Surau.co. Kalimat syahadat adalah permulaan dari seluruh perjalanan iman seorang Muslim. Ia bukan sekadar ucapan yang meluncur dari bibir, melainkan ikrar suci yang meneguhkan hubungan manusia dengan Allah. Syahadat menjadi pintu gerbang menuju cahaya keimanan, sebagaimana ia juga menjadi tanda bahwa seseorang telah meninggalkan kegelapan kekufuran. Di balik dua kalimat yang tampak sederhana itu, tersimpan makna yang dalam, luas, dan berlapis, seperti cahaya yang menembus relung hati manusia.
Dalam kitab Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi menjelaskan bahwa kalimat syahadat adalah dasar segala amal, pondasi setiap ibadah, dan kunci bagi diterimanya segala amal kebajikan. Tanpa syahadat, amal sebesar apa pun tidak bernilai di sisi Allah. Karena itu, memahami makna dan keutamaan syahadat menjadi keharusan bagi setiap Muslim.
Makna Syahadat: Ikrar yang Mengubah Hidup
Kalimat syahadat terdiri dari dua bagian: Lā ilāha illallāh, Muhammadur Rasūlullāh (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ، مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّٰهِ). Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.” Dua kalimat ini adalah pondasi Islam. Dengan mengucapkannya secara sadar dan penuh keyakinan, seseorang memutus hubungan dengan segala bentuk kesyirikan dan mengikat dirinya kepada tauhid yang murni.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Ayat ini menegaskan bahwa keimanan bukan sekadar pengakuan lisan, melainkan juga pengetahuan dan keyakinan yang bersemayam dalam hati. Menurut Syekh Al-Khubawi, seseorang tidak akan merasakan manisnya iman sebelum ia memahami makna kalimat lā ilāha illallāh dengan hati yang sadar. Beliau menulis:
«لَا يَسْتَقِرُّ الإِيْمَانُ فِي القَلْبِ حَتَّى يَعْرِفَ العَبْدُ مَعْنَى لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ»
“Iman tidak akan menetap di hati seorang hamba sampai ia memahami makna dari Lā ilāha illallāh.”
Pemahaman ini menjadi fondasi perubahan hidup. Seseorang yang benar-benar memahami syahadat akan meninggalkan kesombongan, kemunafikan, dan kemaksiatan, karena ia tahu bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan ibadah dan sumber segala kekuatan.
Syahadat Sebagai Pondasi Iman
Iman tidak mungkin tegak tanpa syahadat. Ia adalah akar yang menumbuhkan cabang-cabang amal saleh.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ دَخَلَ الجَنَّةَ»
“Barang siapa yang mengucapkan Lā ilāha illallāh, maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, sabda ini bukan berarti cukup hanya dengan mengucapkannya tanpa memahami dan mengamalkannya. Para ulama menjelaskan, yang dimaksud adalah orang yang mengucapkannya dengan hati yang yakin, lidah yang jujur, dan perbuatan yang membuktikan. Syahadat adalah kesaksian total — akal meyakini, hati mengamini, dan anggota badan menaati.
Syekh Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menegaskan, kalimat syahadat bukan sekadar “kata-kata” tetapi “kebenaran yang hidup”. Beliau berkata:
«مَنْ قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ بِصِدْقٍ وَيَقِينٍ، نُوِّرَ قَلْبُهُ بِنُورِ الإِيْمَانِ»
“Barang siapa yang mengucapkan Lā ilāha illallāh dengan jujur dan yakin, niscaya hatinya diterangi oleh cahaya iman.”
Inilah yang menjadikan syahadat bukan hanya pintu masuk Islam, tetapi juga sumber pencerahan batin. Iman tumbuh dari cahaya ini, menyinari akal dan menggerakkan amal menuju kebaikan.
Dua Kalimat yang Menyatukan Hati
Syahadat juga menjadi perekat di antara sesama Muslim. Ia menyatukan berbagai bangsa, ras, dan bahasa dalam satu ikatan keimanan. Seseorang dari ujung dunia timur dan lainnya dari barat bisa menjadi saudara seiman karena mereka bersaksi atas kebenaran yang sama: Allah adalah Tuhan, dan Muhammad adalah Rasul-Nya.
Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurāt [49]: 10)
Dari ayat ini, kita belajar bahwa kalimat syahadat memiliki kekuatan sosial yang besar. Ia bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablun minallah), tetapi juga hubungan antarsesama (hablun minannas). Ketika umat Islam benar-benar memahami makna syahadat, maka perpecahan, kebencian, dan permusuhan akan mencair, digantikan dengan kasih sayang dan persaudaraan sejati.
Syahadat dan Kebebasan Jiwa
Kalimat lā ilāha illallāh mengandung makna pembebasan sejati. Ia membebaskan manusia dari penyembahan terhadap sesama makhluk, dari ketergantungan kepada materi, dan dari perbudakan hawa nafsu. Dengan mengikrarkan bahwa “tidak ada tuhan selain Allah”, seseorang menegaskan bahwa tidak ada yang layak ditakuti, dicintai, atau diharapkan selain Dia.
Imam Al-Ghazali pernah menulis bahwa hakikat tauhid adalah ketika hati tidak lagi bergantung kepada selain Allah. Maka, syahadat menjadi tameng bagi jiwa dari keserakahan, ketakutan, dan keputusasaan. Ia menjadikan hidup lebih ringan karena seseorang sadar, bahwa segala sesuatu di dunia hanyalah titipan.
Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt [51]: 56)
Ayat ini memperjelas bahwa inti hidup manusia adalah ibadah. Dan ibadah sejati dimulai dari kesadaran tauhid — dari syahadat yang dipahami, dihayati, dan diamalkan.
Syahadat dan Tanggung Jawab Moral
Mengucap syahadat berarti memikul tanggung jawab moral. Seseorang yang bersyahadat wajib menegakkan nilai-nilai keislaman dalam perilakunya: kejujuran, amanah, kasih sayang, dan keadilan. Ia harus menjauhkan diri dari kemunafikan dan segala perbuatan yang bertentangan dengan keimanan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ»
“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, syahadat bukan hanya hubungan vertikal antara manusia dan Allah, tetapi juga komitmen etis terhadap sesama manusia. Iman sejati tidak bisa dipisahkan dari akhlak yang baik. Inilah yang ditegaskan oleh Syekh Al-Khubawi: iman yang tidak tercermin dalam amal adalah seperti pohon tanpa buah.
Syahadat Sebagai Cahaya Hati
Setiap kali seorang Muslim mengucapkan syahadat, baik dalam salat, dzikir, atau saat memulai sesuatu, ia sedang memperbarui ikrar kesetiaannya kepada Allah. Dalam Ad-Durratun Nashihin, disebutkan bahwa kalimat ini adalah “cahaya yang tidak akan padam di hati orang beriman.” Cahaya ini menuntun langkah manusia, menenangkan hatinya, dan menumbuhkan keyakinan dalam segala keadaan.
Syahadat membuat hidup terasa bermakna karena ia mengaitkan setiap peristiwa dunia dengan keabadian akhirat. Ia mengubah pandangan kita terhadap dunia: dari sekadar tempat tinggal sementara menjadi ladang amal untuk kehidupan kekal. Dengan demikian, syahadat menjadi sumber kekuatan spiritual yang terus mengalir.
Penutup
Kalimat syahadat bukan hanya awal dari iman, tetapi juga akhir dari perjalanan hidup setiap Muslim. Saat seseorang mengucapkannya di penghujung hayatnya, maka seluruh dosa dapat diampuni oleh Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ دَخَلَ الجَنَّةَ»
“Barang siapa yang akhir perkataannya adalah Lā ilāha illallāh, maka ia akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud)
Betapa agung kalimat ini! Ia membuka pintu iman dan menutup perjalanan hidup dengan ketenangan. Dalam setiap detak waktu, syahadat memanggil manusia untuk kembali — kepada Allah, kepada kebenaran, kepada cahaya yang tidak akan pernah padam.
Maka marilah kita menjaga kalimat ini, bukan hanya di lisan tetapi juga di hati dan perbuatan. Sebab, di balik dua kalimat itu tersembunyi seluruh rahasia kebahagiaan sejati — cahaya di balik iman yang menuntun kita menuju ridha Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
