Surau.co. Mengaji kepada waktu berarti belajar tanpa batas usia, tanpa ruang kelas, dan tanpa kitab yang terbuka di pangkuan. Ia adalah bentuk belajar yang lahir dari kesadaran bahwa kehidupan itu sendiri adalah guru paling sabar.
Dalam Kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, Ibn Hajar al-‘Asqalānī mengingatkan:
العلم لا يعطيك بعضه حتى تعطيه كلك
“Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya, sampai engkau memberikan seluruh dirimu padanya.”
Belajar tidak berhenti di pesantren, kampus, atau ruang kajian. Ia terus hidup dalam kesadaran sehari-hari: bagaimana seseorang menanggapi kritik, menghadapi kecewa, atau menjaga kesabaran di tengah ujian. Semua itu bagian dari mengaji — bukan kepada kitab, tapi kepada waktu.
Zaman boleh berubah, tapi semangat mencari ilmu tidak boleh redup. Dalam setiap detik kehidupan, ada ayat yang bisa dibaca. Dalam setiap peristiwa, ada guru yang tersembunyi.
Ilmu yang Menumbuhkan, Bukan Menyombongkan
Ibn Hajar menulis dalam salah satu pasalnya:
من طلب العلم لغير الله حرم بركته
“Barang siapa mencari ilmu bukan karena Allah, maka ia akan diharamkan dari keberkahannya.”
Betapa banyak orang belajar untuk mendapatkan gelar, posisi, atau pengakuan. Tapi betapa sedikit yang belajar untuk mengenal diri, dan melalui itu mengenal Tuhannya. Ilmu yang sejati bukan yang membuat kepala tinggi, melainkan yang menundukkan hati.
Di era digital, banyak orang berdebat tentang agama, tapi sedikit yang mau mendengar. Banyak yang ingin berbicara, tapi lupa memahami. Padahal, dalam setiap ilmu ada ruh yang halus, yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mencari dengan hati bersih.
Allah ﷻ berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ
“Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39]: 9)
Namun, ayat ini bukan sekadar perbandingan intelektual. Ia adalah panggilan agar ilmu tidak berhenti di otak, tapi mengalir ke laku dan cinta. Ilmu sejati bukan sekadar pengetahuan, tapi kesadaran yang menumbuhkan kasih.
Guru yang Pergi, Tapi Ilmunya Tinggal
Banyak orang merasa berhenti belajar ketika keluar dari pesantren, ketika sang guru wafat, atau ketika kitab ditutup. Padahal, Ibn Hajar menulis:
العلم حياة القلوب ونور البصائر
“Ilmu adalah kehidupan bagi hati dan cahaya bagi pandangan.”
Kalimat ini sederhana tapi dalam. Guru bisa pergi, tapi cahaya ilmu yang benar tidak padam. Santri sejati bukan yang berhenti setelah wisuda, melainkan yang terus mengaji kepada kehidupan.
Setiap pertemuan adalah kelas, setiap kesalahan adalah ujian, dan setiap manusia adalah guru. Orang tua yang menasihati dengan air mata, anak kecil yang tersenyum di tengah lapar, atau alam yang sabar menghadapi ulah manusia — semuanya mengajarkan.
Mengaji kepada waktu berarti menyadari bahwa ilmu itu bernafas. Ia tidak hanya hidup di rak kitab, tapi juga di denyut kehidupan sehari-hari.
Belajar di Tengah Kehidupan yang Tak Sempurna
Ibn Hajar kembali menulis:
من لم يذق مرارة التعلم ساعة تجرع ذل الجهل أبدًا
“Barang siapa tidak merasakan pahitnya belajar sesaat, maka ia akan menelan hina kebodohan selamanya.”
Belajar memang tidak selalu indah. Ia sering melelahkan, membuat bingung, bahkan mematahkan ego. Tapi itulah cara Allah mendidik manusia. Ia tidak menanamkan hikmah di kepala, tapi menumbuhkannya di hati lewat pengalaman yang getir.
Hari ini, banyak orang ingin hasil tanpa proses. Ingin cerdas tanpa membaca, ingin berpendapat tanpa berpikir, ingin didengar tanpa belajar mendengar. Padahal, ilmu sejati tumbuh dari kerendahan hati — bukan dari keinginan untuk menang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibn Majah)
Menuntut ilmu di sini tidak hanya berarti kuliah atau membaca kitab, tapi juga menuntut hati untuk terus sadar dan berkembang. Karena ilmu bukan hanya tentang apa yang kita tahu, tapi tentang siapa kita menjadi setelah mengetahuinya.
Mengaji Kepada Waktu: Jalan Pulang ke Dalam Diri
Mengaji kepada waktu adalah mengaji kepada Allah lewat perantara kehidupan. Ia adalah bentuk kesadaran bahwa setiap hari bisa menjadi madrasah, setiap kejadian bisa menjadi pelajaran.
Kita belajar dari kesalahan untuk memahami ampunan, dari kehilangan untuk memahami kasih, dari kesunyian untuk mengenal diri. Begitu pula, setiap pertemuan dengan orang lain adalah ayat kehidupan yang bisa menuntun kita pulang — kepada kebenaran, kepada cinta, kepada Tuhan.
Ilmu tidak lagi sebatas catatan di kertas, melainkan cahaya yang menuntun langkah. Semakin dalam seseorang belajar, semakin sadar bahwa ia tak tahu apa-apa.
Penutup: Santri Waktu
Santri sejati bukan hanya mereka yang masih tinggal di pesantren. Santri sejati adalah mereka yang menjadikan waktu sebagai guru, kesalahan sebagai pengingat, dan kesabaran sebagai teman belajar.
Mengaji kepada waktu adalah cara lain untuk bersujud: bukan di atas sajadah, tapi di hadapan takdir. Bukan dengan gerak tubuh, tapi dengan kerendahan hati yang terus belajar.
Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
Ayat ini adalah janji, sekaligus panggilan. Bahwa siapa pun yang terus belajar — meski tanpa pesantren, tanpa gelar, tanpa publikasi — akan tetap ditinggikan oleh Allah. Karena ilmu sejati tidak diukur dari siapa yang tahu paling banyak, tetapi siapa yang paling rendah hati di hadapan waktu dan kehidupan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
