Khazanah
Beranda » Berita » Pesan Istri Zaman Dulu: Ketika Iman Lebih Berharga daripada Harta

Pesan Istri Zaman Dulu: Ketika Iman Lebih Berharga daripada Harta

Pesan Istri Zaman Dulu: Ketika Iman Lebih Berharga daripada Harta
Pesan Istri Zaman Dulu: Ketika Iman Lebih Berharga daripada Harta

 

SURAU.CO – Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah pernah menuturkan sebuah kisah yang menggugah hati:

“Dahulu, apabila seorang suami keluar dari rumahnya, maka sang istri berpesan:
‘Hati-hatilah dari usaha haram! Sungguh, kami masih bisa sabar menahan lapar, namun kami tidak mampu sabar dari api neraka.’” (Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, 81)

Kalimat yang pendek namun penuh makna ini menggambarkan kemuliaan iman dan keteguhan hati para istri di masa lalu — mereka tidak mengukur kebahagiaan rumah tangga dengan kemewahan dunia, tetapi dengan keberkahan dan keselamatan akhirat.

Istri yang Menjadi Penjaga Akhlak Suami

Zaman dahulu, seorang istri bukan sekadar pendamping hidup di ranjang dan dapur, tetapi penjaga kehormatan suaminya di hadapan Allah. Ia bukan hanya mendorong suaminya agar sukses dalam bekerja, tetapi juga agar selamat dari dosa.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Kalimat “Hati-hatilah dari usaha haram!” menunjukkan bahwa wanita salihah memahami hakikat rezeki: bukan banyaknya yang dicari, tetapi halalnya yang dijaga. Ia tahu bahwa harta haram, sekalipun tampak mengenyangkan, hakikatnya adalah bara api neraka yang disuapkan ke dalam mulut anak-anaknya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih pantas baginya.”
(HR. at-Tirmidzi)

Betapa dalamnya makna ini. Seorang istri sejati tidak hanya memikirkan nasi yang tersaji di meja makan, tapi juga dari mana asalnya. Ia sadar, suami yang bekerja dengan cara curang, menipu, atau korupsi bukan sedang memberi nafkah, melainkan sedang menyiapkan bahan bakar untuk siksa akhirat.

Kesabaran dalam Lapar, Ketakutan terhadap Neraka

Ucapan, “Kami masih bisa sabar menahan lapar, namun kami tidak mampu sabar dari api neraka” adalah puncak dari keimanan dan kesadaran akhirat.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Manusia memang mudah takut miskin, tetapi jarang takut berdosa. Padahal kemiskinan hanya mengganggu hidup sesaat, sedangkan dosa akan menghancurkan kehidupan abadi.

Para istri zaman dahulu tahu betul bahwa lapar bisa diatasi dengan sabar, doa, dan usaha halal, tetapi azab neraka tidak bisa diatasi dengan apapun selain ampunan Allah.

Mereka bukan wanita yang menuntut emas dan perhiasan, melainkan wanita yang menuntut keberkahan. Mereka tidak meminta rumah megah, tetapi rumah yang bebas dari hasil haram. Inilah cermin dari keimanan yang kokoh — iman yang membuat dunia terasa ringan dan akhirat terasa nyata.

Ujian Zaman Modern: Nafkah Halal yang Mulai Dianggap Remeh

Hari ini, pesan mulia itu seakan terkubur di balik gemerlap dunia. Banyak yang lebih bangga dengan pekerjaan berpenghasilan tinggi daripada pekerjaan yang halal. Banyak yang menutup mata terhadap praktik curang, suap, atau manipulasi, asal dapur tetap ngebul.

Sebagian istri bahkan tak lagi menasihati suaminya untuk berhati-hati dari harta haram, tetapi justru menuntut lebih banyak materi tanpa peduli asal-usulnya.
Padahal, apa artinya kemewahan rumah jika diisi dengan rezeki yang kotor?
Apa artinya pakaian mahal jika terjahit dari hasil curang dan riba?

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)

Rezeki yang haram tidak akan pernah membawa keberkahan. Ia mungkin tampak banyak, tapi cepat habis dan menyisakan keresahan. Rumah yang dibangun dari uang haram akan kehilangan ketenangan, anak-anak yang tumbuh dari makanan haram akan keras hatinya, dan doa-doa akan sulit menembus langit.

Keteladanan Keluarga Salih dalam Menjaga Kehalalan

Dalam sejarah Islam, banyak teladan mulia tentang bagaimana para istri menjaga suami mereka agar tetap di jalan halal.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, misalnya, selalu menasihati suaminya agar tidak tergoda dengan dunia. Ia tahu bahwa kehormatan suami adalah kehormatan keluarga.

Demikian pula istri-istri para sahabat yang memahami bahwa surga bukan dibangun dari harta, melainkan dari keimanan dan kesabaran.

Ibnu al-Jauzi rahimahullah bahkan menulis, “Seorang istri yang salihah adalah penjaga agama suaminya; ia mengingatkan ketika suami lalai, dan menenangkan ketika suami tergoda.”

Mereka tahu bahwa peran wanita bukan hanya di dapur dan kamar, tapi juga di dalam jiwa suami — sebagai penjaga nurani dan penyejuk hati.

Pesan untuk Suami: Hati-Hatilah dari Nafkah Haram

Pesan istri zaman dulu seharusnya menjadi alarm bagi para suami hari ini.

Ketika seseorang keluar bekerja, ia sedang membawa dua kemungkinan: pahala atau dosa. Rezeki yang halal menjadi amal jariyah, tetapi yang haram menjadi beban akhirat.

Ibnu Qudamah mengingatkan agar setiap kepala keluarga takut akan makanan haram, sebab ia bukan hanya akan memengaruhi dirinya, tetapi seluruh keluarganya.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:

“Makan satu suapan yang haram dapat mengeraskan hati selama 40 hari.”

Betapa dahsyat dampaknya! Karena itu, seorang suami yang mencintai keluarganya tidak akan rela memberi mereka makanan dari hasil yang meragukan. Cinta sejati adalah yang menyelamatkan, bukan yang menjerumuskan.

Pesan untuk Istri: Jadilah Penolong dalam Ketaatan

Para istri hari ini perlu kembali belajar dari pesan wanita salehah masa lalu. Jangan sampai menjadi penyebab suami terjerumus pada pekerjaan haram karena tuntutan berlebihan atau rasa gengsi terhadap tetangga.

Istri yang beriman akan berkata,

“Abang, yang penting halal walau sedikit. Aku tidak ingin kita kenyang di dunia tapi terbakar di akhirat.”

Ucapan semacam ini lebih indah daripada sejuta perhiasan. Sebab ia menunjukkan cinta yang sejati — cinta yang berakar pada iman, bukan kemewahan.

Wanita seperti inilah yang menjadi penolong suaminya menuju surga. Ia tahu bahwa dunia hanyalah tempat singgah, dan rumah tangga bukan sekadar tempat tinggal, tapi jalan menuju ridha Allah.

Menghidupkan Kembali Jiwa Pesan Istri Zaman Dulu

Kita hidup di era di mana kesucian rezeki sering diabaikan. Namun, pesan istri zaman dulu masih relevan bahkan lebih dibutuhkan dari sebelumnya.

Mari kita hidupkan kembali semangat mereka:

Istri yang menasihati dengan lembut dan bijak,
Suami yang bekerja dengan jujur dan takut kepada Allah,
Anak-anak yang dibesarkan dari makanan halal dan doa.

Inilah pondasi keluarga sakinah: keberkahan yang tumbuh dari kehalalan.

Bayangkan betapa damainya rumah tangga yang dibangun di atas nilai ini. Tak ada kecurangan, tak ada kebohongan, tak ada kegelisahan. Yang ada hanyalah ketenangan batin, doa yang menembus langit, dan cinta yang berbuah pahala.

Penutup: Lebih Baik Lapar di Dunia daripada Terbakar di Akhirat

Kalimat Ibnu Qudamah ini bukan sekadar kisah nostalgia, tetapi pengingat bagi setiap keluarga muslim. Bahwa kekayaan sejati bukan di banyaknya harta, melainkan di hati yang tenang dan rezeki yang bersih.

“Kami masih bisa sabar menahan lapar, namun kami tidak mampu sabar dari api neraka.”

Kalimat ini seharusnya menjadi semboyan setiap rumah tangga beriman. Allah memberkahi rumah tangga yang taat, bukan yang kaya raya.

Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an:

> “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Thalaq: 2–3)

Maka marilah kita jadikan rumah kita tempat tumbuhnya iman, bukan tempat berkumpulnya harta haram. Jadilah suami yang takut kepada Allah, dan istri yang mengingatkan dengan kasih. Ketaatan membawa keberkahan pada rumah tangga, bukan kekayaan. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement