Khazanah
Beranda » Berita » Suhrawardī al-Maqtūl: Filsuf yang Mati, tapi Cahayanya Abadi

Suhrawardī al-Maqtūl: Filsuf yang Mati, tapi Cahayanya Abadi

ilustrasi Suhrawardī diterangi cahaya simbol keabadian ilmu
Sosok Suhrawardī berdiri dalam gelap penjara, diterangi cahaya lembut dari atas — simbol pengetahuan yang abadi.

Surau.co. Ada manusia yang hidup panjang tetapi tak meninggalkan jejak. Namun, ada pula yang mati muda, dan cahayanya tak pernah padam. Salah satunya ialah Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī, dikenal sebagai Suhrawardī al-Maqtūl — “Suhrawardī yang terbunuh.” Ia wafat pada usia tiga puluh enam tahun di penjara Aleppo, setelah gagasan-gagasannya dianggap mengancam ortodoksi.

Meskipun demikian, dari kematiannya justru lahir sesuatu yang tak bisa dibunuh: filsafat cahaya (Ḥikmat al-Ishrāq) — ajaran bahwa segala sesuatu berasal dari dan kembali menuju cahaya Ilahi. Kini, delapan abad sesudah ia dibungkam, namanya tetap bergaung di ruang studi dan hati-hati yang mencari.


Kematian Sebagai Awal Cahaya

Ironisnya, Suhrawardī dijuluki al-Maqtūl — “yang terbunuh” — tetapi gagasannya justru berbicara tentang keabadian nūr(cahaya). Dalam Ḥikmat al-Ishrāq, ia menulis:

«النورُ لا يَفنى، بل ينتقلُ من ظلمةٍ إلى إشراقٍ آخر»
“Cahaya tidak pernah lenyap; ia hanya berpindah dari satu kegelapan ke pencerahan lain.”

Bagi Suhrawardī, kematian bukan akhir, melainkan transisi kesadaran. Ia memandang wujud sebagai gradasi cahaya, dan manusia hanyalah manifestasi dari nur Ilahi. Ketika tubuh berhenti bernapas, cahaya itu kembali kepada sumbernya — Nūr al-Anwār, Cahaya dari segala cahaya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Di sinilah paradoks Suhrawardī: tubuhnya memang dibunuh, tetapi jiwanya justru lahir di dunia ruhani. Darahnya menjadi tinta, dan dari tinta itu dunia Islam mengenal filsafat iluminasi.


Fenomena Sehari-hari: Saat Gelap Menjadi Guru

Setiap manusia pernah kehilangan — seseorang, cita-cita, atau arah hidup. Namun, justru dalam kegelapan itulah kita sering menemukan cahaya. Suhrawardī menulis:

«من لم يذقْ طعمَ الظلمةِ، لا يعرفُ لذةَ النورِ»
“Barang siapa belum merasakan pahitnya kegelapan, ia takkan tahu manisnya cahaya.”

Kalimat itu terasa sederhana, tetapi mengandung kedalaman luar biasa. Ia mengajarkan bahwa penderitaan bukan kutukan, melainkan pintu kesadaran. Karena sebagaimana malam melahirkan fajar, jiwa yang remuk justru lebih peka terhadap cahaya.

Suhrawardī bukan sekadar filsuf; ia penyair jiwa yang berbicara melalui simbol. Cahaya baginya bukan teori abstrak, tetapi pengalaman batin yang bisa dialami siapa saja — bahkan oleh mereka yang tak pernah membaca filsafat.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern


Dari Timur Ruhani: Akar Iluminasi

Dalam filsafat Ishrāqiyyah (Iluminasi), Suhrawardī menegaskan bahwa sumber sejati pengetahuan adalah Timur, bukan dalam arti geografis, melainkan Timur batin — arah matahari makna. Ia menulis:

«المشرقُ ليسَ مكانًا، بل هوَ مبدأُ الأنوارِ في النفسِ»
“Timur bukanlah tempat, melainkan sumber cahaya di dalam jiwa.”

Timur, bagi Suhrawardī, adalah simbol kebangkitan ruhani. Di sanalah matahari kesadaran terbit, menyingkap kabut ego dan kebodohan. Karena itu, filsafatnya tidak dimaksudkan untuk diperdebatkan, melainkan untuk dihidupi. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan sejati bukan hasil banyak membaca, tetapi penyaksian langsung terhadap cahaya dalam diri.


Iluminasi dan Wahyu: Jejak Cahaya dalam Al-Qur’an

Suhrawardī tidak pernah memisahkan filsafat dari wahyu. Menurutnya, Al-Qur’an adalah kitab cahaya yang berbicara dengan simbol dan iluminasi. Allah berfirman:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi; perumpamaan cahaya-Nya seperti ceruk yang di dalamnya ada pelita.” (QS. An-Nūr: 35)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Bagi Suhrawardī, ayat ini bukan sekadar metafora, melainkan peta metafisika wujud. Tuhan adalah sumber cahaya mutlak; dari-Nya memancar segala realitas, dari malaikat hingga manusia. Karena itu, mengenal Tuhan berarti mengenal cahaya diri.

Nabi ﷺ pun bersabda:

«إِنَّ لِلَّهِ سِتِّينَ وَثَلَاثَ مِائَةِ حِجَابٍ مِنْ نُورٍ وَظُلْمَةٍ، لَوْ كَشَفَهَا لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَنْ انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ»
“Sesungguhnya Allah memiliki 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Jika Dia menyingkapkannya, sinar wajah-Nya akan membakar segala sesuatu yang terlihat oleh pandangan-Nya.” (HR. Muslim)

Hadis tersebut memperkuat pandangan Isyraqiyyah: bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat dipahami sepenuhnya. Ia hanya bisa dihampiri, setingkat demi setingkat, dari kegelapan menuju cahaya.


Kematian yang Tidak Memadamkan

Ketika penguasa Aleppo, Malik az-Zahir (putra Salahuddin al-Ayyubi), memenjarakannya karena tekanan ulama konservatif, Suhrawardī tahu akhir hidupnya dekat. Namun, ia menulis surat terakhir seperti doa:

«النهايةُ عودةُ النورِ إلى مبدأِه، وما القتلُ إلا فتحُ بابِ الفجرِ الأبديِّ»
“Akhir perjalanan adalah kembalinya cahaya kepada sumbernya, dan kematian hanyalah pintu menuju fajar abadi.”

Di hari eksekusi, riwayat menyebut ia tersenyum. Mungkin karena ia paham: mereka hanya membunuh tubuhnya, bukan cahayanya. Benar saja — beberapa abad kemudian, filsafat Barat menemukan ide-ide serupa dalam “teori cahaya” Plotinus. Bahkan tokoh-tokoh seperti Heidegger dan Henry Corbin mengakuinya. Dengan demikian, Suhrawardī telah menjadi matahari yang tak lagi memerlukan tubuh.


Fenomena Jiwa Modern: Mencari Cahaya di Tengah Arus Gelap

Hari ini, dunia kita memang terang oleh cahaya buatan — layar, lampu, sorotan. Namun, di balik semua terang itu, jiwa manusia justru gelap. Kita kehilangan kemampuan melihat dengan mata batin, karena terlalu sibuk menatap yang luar.

Filsafat Suhrawardī mengingatkan bahwa cahaya sejati datang dari dalam, bukan dari luar. Karena itu, manusia modern memerlukan Ishrāqiyyah bukan sebagai sistem metafisik, tetapi terapi eksistensial. Kita perlu menemukan kembali arah “Timur” — arah fajar hati yang nyaris padam oleh kebisingan dunia.


Suhrawardī dan Cahaya yang Tak Pernah Mati

Kematian Suhrawardī bukan tragedi, melainkan penegasan ajarannya: bahwa cahaya sejati tak bisa dibunuh. Ia menulis:

«من عاشَ بالنورِ، لا يموتُ بالظلمةِ»
“Barang siapa hidup dengan cahaya, ia tidak akan mati dalam kegelapan.”

Suhrawardī telah menjadi bukti bagi kata-katanya sendiri. Darahnya menyuburkan taman ilmu, pikirannya menjadi pelita bagi pencari, dan ruhnya — meski tubuhnya hancur — terus menyinari generasi demi generasi.

Akhirnya, di zaman yang kehilangan arah, mungkin yang kita butuhkan bukan teori baru, melainkan cara lama untuk menyalakan cahaya dalam diri. Di situlah Suhrawardī — sang filsuf yang mati muda — tetap hidup abadi.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement