SURAU.CO – Polemik antara Ibnu Taimiyah dan al-Hilli tidak hanya menampilkan perbedaan teologis, tetapi juga menunjukkan perebutan otoritas keagamaan dan politik dalam dunia Islam abad pertengahan. Ibnu Taimiyah hidup di masa penuh gejolak, ketika kekuatan Sunni dan Syiah saling berhadapan di tengah pengaruh filsafat Yunani serta logika rasional yang berkembang pesat.
Al-Hilli, seorang ulama besar Syiah, menulis Minhaj al-Karamah untuk membela ajaran imamah sekaligus melawan keyakinan Sunni. Melalui karya tersebut, ia berupaya memperluas pengaruh mazhabnya di kalangan penguasa dan rakyat. Akibatnya, Minhaj al-Karamah menimbulkan kegelisahan di kalangan ulama Sunni, khususnya di Damaskus.
Para ulama Sunni segera mendesak Ibnu Taimiyah agar menulis bantahan yang sistematis. Ia pun menanggapi permintaan itu dengan melahirkan karya besar Minhajus Sunnah, sebuah teks monumental dalam sejarah polemik teologis Islam.
Perkembangan Ilmu Hadis dan Pengaruhnya terhadap Perdebatan
Untuk memahami konteks lahirnya Minhajus sunnah, kita perlu menelusuri perkembangan ilmu hadis di kalangan Syiah. Pada masa awal, ulama Syiah belum memberi perhatian serius terhadap disiplin hadis seperti yang dilakukan Ahlus Sunnah. Hingga pertengahan abad ke-7 H, mereka belum menulis karya yang membahas kodifikasi, klasifikasi, atau validasi hadis mendalam secara mendalam.
Situasi itu mulai berubah setelah Ibnu Tawus memperkenalkan metode ilmu hadis Sunni, terutama setelah ia mempelajari Muqaddimah Ibnu Shalah . Ia mulai menggunakan istilah-istilah seperti ṣaḥīḥ dan ḍa’īf dalam tulisan-tulisannya. Namun sebagian besar ulama Syiah menolak pendekatan tersebut karena mereka beranggapan bertentangan dengan tradisi rasional Syiah.
Salah satu murid Ibnu Tawus, yakni Ibnu al-Mutahhar al-Hilli, kemudian menggabungkan semangat rasionalisme dengan teologi Syiah. Ia menulis Minhaj al-Karamah sebagai bentuk pembelaan rasional terhadap konsep imamah. Dalam kitab itu, al-Hilli menegaskan bahwa Syiah lebih dekat dengan teologi Mu’tazilah dibandingkan dengan Sunni, khususnya dalam hal sifat-sifat Tuhan dan konsep takdir.
Minhaj al-Karamah dan Dampaknya
Al-Hilli tidak hanya menulis Minhaj al-Karamah sebagai karya ilmiah, tetapi juga menjadikannya alat politik dan ideologi. Ia menulis kitab itu untuk mempengaruhi Sultan Oljaitu agar menerima paham Syiah. Upaya tersebut berhasil. Sekitar tahun 709–710 H, Oljaitu secara resmi mengumumkan Syiah sebagai agama negara dan mewajibkan penyebutan nama Dua Belas Imam dalam khutbah Jumat.
Al-Hilli kemudian menyebarkan karyanya secara luas di kalangan rakyat dan bangsawan. Banyak orang awam menerima pengaruhnya karena mereka tidak memiliki dasar ilmu agama yang kuat. Sementara itu, sebagian ulama Sunni menolak membaca kitab tersebut karena terlalu panjang dan sarat dengan kritik terhadap sahabat Nabi. Kondisi ini mendorong para ulama untuk meminta Ibnu Taimiyah menulis bantahan yang kuat dan ilmiah.
Ibnu Taimiyah dan Lahirnya Minhajus Sunnah
Ibnu Taimiyah menjawab tantangan itu dengan menulis Minhajus Sunnah, sebuah karya besar yang tidak hanya membantah Minhaj al-Karamah tetapi juga menegakkan prinsip akidah salaf. Ia menulis dengan gaya argumentatif, logis, dan tegas, serta memadukan ilmu hadis, tafsir, dan rasionalitas dalam satu struktur pemikiran yang kokoh.
Dalam Sunnah Minhajus , Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa keimanan tidak bergantung pada pengakuan terhadap imamah sebagaimana diklaim oleh Syiah. Ia menjelaskan bahwa rukun iman telah sempurna sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW—tanpa tambahan doktrin imamah atau klaim ke-ma’shuman imam.
Pokok-Pokok Pemikiran Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah
- Imamah Bukan Rukun Iman
Ibnu Taimiyah menolak keras pandangan al-Hilli yang memasukkan imamah sebagai bagian dari rukun iman. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun dalil Al-Qur’an atau hadis sahih yang mendukung klaim itu. Menurutnya, seseorang tetap beriman tanpa harus mengakui imam tertentu. - Penolakan terhadap Konsep Ismah dan Ilmu Ghaib Imam
Al-Hilli menganggap para imam Syiah memiliki sifat ma’shum (terjaga dari dosa) dan menyelesaikan perkara ghaib. Ibnu Taimiyah menolak keras gagasan tersebut karena ia menilai pandangan itu menyerupai pengkultusan yang mendekati ketuhanan. Ia menegaskan bahwa hanya Allah yang mengetahui hal ghaib, dan setiap manusia pasti memiliki kemungkinan berbuat salah. - Pembelaan terhadap Khulafā’ Rāsyidūn
Ketika al-Hilli menolak keutamaan Abu Bakar, Umar, dan Utsman serta menganggap Ali lebih utama, Ibnu Taimiyah langsung menerimanya dengan bukti sejarah dan hadis sahih. Ia menegaskan bahwa khalifah ketiga tersebut memiliki keutamaan besar dan bahwa seluruh sahabat merupakan generasi terbaik umat. - Klarifikasi Peristiwa Ghadir Khum
Al-Hilli menggunakan peristiwa Ghadir Khum untuk memungkinkan pengangkatan Ali sebagai penerus Rasulullah. Ibnu Taimiyah menolak tafsir itu dengan menunjukkan bahwa sabda Nabi “ Man kuntu maulāhu fa ‘Alī maulāhu ” bermakna penghormatan dan persaudaraan, bukan menetapkan kepemimpinan politik. - Kritik terhadap Bid’ah dan Pengaruh Luar dalam Syiah
Ibnu Taimiyah menilai bahwa banyak ajaran Syiah berasal dari pengaruh asing seperti filsafat Persia dan pemikiran Mu’tazilah. Ia memandang doktrin imamah dan taqiyyah sebagai penyimpangan dari ajaran Islam murni. Bagi Ibnu Taimiyah, menjaga kemurnian akidah berarti berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman para salaf.
Signifikansi Minhajus Sunnah dalam Dunia Islam
Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa akal dan rasionalitas dapat memperkuat akidah salaf tanpa harus bergantung pada filsafat asing. Ia menulis Minhajus Sunnah dengan struktur logika yang kuat, memadukan dalil nash dan argumentasi rasional untuk menandingi hujah al-Hilli.
Karya tersebut tetap menjadi rujukan utama bagi para ulama Ahlus Sunnah dalam memahami teologi Islam klasik. Melalui Minhajus Sunnah , Ibnu Taimiyah tidak hanya membela keyakinan salaf, tetapi juga menunjukkan bahwa kebenaran Islam tidak memerlukan legitimasi dari klaim supranatural atau otoritas manusia yang dianggap ma’shum.
Dengan semangat ilmiah dan keyakinan kokoh, Ibnu Taimiyah menegakkan kembali pesan utama Islam: La ilaha illa Allah — tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Ia menegaskan bahwa seluruh otoritas keagamaan harus tunduk pada wahyu, bukan pada individu atau kelompok mana pun.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
