Khazanah
Beranda » Berita » Dari Haran ke Damaskus: Perjalanan Intelektual Ibnu Taimiyah

Dari Haran ke Damaskus: Perjalanan Intelektual Ibnu Taimiyah

Ilustrasi ulama menuliskan pemikirannya dalam kitab.
Ilustrasi ulama menuliskan pemikirannya dalam kitab.

SURAU.CO– Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin al-Khidr bin Muhammad al-Khidr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyah al-Harani ad-Dimasyqi, dikenal sebagai Ibnu Taimiyah, adalah seorang imam besar, ahli hadits, tafsir, ushul fiqh, nahwu, orator, penulis, sastrawan, panutan, dan ulama yang sangat berpengaruh pada masanya. Ia juga dikenal sebagai Syekh al-Islam.

Dari Haran ke Damaskus

Ibnu Taimiyah lahir di Haran, dekat Damaskus, pada bulan Rabi‘ul Awal tahun 661 H. Ketika berusia enam tahun (667 H), keluarganya pindah ke Damaskus untuk menghindari serangan pasukan Tartar. Sejak kecil, kecerdasannya sudah tampak menonjol. Pada usia tujuh tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an dan mampu memahami maknanya secara mendalam.

Setelah itu, ia belajar ushul fiqh kepada ayahnya, mempelajari hadits kepada Syekh Syamsuddin Abu Qudamah, Syekh Zainuddin bin an-Najjar, dan al-Majd bin Asakir. Ia juga belajar bahasa Arab kepada Ibnu Abdul Qawi. Ibnu Taimiyah bahkan menghafal kitab Sibawaih, memahami isinya, dan memberi komentar atasnya.

Perhatian besar terhadap hadits

Perhatiannya terhadap hadits sangat besar. Ia mempelajari Kutub as-Sittah (enam kitab hadits utama) dan al-Masanid secara mendalam. Selain itu, ia menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, faraidh, ilmu hitung, aljabar, ilmu kalam, dan filsafat. Dalam semua bidang itu, ia mampu mengungguli banyak ulama lain dan bahkan memberikan kritik yang tajam terhadap karya-karya para pendahulunya.

Pada usia belum mencapai 20 tahun, Ibnu Taimiyah sudah menjadi guru besar dan mulai berfatwa. Ia juga aktif menulis sejak muda. Setelah ayahnya wafat, ia menggantikan kedudukan sang ayah sebagai pendidik dan mufti dalam mazhab Hanbali.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Memasuki usia 21 tahun, nama Ibnu Taimiyah semakin terkenal di seluruh dunia Islam. Banyak permintaan fatwa datang dari berbagai penjuru. Ia dikenal sebagai ulama yang berilmu tinggi, berakhlak zuhud, berani, ikhlas, sabar, dan teguh dalam berpegang pada hadits Nabi ﷺ. Banyak orang menganggapnya sebagai pedang yang terhunus bagi para penentang agama dan penggetar nyali bagi para ahli bid‘ah.

Memiliki banyak murid yang menjadi ulama besar

Sebagai mujtahid besar, Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama besar, ahli fiqh, hadits, dan tafsir. Di antara murid-muridnya adalah Syamsuddin adz-Dzahabi, Abu Hayyan an-Nahwi al-Mufassir, dan asy-Syams bin Abdul Hadi al-Muqaddasi.

Al-Allamah Kamaluddin az-Zamlakani menuturkan,

“Jika Ibnu Taimiyah ditanya tentang suatu cabang ilmu, orang-orang mengira ia hanya menguasai ilmu itu saja. Namun ternyata, tak ada seorang pun yang memahami seperti dirinya. Ketika para ahli fiqh dari berbagai mazhab duduk bersamanya, mereka mendapatkan pengetahuan baru tentang mazhab-mazhab lain yang sebelumnya tidak mereka ketahui.”

Ibnu Taimiyah terkenal menguasai dan menghafal hadits-hadits Nabi Saw. serta perkataan para sahabat. Dalam bidang tafsir dan fiqh, ia menjadi rujukan utama. Bahkan, adz-Dzahabi menulis dalam Tarikh al-Kabir:

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

“Setiap hadits yang tidak diketahui Ibnu Taimiyah, bukanlah hadits.”

Ibnu Daqiq al-‘Id, setelah bertemu dengannya, berkata:

“Aku melihat semua ilmu seakan berada di hadapan matanya. Ia bisa menyebutkan apa pun dari berbagai disiplin ilmu dengan mudah.”

Ketika diminta datang ke Mesir, Ibnu Taimiyah sempat memberikan fatwa di sana. Namun, sebagian penduduk Mesir menentangnya sehingga ia masuk penjara bersama saudaranya, Syarafuddin. Setelah beberapa waktu, ia dibebaskan dan kembali mengajar tanpa mengubah keyakinannya, meskipun banyak yang membencinya.

Mengalami pengasingan

Suatu ketika, ia berdebat dengan kelompok sufi hingga menimbulkan kekhawatiran penguasa. Akibatnya, ia ditangkap dan menjalani pengasingan ke Iskandariah. Ketika Malik Nashir bin Qalawun berkuasa (709 H), ia mendapat panggilan ke Mesir dan mengalami sambutann penuh kehormatan dari para hakim, fuqaha, dan pejabat tinggi. Setelah itu, Ibnu Taimiyah tinggal di Kairo selama beberapa waktu dan tetap menjadi pusat perhatian banyak penuntut ilmu.(St.Diyar)

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement