Khazanah
Beranda » Berita » Orang yang Beruntung dan Bahagia Berdasarkan Hadis Nabi

Orang yang Beruntung dan Bahagia Berdasarkan Hadis Nabi

Orang yang Beruntung dan Bahagia Berdasarkan Hadis Nabi
Ilustrasi Orang yang bahagia dan beruntung (Foto: Google)

SURAU.CO – Setiap manusia mendambakan keberuntungan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Banyak orang yang mengejar keberuntungan dengan bekerja keras, menumpuk harta, atau mencari kedudukan tinggi. Namun, tidak sedikit yang tetap merasa kosong meski telah memiliki segalanya. Dalam pandangan Islam, ukuran keberuntungan dan kebahagiaan tidak terletak pada banyaknya harta atau tingginya jabatan, melainkan pada keadaan hati dan kedekatan seseorang dengan Allah. Rasulullah ﷺ telah memberikan petunjuk yang jelas tentang siapa sebenarnya orang yang benar-benar beruntung dan bahagia.

Ukuran Bahagia Menurut Rasulullah ﷺ

Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah ﷺ bersabda:

Sungguh beruntungnya orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR.Muslim)

Hadis ini sederhana, namun maknanya sangat dalam. Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa keberuntungan sejati terletak pada tiga hal: keislaman, kecukupan rezeki, dan rasa qana’ah (merasa cukup). Tiga hal inilah yang membentuk landasan kebahagiaan sejati seorang hamba.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Beruntung karena Islam

Islam adalah kenikmatan terbesar dalam hidup seorang manusia. Dengan Islam, seseorang mengenal Tuhannya, mengetahui arah hidupnya, serta memahami tujuan akhirnya. Orang yang hidup dalam cahaya Islam akan memiliki pedoman yang jelas, tidak mudah goyah oleh dunia, dan selalu memiliki harapan meski dalam kesulitan.

Menjadi seorang muslim berarti memiliki identitas yang mulia. Seorang muslim mengetahui bahwa hidup ini hanyalah sementara, dan setiap amal akan berakhir di akhirat. Kesadaran inilah yang membuat hati tenang. Tak heran bila banyak orang yang berhijrah dan kembali kepada Islam mengaku merasakan kebahagiaan yang tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya, meskipun hidup mereka tidak selalu mudah.

Islam mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan untuk bekerja keras, namun tidak lupa berdoa dan bersyukur. Ia mencari rezeki dengan cara yang halal, menghindari kezaliman, dan membantu sesama. Itulah makna hidup yang penuh berkah — hidup yang tidak hanya mengejar dunia, tetapi juga menyiapkan bekal untuk akhirat.

Rezeki yang Cukup, Bukan yang Berlimpah

Bagian kedua dari hadis di atas tekanan tentang rezeki yang cukup. Rasulullah ﷺ tidak mengatakan “beruntung orang yang kaya”, tetapi “diberi rezeki yang cukup”. Artinya, diukur bukan diukur dari banyaknya harta, melainkan dari kecukupan yang membawa ketenangan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat orang yang hartanya berlimpah tetapi hatinya merasa tidak nyaman. Ia takut kehilangan, selalu merasa kurang, dan terus membandingkan dirinya dengan orang lain. Sebaliknya, ada orang sederhana yang tetap tersenyum, hidupnya tenang, dan hatinya lapang. Itulah contoh nyata dari rezeki yang cukup dan penuh berkah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Islam tidak menolak kekayaan, namun mengingatkan bahwa harta hanyalah titipan. Nabi ﷺ bersabda, “Tidaklah anak Adam memiliki hak atas sesuatu kecuali tiga: rumah untuk berteduh, pakaian untuk menutupi aurat, dan makanan sekadar untuk menyambung hidup.” (HR. Tirmidzi). Dari sini kita belajar bahwa kecukupan bukan berarti kekurangan, melainkan keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan.

Merasa Cukup dengan Pemberian Allah

Bagian terakhir dari hadis tersebut adalah inti dari kebahagiaan sejati — qana’ah , yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Inilah sifat yang membuat seseorang hidup damai, bebas dari iri dan kecewa. Orang yang qana’ah tidak memikirkan apa yang belum ia miliki, tetapi bersyukur atas apa yang telah ada.

Qana’ah bukan berarti pasrah tanpa usaha. Justru, orang yang qana’ah adalah orang yang bekerja keras namun tetap tenang dengan hasilnya. Ia yakin bahwa setiap rezeki sudah diatur oleh Allah, dan tidak ada satu pun yang tertukar. Dengan keyakinan itu, hatinya menjadi lapang dan jauh dari rasa serakah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

Bukanlah kekayaan itu diukur dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Hadis ini menegaskan bahwa hati yang tenang, yang tidak dikuasai oleh keinginan-keinginan duniawi, adalah sumber kebahagiaan yang hakiki. Orang yang hatinya kaya tidak mudah kecewa, tidak iri pada orang lain, dan selalu melihat sisi positif dalam setiap keadaan.

Bahagia Itu Dekat

Kebahagiaan dalam Islam bukanlah sesuatu yang jauh atau sulit diraih. Ia ada dalam kesederhanaan, dalam rasa syukur setiap hari, dalam ibadah yang ikhlas, dan dalam keimanan yang kuat. Seseorang bisa memiliki segalanya, tapi tanpa keimanan, ia akan tetap merasa hampa. Sebaliknya, seseorang bisa hidup sederhana namun selalu tersenyum karena hati penuh syukur.

Setiap muslim bisa menjadi orang yang beruntung dan bahagia seperti yang dijelaskan Nabi ﷺ. Caranya adalah dengan menjaga keimanan, berusaha sebaik mungkin dalam mencari rezeki yang halal, dan melatih diri untuk qana’ah. Ketika hati sudah tenang dan yakin bahwa semua yang Allah takdirkan adalah yang terbaik, maka keberuntungan sejati sudah berada di genggaman.

Rasulullah ﷺ telah memberi kunci kebahagiaan yang tidak lekang oleh waktu: keislaman, kecukupan, dan rasa cukup. Dunia mungkin terus berubah, tetapi prinsip ini tetap relevan. Orang yang beruntung bukanlah orang yang paling kaya, paling terkenal, atau paling berkuasa. Orang yang benar-benar beruntung adalah yang hidup dengan iman, bersyukur atas rezeki yang ada, dan merasa cukup dengan ketetapan Allah.

Itulah kebahagiaan sejati — sederhana, damai, dan penuh keberkahan.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement