab Ad-Durratun Nashihin Mengenai Ibadah

pemuda muslim berdoa di bawah cahaya senja, simbol shalat dan ketenangan
Seorang pemuda muslim berdiri di bawah langit senja, tangannya terangkat dalam doa, sementara cahaya lembut turun dari langit — simbol hubungan antara hamba dan Tuhannya.

Surau.co. Dalam pusaran kehidupan modern yang serba cepat, banyak manusia kehilangan arah spiritualnya. Kesibukan, ambisi dunia, dan kebisingan informasi membuat hati mudah kering dari zikir dan tunduk. Padahal, di tengah hiruk-pikuk dunia, Allah masih memanggil hamba-hamba-Nya lima kali sehari melalui adzan — panggilan lembut yang mengingatkan bahwa shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi tiang penyangga kehidupan manusia. Dalam kitab Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi menekankan pentingnya shalat sebagai tanda hidupnya hati dan bukti nyata dari keimanan.

Shalat: Ikatan Antara Hamba dan Tuhannya

Shalat bukanlah sekadar gerakan tubuh yang berulang, melainkan perjumpaan ruhani antara seorang hamba dan Penciptanya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.”
(QS. Al-‘Ankabut [29]: 45)

Ayat ini menggambarkan shalat sebagai energi spiritual yang membersihkan jiwa. Bagi orang beriman, shalat bukan hanya perintah, melainkan penawar bagi hati yang resah. Di setiap sujudnya, seorang hamba meletakkan seluruh egonya, menyerahkan diri pada kehendak Allah yang Maha Lembut.

Syekh Utsman Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menulis bahwa shalat adalah “penjernih hati dan penghapus noda dosa.” Beliau mengutip pepatah ulama salaf, “Barang siapa menjaga shalatnya, Allah akan menjaga hidupnya. Barang siapa meremehkannya, Allah akan mencabut keberkahan dari langkah-langkahnya.” Ini menunjukkan bahwa shalat bukan hanya ibadah ritual, tetapi fondasi dari segala amal dan kebahagiaan hidup.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Tiang Kehidupan, Bukan Sekadar Kewajiban

Rasulullah ﷺ bersabda:

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Pokok perkara adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat.”
(HR. Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan bahwa tanpa shalat, keislaman seseorang rapuh. Sebagaimana rumah tanpa tiang akan roboh, begitu pula kehidupan tanpa shalat akan kehilangan arah. Namun, banyak orang modern memahami shalat sebatas kewajiban administratif: dikerjakan cepat, tanpa tadabbur, tanpa rasa hadir di hadapan Allah.

Padahal, shalat adalah tiang kehidupan — bukan hanya kehidupan agama, tapi juga kehidupan batin dan sosial. Orang yang rajin shalat dengan khusyuk akan memiliki hati yang lebih tenang, sabar, dan pemaaf. Shalat yang benar melatih disiplin waktu, kesadaran diri, dan rasa tanggung jawab. Ia membentuk karakter spiritual yang kokoh di tengah dunia yang mudah goyah.

Shalat dalam Pandangan Ulama Salaf

Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman Al-Khubawi menuturkan sebuah kisah: seorang pemuda mendatangi seorang wali Allah dan berkata bahwa ia sering melakukan dosa meski tak pernah meninggalkan shalat. Wali itu menjawab, “Biarkan shalatmu memperbaiki dosamu. Jangan engkau tinggalkan shalat karena dosa, sebab shalat adalah tali yang akan menarikmu kembali kepada Allah.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Nasihat itu menunjukkan bahwa shalat memiliki kekuatan penyembuh batin. Dalam setiap takbir dan sujud, ada proses pembersihan jiwa yang pelan namun pasti. Ulama salaf percaya bahwa seseorang tidak akan rusak selama ia masih menjaga shalat. Sebaliknya, tanda awal kehancuran moral suatu umat dimulai ketika shalat mulai ditinggalkan.

Sebagaimana firman Allah:

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan menuruti hawa nafsu; maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
(QS. Maryam [19]: 59)

Ayat ini menjadi peringatan keras bahwa rusaknya hubungan manusia dengan Allah dimulai dari lalainya mereka terhadap shalat.

Menghidupkan Shalat di Tengah Dunia Modern

Kehidupan modern seringkali menjauhkan manusia dari makna spiritual. Ponsel, pekerjaan, dan hiburan digital mencuri perhatian hingga waktu shalat lewat tanpa disadari. Namun, justru di tengah dunia seperti inilah, shalat menjadi pelita yang menjaga keseimbangan jiwa.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Menegakkan shalat lima waktu secara konsisten di zaman modern bukanlah perkara mudah. Tapi setiap kesulitan yang dihadapi dalam menjaga shalat akan menjadi ladang pahala. Ulama salaf mengajarkan bahwa shalat adalah “mi‘rajul mu’min” — tangga rohani yang mengangkat hati menuju kedekatan dengan Allah. Seseorang yang menegakkan shalat dengan hati yang hadir akan merasakan ketenangan yang tak tergantikan oleh gemerlap dunia.

Shalat bukan hanya hubungan vertikal antara manusia dan Allah, tapi juga berdampak horizontal pada kehidupan sosial. Orang yang terbiasa shalat dengan penuh kesadaran akan lebih mudah berlaku adil, menahan amarah, dan mengasihi sesama. Karena itu, menjaga shalat berarti menjaga kualitas kemanusiaan kita.

Shalat dan Pembentukan Karakter Spiritual

Setiap gerakan dalam shalat memiliki makna filosofis yang dalam. Berdiri tegak melambangkan kesiapan untuk taat; ruku’ menunjukkan kerendahan hati; sujud adalah puncak penyerahan diri. Ketika seseorang benar-benar memahami simbolisme ini, shalatnya akan menanamkan nilai-nilai luhur dalam kehidupannya sehari-hari.

Syekh Utsman Al-Khubawi menulis dalam Ad-Durratun Nashihin:

“الصلاة معراج الأرواح، من أقامها بحقها رُفع إلى مقام القرب من مولاه”
“Shalat adalah mi‘raj (tangga naik) bagi ruh; siapa yang menegakkannya dengan sungguh-sungguh, akan diangkat ke derajat kedekatan dengan Tuhannya.”

Kata-kata ini menggambarkan betapa shalat dapat menjadi jalan menuju pencerahan spiritual. Orang yang hidupnya penuh tekanan akan menemukan kedamaian sejati ketika ia sujud dengan tulus. Karena dalam sujud, seorang hamba menemukan arti kebebasan sejati — bebas dari belenggu dunia, bebas dari kegelisahan, dan bebas dari ketergantungan pada selain Allah.

Tantangan dan Harapan: Menjaga Shalat di Era Digital

Generasi muda menghadapi tantangan besar dalam menjaga ibadah, terutama shalat. Gangguan digital membuat konsentrasi mudah pecah. Banyak yang mengaku sulit khusyuk karena pikiran terus melayang pada urusan dunia. Namun, ulama salaf memberi jalan keluar: latih hati dengan dzikir dan hadirkan kesadaran akan kebesaran Allah dalam setiap takbir.

Khusyuk tidak lahir tiba-tiba; ia tumbuh dari kebiasaan merenung, berdzikir, dan mengingat kematian. Syekh Al-Khubawi menyebut bahwa salah satu tanda hati hidup adalah “merasakan nikmat dalam berdiri di hadapan Allah.” Dengan kata lain, shalat akan menjadi ringan ketika seseorang mengenal siapa yang ia sembah.

Dalam dunia yang serba cepat, jadikan shalat sebagai jeda suci — momen untuk berhenti, bernapas, dan kembali ke pusat kehidupan: Allah. Shalat yang dilakukan dengan kesadaran seperti ini bukan sekadar kewajiban, tetapi terapi bagi jiwa.

Penutup

Shalat adalah tiang yang menopang kehidupan spiritual manusia. Ia bukan hanya ritual, tapi napas rohani yang menghidupkan hati. Dalam setiap rakaat, terkandung pelajaran tentang tunduk, disiplin, dan cinta kepada Sang Pencipta. Dunia modern mungkin menawarkan banyak hal untuk tubuh dan pikiran, tetapi hanya shalat yang memberi nutrisi bagi jiwa.

Sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu; dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 45)

Shalat adalah tiang yang menghubungkan bumi dan langit dalam diri manusia. Siapa yang menegakkannya, hatinya akan hidup; siapa yang melalaikannya, jiwanya akan gersang. Mari hidupkan kembali tiang kehidupan itu — bukan karena takut pada kewajiban, tapi karena rindu untuk kembali kepada Tuhan yang Maha Penyayang.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement