- Ketika Akal Menyentuh Dindingnya Sendiri
- Ilmu yang Dihadirkan, Bukan Dipelajari
- Fenomena Sehari-hari: Ketika Cahaya Menyapa di Tengah Gelap
- Akal Sebagai Tangga, Bukan Takhta
- Al-Qur’an: Cahaya yang Menuntun Ruh
- Melewati Gerbang: Saat Ruh Mulai Berjalan
- Refleksi: Belajar Diam di Gerbang
- Penutup: Cahaya yang Tak Pernah Pergi
Surau.co. Ada batas halus yang tak bisa dijangkau oleh logika, tempat di mana kata-kata berhenti dan keheningan mulai berbicara. Itulah gerbang cahaya, titik ketika akal berhenti dan ruh melangkah.
Dalam pandangan Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī, sang Shaykh al-Isyrāq (Guru Iluminasi), perjalanan manusia menuju kebenaran tidak berhenti di wilayah pikiran semata. Sebaliknya, ia menembus batasnya dan bergerak menuju penyaksian langsung (musyāhadah).
Kitabnya, Ḥikmat al-Ishrāq — “Kebijaksanaan Iluminasi” — menjadi peta spiritual menuju arah itu: dari akal yang terbatas menuju cahaya yang tak bertepi.
Ketika Akal Menyentuh Dindingnya Sendiri
Suhrawardī hidup di masa ketika rasionalitas diagungkan oleh para pemikir Islam. Namun ia menyadari sesuatu yang lebih dalam: akal memiliki batasnya sendiri. Ia menulis dengan lembut tetapi tegas:
«العقلُ آلةٌ محدودةٌ، لا يُدركُ إلا بقدرِ نورِه»
“Akal adalah alat yang terbatas, dan ia hanya memahami sesuai kadar cahayanya.”
Bagi Suhrawardī, akal ibarat lentera di tengah malam: berguna, tetapi tak mampu menerangi seluruh langit.
Kebenaran sejati, oleh karena itu, bukan lahir dari sekadar berpikir, melainkan dari penyinaran batin.
Pernahkah engkau berpikir begitu keras hingga akhirnya menyerah, lalu tiba-tiba — dalam diam — jawaban itu muncul sendiri?
Momen seperti itu menandai titik ketika akal berhenti dan ruh mulai berjalan. Cahaya tidak datang karena dikejar, melainkan karena diri menjadi tenang hingga ia hadir dengan sendirinya.
Ilmu yang Dihadirkan, Bukan Dipelajari
Filsafat Isyraq tidak menolak akal; justru ia menempatkannya pada posisi yang wajar.
Suhrawardī membedakan dua bentuk pengetahuan:
-
‘Ilm ḥuṣūlī — pengetahuan konseptual yang diperoleh lewat pembelajaran, dan
-
‘Ilm ḥuḍūrī — pengetahuan yang hadir langsung di dalam jiwa tanpa perantara.
Ia menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:
«المعرفةُ ليستْ ما يُقالُ، بل ما يُشاهَدُ بنورِ النفسِ»
“Pengetahuan sejati bukan yang diucapkan, melainkan yang disaksikan dengan cahaya jiwa.”
Dengan kata lain, pengetahuan sejati bukan hasil belajar, melainkan hasil hadirnya kesadaran.
Seseorang bisa membaca ribuan buku tentang cinta, namun ia baru benar-benar tahu cinta ketika hatinya tersentuh olehnya. Begitu pula dengan makrifat terhadap Tuhan — bukan sekadar wacana, melainkan penyaksian yang hidup.
Fenomena Sehari-hari: Ketika Cahaya Menyapa di Tengah Gelap
Dalam rutinitas modern yang bising, banyak orang mencari makna lewat logika: membaca buku motivasi, teori spiritualitas, bahkan rumus kebahagiaan. Namun ironisnya, justru keheningan sering memberi jawaban yang tak mampu diberikan oleh kata-kata.
Ketika seseorang terbangun di tengah malam lalu merasakan kedamaian yang tak terjelaskan, ketika air mata menetes tanpa sebab yang pasti — di situlah cahaya bekerja dari dalam.
Suhrawardī melukiskannya dengan indah:
«إذا أضاءَ النورُ الباطنُ، أبصرتِ النفسُ ما لا يُدرَكُ بالعقلِ»
“Ketika cahaya batin menyala, jiwa melihat apa yang tak bisa dijangkau oleh akal.”
Setiap manusia, katanya, memiliki nūr bāthin — cahaya dalam — yang berasal dari Nūr al-Anwār, Cahaya dari segala cahaya, yaitu Tuhan.
Dengan demikian, penyadaran sejati bukanlah menambah pengetahuan, melainkan membangkitkan cahaya yang telah ada di dalam diri.
Akal Sebagai Tangga, Bukan Takhta
Menurut Suhrawardī, akal hanyalah tangga menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Namun, sayangnya, banyak orang berhenti di tangga itu dan mengira telah sampai. Ia menulis:
«من وقفَ عندَ العقلِ حُجِبَ عن النورِ الأعلى»
“Barang siapa berhenti pada akal, ia terhijab dari Cahaya yang lebih tinggi.”
Akal memang diperlukan untuk memahami, tetapi setelah titik tertentu, hati yang suci menjadi alat utama untuk melihat.
Seperti pendaki yang telah mencapai puncak, akal membawa kita ke kaki langit; tetapi hanya sayap ruh yang bisa menembus cakrawala.
Al-Qur’an: Cahaya yang Menuntun Ruh
Konsep “gerbang cahaya” sejatinya bukan ide asing dalam Islam.
Al-Qur’an menggambarkan pengetahuan sejati sebagai pencerahan Ilahi:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)
Sementara itu, dalam bagian lain disebutkan:
يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ
“Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nūr: 35)
Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia tak dapat menggapai cahaya dengan kekuatannya sendiri. Ia hanya bisa mempersiapkan diri agar pantas disinari.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
«اتَّقُوا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ»
“Waspadalah terhadap firasat orang beriman, karena ia melihat dengan cahaya Allah.” (HR. Tirmidzi)
Firasat bukanlah hasil logika; ia adalah pandangan batin yang diterangi oleh cahaya.
Melewati Gerbang: Saat Ruh Mulai Berjalan
Gerbang cahaya tidak terbuka dengan kekuatan, melainkan dengan penyerahan.
Suhrawardī menulis:
«النورُ لا يُدركُ بالعقلِ، بل بالتطهُّرِ من ظلمةِ الأنا»
“Cahaya tidak dapat dipahami dengan akal, melainkan melalui penyucian dari kegelapan ego.”
Ketika ego mulai reda dan “aku” tak lagi menuntut untuk menguasai, jiwa menjadi jernih seperti air yang memantulkan langit.
Pada saat itu, ruh mulai melangkah — bukan dengan kaki, tetapi dengan kesadaran.
Setiap dzikir yang tulus, setiap penerimaan tanpa pamrih, setiap keheningan yang dihayati sepenuh hati — semuanya adalah langkah menuju Cahaya.
Refleksi: Belajar Diam di Gerbang
Dalam dunia modern yang serba cepat dan haus kepastian, ajaran Suhrawardī terasa seperti napas panjang dari langit:
tidak semua hal harus dipahami, sebagian justru harus disaksikan.
Tidak semua kebenaran perlu dijelaskan, karena sebagian hanya bisa dirasakan.
Ketika manusia berani diam, dunia batin mulai berbicara.
Dari dalam keheningan itulah filsafat sejati menyala — bukan dari buku, tetapi dari nur yang hadir di antara dua tarikan napas.
Penutup: Cahaya yang Tak Pernah Pergi
Akal berhenti di depan gerbang cahaya, tetapi ruh terus berjalan.
Ia menembus kabut kebingungan, menuju fajar abadi yang tak pernah padam.
Sebagaimana Suhrawardī berkata:
«النهايةُ عودةُ النورِ إلى مبدأِه، ومن لم يسرْ إليه، بقيَ في ظلمةِ نفسهِ»
“Akhir dari perjalanan adalah kembalinya cahaya kepada sumbernya; siapa yang tak berjalan ke sana, akan tetap berada dalam kegelapan dirinya.”
Dan di sanalah seluruh filsafat berhenti — bukan di laboratorium, bukan di perpustakaan, melainkan di dalam hati yang telah disinari.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
