Khazanah
Beranda » Berita » Suhrawardī dan Hikmah Timur: Ketika Filsafat Menyala dari Hening

Suhrawardī dan Hikmah Timur: Ketika Filsafat Menyala dari Hening

ilustrasi sufi bermeditasi di bawah cahaya fajar simbol Hikmah Timur
Seorang manusia duduk dalam hening menyaksikan fajar, melambangkan pencerahan batin dalam ajaran Suhrawardī.

Surau.co. Ada cahaya yang tidak menyilaukan, tapi menenangkan. Ia tidak datang dari matahari atau api, melainkan dari kedalaman jiwa yang tenang.
Cahaya itu disebut oleh Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī sebagai Hikmah Timur — kebijaksanaan yang lahir dari dalam hening, bukan dari debat panjang atau teori rasional yang kaku.
Dalam kitab monumentalnya, Ḥikmat al-Ishrāq (Filsafat Iluminasi), Suhrawardī menggambarkan bahwa hakikat pengetahuan bukanlah hasil berpikir, melainkan hasil menyala.

Bagi sang Filsuf Cahaya ini, hikmah bukan sekadar akal yang berlogika, tetapi akal yang diterangi nur Ilahi.

Filsafat yang Lahir dari Timur Jiwa

Suhrawardī menyebut ajarannya sebagai Hikmat al-Masyriqiyyah — kebijaksanaan Timur.
Namun “Timur” di sini bukanlah arah mata angin, melainkan arah ruhani, tempat matahari makna terbit di dalam hati.

Ia menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:

«الشرقُ موطنُ الأنوارِ، ومنهُ يُستمدُّ الوجودُ والإدراكُ»
“Timur adalah tempat kelahiran cahaya; darinya segala wujud dan pengetahuan memperoleh sumbernya.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Bagi Suhrawardī, manusia tidak mungkin memahami hakikat hidup hanya dengan rasio. Sebab akal, betapapun tajamnya, hanyalah pisau yang tak bisa memotong cahaya.
Yang dibutuhkan adalah penyaksian (musyāhadah) — melihat dengan mata batin yang jernih, bukan sekadar berpikir dengan kepala.

Itulah sebabnya ia menyebut filsafatnya sebagai isyraqiyyah — iluminatif.
Ilmu sejati, kata Suhrawardī, tidak diperoleh dari membaca banyak buku, tapi dari terbitnya cahaya di dalam hati.

Fenomena Sehari-hari: Ketika Hening Menjadi Guru

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, manusia kehilangan kemampuan untuk diam.
Kita dikejar suara notifikasi, arus berita, dan opini tanpa henti. Tapi Suhrawardī justru berkata bahwa hening adalah pintu menuju cahaya.

Ia menulis:

«إذا سكنتِ النفسُ سطعَ النورُ في القلبِ»
“Ketika jiwa tenang, cahaya akan memancar di dalam hati.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pernahkah kau merasakan momen ketika dunia seolah berhenti sejenak — angin terasa lembut, hati terasa lapang, dan semuanya tampak terang meski mata terpejam?
Itulah saat hikmah Timur mulai terbit.

Filsafat iluminasi mengajarkan bahwa hening bukan kekosongan, melainkan keadaan di mana jiwa menjadi cermin bagi Cahaya Tuhan.
Dalam keheningan, manusia tidak mencari Tuhan di luar, tetapi menemukannya di dalam diri sendiri.

Cahaya sebagai Wujud, Hening sebagai Jalan

Bagi Suhrawardī, segala sesuatu yang ada adalah tingkatan cahaya.
Cahaya paling tinggi adalah Nūr al-Anwār — Cahaya dari segala cahaya, yaitu Tuhan.
Dari-Nya memancar seluruh keberadaan: jiwa, akal, benda, hingga bayangan.
Maka, eksistensi itu sendiri bukan substansi, melainkan derajat kecerahan.

Ia menulis:

«الوجودُ نورٌ، والعدمُ ظُلمةٌ»
“Wujud adalah cahaya, dan ketiadaan adalah kegelapan.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Dalam pandangan ini, pengetahuan bukan hasil logika, melainkan pertemuan antara cahaya jiwa dan cahaya realitas.
Ketika keduanya berjumpa, timbullah ilmu hudhūrī — pengetahuan yang hadir langsung tanpa perantara.

Filsafat Isyraq mengajarkan bahwa untuk mencapai pengetahuan seperti itu, manusia harus menempuh jalan hening, membersihkan diri dari kegelapan ego.
Sebab cahaya tidak akan tampak pada cermin yang berdebu.

Hikmah Timur dan Cahaya dalam Al-Qur’an

Konsep cahaya dan keheningan Suhrawardī sejatinya berakar dalam wahyu.
Al-Qur’an menyebut Allah sebagai sumber segala cahaya:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)

Ayat ini, bagi Suhrawardī, adalah pondasi ontologi.
Segala yang ada di langit dan bumi adalah pancaran dari Nur Ilahi.
Cahaya Tuhan menampakkan diri dalam berbagai derajat — mulai dari cahaya malaikat, akal, jiwa, hingga dunia material.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

«إِنَّ لِلَّهِ سِتِّينَ وَثَلَاثَ مِائَةِ حِجَابٍ مِنْ نُورٍ وَظُلْمَةٍ، لَوْ كَشَفَهَا لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَنْ انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ»
“Sesungguhnya Allah memiliki 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Jika Dia menyingkapkannya, sinar wajah-Nya akan membakar segala sesuatu yang terlihat oleh pandangan-Nya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan apa yang dimaksud Suhrawardī: bahwa Tuhan tidak bisa dicapai melalui argumentasi, tapi melalui penyucian jiwa hingga ia mampu menanggung cahaya-Nya.

Fenomena Manusia Modern: Hilangnya Timur di Dalam Diri

Kita hidup di dunia yang sangat “barat”: rasional, cepat, dan penuh data.
Namun Suhrawardī mengingatkan bahwa manusia yang kehilangan “Timur”-nya akan kehilangan arah.
“Timur” adalah simbol hati yang tercerahkan, tempat fajar spiritual terbit setiap hari.

Tanpa Timur, pengetahuan berubah menjadi kering.
Ilmu hanya menjadi kumpulan kata tanpa makna, sebagaimana tubuh tanpa ruh.

Ia menulis:

«العلمُ بلا إشراقٍ ظلمةٌ، والفكرُ بلا نورٍ حجابٌ»
“Ilmu tanpa pencerahan adalah kegelapan, dan pemikiran tanpa cahaya adalah hijab.”

Kata-kata ini seperti nasihat bagi zaman kita.
Ilmu modern memberi informasi, tapi tidak memberi makna.
Kebijaksanaan sejati hanya lahir dari hening yang bersentuhan dengan cahaya.

Hikmah Timur Sebagai Jalan Pulang

Filsafat Suhrawardī bukan ajaran tentang dunia luar, melainkan peta perjalanan jiwa menuju asalnya.
Timur bukan tempat, melainkan arah pulang.
Sebab dari sana kita datang, dan ke sana pula kita akan kembali — bukan secara geografis, tapi secara ruhani.

Dalam kalimat terakhir Ḥikmat al-Ishrāq, ia menulis dengan lembut:

«النهايةُ رجوعُ النورِ إلى مبدأِه، ولا راحةَ إلا في الشروقِ الأبديِّ»
“Akhir dari segala perjalanan adalah kembalinya cahaya kepada sumbernya, dan tiada ketenangan kecuali dalam terbitnya cahaya abadi.”

Maka, hidup bukan perjalanan menuju tempat baru, tetapi kembali menjadi terang.
Setiap doa, dzikir, atau bahkan diam yang penuh kesadaran, adalah langkah menuju “Timur” — tempat Tuhan menunggu kita dalam hening yang bercahaya.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement