Khazanah
Beranda » Berita » Bahasa Cahaya: Simbol dan Alegori dalam Hikmat al-Ishrāq

Bahasa Cahaya: Simbol dan Alegori dalam Hikmat al-Ishrāq

ilustrasi manusia diterangi cahaya simbolik dalam ruang kontemplatif
Sosok manusia diterangi cahaya lembut dengan simbol mengambang di sekitarnya, menggambarkan komunikasi antara makna dan bentuk.

Surau.co. Bahasa tidak selalu hadir dalam bentuk kata. Ada bahasa yang hanya bisa didengar oleh hati, dilihat oleh ruh, dan diterjemahkan oleh kesadaran yang hening.
Itulah bahasa cahaya, inti dari Ḥikmat al-Ishrāq karya Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī — sang Filsuf Iluminasi, sang pembangun jembatan antara dunia akal dan dunia nur.

Bagi Suhrawardī, seluruh semesta berbicara dengan bahasa ini: bahasa simbol dan alegori, yang menyampaikan kebenaran bukan lewat argumen, melainkan melalui pancaran makna.


Cahaya sebagai Bahasa Universal

Suhrawardī menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:

«النورُ هو البيانُ الأعلى، بهِ تُفْهَمُ المعاني كما تُرى الأشياءُ في ضيائِه»
“Cahaya adalah penjelasan tertinggi; dengannya makna dipahami sebagaimana benda terlihat dalam sinarnya.”

Kalimat itu menegaskan bahwa cahaya adalah metafora utama pengetahuan.
Sebagaimana mata tak dapat melihat tanpa cahaya, hati pun tak mampu memahami tanpa Nur Ilahi. Karena itu, cahaya menjadi media universal yang mengungkap tanpa suara dan menjelaskan tanpa kata.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Maka, seluruh karya Suhrawardī sebenarnya merupakan percakapan panjang antara akal yang mencari dan cahaya yang menjawab. Bahasa cahaya tumbuh dari keheningan — tidak dibatasi huruf, melainkan ditangkap oleh intuisi.


Fenomena Sehari-hari: Simbol yang Menyala di Sekitar Kita

Dalam kehidupan sehari-hari, simbol bekerja tanpa kita sadari.
Pagi yang cerah menumbuhkan semangat, malam yang hening mengundang tafakur, dan pelangi setelah hujan menenangkan hati. Semua itu bukan kebetulan, melainkan ayat-ayat cahaya — tanda-tanda yang berbicara dalam bahasa Ilahi.

Suhrawardī menyebut dunia ini sebagai ‘ālam al-mithāldunia simbol dan bayangan yang memantulkan makna-makna tinggi. Ia menulis:

«العالَمُ كَلامٌ مكتوبٌ بنورِ الحكمةِ لمن أبصرَ قلبُه»
“Dunia adalah kalimat yang ditulis dengan cahaya hikmah, bagi siapa yang hatinya dapat melihat.”

Artinya, dunia bukan sekadar kumpulan benda fisik, tetapi kitab terbuka yang sedang dibacakan oleh Tuhan. Namun, hanya mereka yang mau belajar membaca dengan hati yang jernih yang bisa memahami makna di balik bentuk.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern


Ketika Filsafat Menjadi Puisi

Tidak mengherankan bila tulisan-tulisan Suhrawardī terasa seperti perpaduan antara filsafat dan puisi. Ia sadar bahwa kebenaran sejati tak dapat dijelaskan melalui definisi yang kaku.
Ada wilayah makna yang hanya bisa disentuh melalui simbol — melalui cahaya yang menari di antara kata-kata.

Dalam Ḥikmat al-Ishrāq, ia menulis:

«من أرادَ فهمَ النورِ فليُسافرْ في باطنِه، فإنَّ البيانَ اللفظيَّ لا يبلغُه»
“Barang siapa ingin memahami cahaya, hendaklah ia berkelana ke dalam dirinya; penjelasan dengan kata tidak akan mencapainya.”

Dengan demikian, filsafatnya bukan logika yang berdebat, tetapi logika yang menunduk. Ia membiarkan bahasa bekerja seperti jendela — bukan untuk menjelaskan cahaya, melainkan untuk membiarkannya masuk.


Bahasa Simbol dalam Al-Qur’an: Petunjuk bagi Hati

Konsep simbol dan cahaya yang diuraikan Suhrawardī berakar kuat dalam Al-Qur’an.
Kitab suci tidak hanya berbicara secara literal, tetapi juga melalui perumpamaan dan alegori.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Allah berfirman:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi; perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah ceruk yang di dalamnya ada pelita.” (QS. An-Nūr: 35)

Ayat ini menghadirkan peta kesadaran berlapis: pelita di dalam ceruk melambangkan jiwa manusia, kaca pelita melambangkan hati, dan minyak yang hampir menyala sendiri melambangkan fitrah Ilahi.
Menurut Suhrawardī, setiap makhluk adalah lapisan cahaya dan seluruh keberadaan merupakan alegori yang menunjuk ke Sumbernya.

Rasulullah ﷺ pun bersabda:

«إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ حَقِيقَةً، وَنُورُ الْقَلْبِ التَّفَكُّرُ»
“Segala sesuatu memiliki hakikat, dan cahaya hati adalah tafakur.” (HR. Dailami)

Maka, simbol tidak dimaksudkan untuk dilebihkan, melainkan untuk direnungkan. Tafakur menjadi cara ruh menafsirkan bahasa cahaya.


Makna dan Bentuk: Dua Sayap Penerbangan Ruh

Suhrawardī menegaskan bahwa makna dan bentuk tidak terpisahkan — sebagaimana tubuh dan ruh saling menghidupi. Ia menulis:

«المعنى روحُ الوجودِ، والصورةُ جسدُه، فلا قيامَ لأحدِهما دونَ الآخرِ»
“Makna adalah ruh keberadaan, dan bentuk adalah jasadnya; keduanya tidak dapat berdiri sendiri.”

Dengan demikian, alegori bukan sekadar hiasan bahasa, tetapi cara Tuhan menampakkan makna-Nya dalam rupa yang bisa dijangkau manusia.
Simbol menjadi jembatan antara langit dan bumi, antara yang ghaib dan yang nyata.

Ketika seseorang hanya melihat bunga sebagai warna, ia hidup di dunia indera.
Namun ketika ia melihat kelembutan dan kasih Tuhan di balik bunga itu, ia mulai membaca bahasa cahaya.


Fenomena Manusia: Saat Kata Tak Lagi Cukup

Setiap manusia akan tiba pada titik di mana kata-kata tak lagi sanggup menampung makna.
Seorang ibu yang menatap anaknya, seorang sufi dalam sujud panjang, atau seorang pencinta yang menatap wajah kekasihnya — semua mengalami sesuatu yang melampaui bahasa.

Suhrawardī menulis untuk momen-momen itu:

«حينَ يعجزُ اللسانُ، يتكلمُ النورُ»
“Ketika lidah tak lagi mampu, cahaya yang akan berbicara.”

Bahasa cahaya adalah bahasa diam, tetapi dalam diam itu semesta bergetar.
Ia tidak menuntut pemahaman, melainkan mengundang kehadiran.
Makna tertinggi, bagi Suhrawardī, bukan untuk dijelaskan, melainkan untuk disaksikan.


Penutup: Menjadi Pembaca Cahaya

Membaca Ḥikmat al-Ishrāq berarti belajar melihat dunia dengan mata batin yang menyala.
Setiap bentuk adalah simbol, setiap kejadian adalah ayat, dan setiap napas adalah pesan.

Suhrawardī tidak mengajak kita berpikir lebih keras, tetapi melihat lebih dalam.
Dan mungkin benar seperti yang ia tulis di penghujung hidupnya:

«النهايةُ ليستْ ظلامًا، بل نورٌ يبتلعُ كلَّ ظلالٍ»
“Akhir dari segala sesuatu bukanlah kegelapan, melainkan cahaya yang menelan seluruh bayangan.”

Bahasa cahaya tidak memerlukan terjemahan; yang dibutuhkan hanyalah hati yang terbuka.
Sebab hati yang bercahaya akan mengenali kebenaran bahkan di dalam bayangan.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement