Khazanah
Beranda » Berita » Ilmu Itu Tidak Butuh Panggung, Tapi Butuh Sujud

Ilmu Itu Tidak Butuh Panggung, Tapi Butuh Sujud

Santri menunduk membaca kitab kuning di pesantren saat fajar.
Santri sedang menunduk di depan kitab kuning, simbol kerendahan hati dan keikhlasan menuntut ilmu.

Surau.co. Ada masa ketika belajar berarti menundukkan kepala, bukan mengangkat kamera. Di masa itu, ilmu dicari dengan langkah kaki dan sujud hati. Namun hari ini, kita hidup di zaman yang berbeda. Zaman di mana ilmu sering tampil di layar, diukur dari jumlah pengikut, bukan kedalaman pemahaman.

Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalānī dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, “العلم عبادة بالقلب كما أن الصلاة عبادة بالجوارح” — “Ilmu adalah ibadah dengan hati, sebagaimana shalat adalah ibadah dengan anggota tubuh.”

Ilmu, kata beliau, bukan sekadar aktivitas intelektual. Ia adalah ibadah yang lahir dari kesucian niat dan ketulusan jiwa. Maka barang siapa menuntut ilmu untuk pamer, untuk berdebat, atau untuk merasa lebih tinggi dari yang lain, sejatinya ia telah menukar cahaya dengan bayangan.

Ketika Ilmu Menjadi Topeng

Kita sering melihatnya: banyak orang berlomba menampilkan diri sebagai yang paling tahu, paling benar, paling suci. Diskusi tentang agama di media sosial sering berubah menjadi ajang pamer kepintaran. Sementara di sisi lain, mereka yang benar-benar belajar dalam keheningan jarang terdengar suaranya.

Ibn Hajar memberi peringatan keras:
“من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء فهو من أهل النار”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Barang siapa menuntut ilmu untuk menandingi para ulama atau membantah orang bodoh, maka ia termasuk penghuni neraka.”

Ilmu, dalam makna sejatinya, tidak butuh panggung. Ia tidak mencari sorotan. Ia hidup di tempat yang sunyi, di hati yang tulus, di lidah yang jujur, di tangan yang memberi. Ilmu yang sejati adalah yang membuat seseorang semakin rendah hati — bukan semakin haus pengakuan.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“Dan di atas setiap orang yang berilmu, masih ada yang lebih berilmu.” (QS. Yusuf [12]: 76)

Ayat ini seperti tiang penyangga bagi orang berilmu — agar ia tak sombong ketika tahu, dan tak putus asa ketika bodoh. Sebab ilmu sejati bukan garis akhir, tapi perjalanan tanpa ujung.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Adab yang Hilang di Meja Belajar

Di pesantren, kita diajarkan bahwa adab lebih tinggi dari ilmu. Santri tidak hanya belajar membaca kitab, tapi juga membaca dirinya sendiri. Karena itu, Ibn Hajar menulis:
“ينبغي للطالب أن يتواضع لمعلمه ولو كان دونه في النسب أو في السن.”

“Seorang murid hendaknya merendahkan diri kepada gurunya, meskipun gurunya lebih rendah dalam nasab atau usia.”

Kalimat ini bukan sekadar etika klasik, tapi peringatan yang terus relevan. Banyak orang belajar hari ini tanpa guru, tanpa bimbingan. Mereka merasa cukup dengan search engine dan algoritma. Tapi ilmu yang didapat tanpa guru seperti air tanpa sumber — bening di awal, tapi mudah keruh.

Seorang guru bukan sekadar pengajar. Ia adalah cermin kehidupan, penjaga niat, dan penuntun batin. Karena ilmu tidak hanya berpindah lewat kata-kata, tapi juga lewat keberkahan jiwa yang tenang.

Belajar Itu Sujud yang Panjang

Ibn Hajar kembali menulis dengan kalimat yang sederhana tapi dalam:
“من لم يذق مرارة التعلم ساعة تجرع ذل الجهل أبدًا.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“Barang siapa tidak merasakan pahitnya belajar sesaat, maka ia akan menelan hina kebodohan selamanya.”

Belajar adalah ibadah yang melelahkan. Ia butuh sabar dan istikamah. Dalam tradisi santri, ilmu itu seperti cahaya — hanya akan masuk ke hati yang bersih dan sabar. Santri yang mengantuk di tengah ngaji kitab, yang menulis dengan tinta setengah kering, yang menyalin ulang catatan agar ingat, mereka sedang sujud dalam bentuk lain.

Sujud itu tak selalu di sajadah. Kadang ia berbentuk keletihan di depan kitab, diam di depan guru, atau tangis di tengah malam karena sulit memahami satu kalimat. Ilmu itu bukan hanya soal paham, tapi soal pasrah.

Zaman Digital, Ujian Kesabaran Baru

Hari ini, menuntut ilmu berarti juga menuntut kesabaran menghadapi kebisingan. Media sosial memproduksi “ustaz” instan, pengamat agama dengan latar belakang minim, dan pengetahuan yang lahir tanpa kedalaman.

Di sinilah pesan Ibn Hajar menjadi relevan: ilmu sejati tidak lahir dari layar, tapi dari kesunyian. Ia tumbuh dalam perenungan, dalam obrolan kecil di serambi masjid, dalam keikhlasan mencatat tanpa disorot kamera.

Belajar di zaman ini butuh kemampuan menyaring. Jangan semua yang viral dianggap benar, jangan semua yang populer dianggap berilmu. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mengubah diri sebelum mengubah orang lain.

Ilmu yang Menyembuhkan

Jika kita membaca keseluruhan Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, kita akan menemukan semangat yang sama: bahwa ilmu sejati adalah rahmat, bukan alat perdebatan. Ia adalah obat bagi kebodohan, bukan senjata untuk menyerang.

Ilmu, dalam pandangan Ibn Hajar, adalah jalan menuju keselamatan batin. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“من سلك طريقًا يلتمس فيه علمًا سهّل الله له به طريقًا إلى الجنة.”
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Ilmu sejati bukan yang membuat dada sesak oleh kebanggaan, tapi yang membuat hati lapang oleh kasih. Bukan yang menumbuhkan ego, tapi yang menumbuhkan cinta.

Penutup: Sujud Itu Tempat Ilmu Turun

Akhirnya, kita sampai pada inti: ilmu tidak butuh panggung, tapi butuh sujud. Sebab ilmu sejati bukan alat untuk menaklukkan dunia, melainkan jembatan menuju pengenalan diri dan Tuhan.

Mereka yang belajar dengan rendah hati, akan diangkat derajatnya.
Sebagaimana firman Allah:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)

Dan barangkali di situlah letak sujud sejati dalam belajar: ketika kita tidak lagi ingin terlihat tahu, tapi ingin terus merasa bodoh di hadapan kebesaran-Nya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement