Sosok
Beranda » Berita » Sang Guru dari Lirboyo: Keteguhan KH. Abdul Karim Mendidik dengan Cinta dan Iman

Sang Guru dari Lirboyo: Keteguhan KH. Abdul Karim Mendidik dengan Cinta dan Iman

Kiai Abdul Karim Lirboyo Kediri
Kiai Abdul Karim Lirboyo Kediri

SURAU.CO-Pondok Pesantren Lirboyo Kediri berdiri bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai buah perjuangan ruhani seorang ulama besar, KH. Abdul Karim, atau dikenal sebagai Mbah Manab. Ia bukan sekadar pendiri pesantren, melainkan penanam nilai-nilai keikhlasan, kesabaran, dan pengabdian kepada Allah. Dari tanah sederhana di Kediri, ia menumbuhkan cahaya ilmu yang kini menerangi seluruh penjuru negeri.

Awal Perjuangan KH. Abdul Karim

KH. Abdul Karim lahir di Magelang sekitar tahun 1856 M. Sejak kecil, ia haus akan ilmu agama. Ia menempuh perjalanan panjang untuk menimba ilmu di berbagai pesantren, termasuk Tebuireng Jombang, yang saat itu menjadi pusat keilmuan Islam. Setelah bertahun-tahun belajar, ia tidak puas hanya menjadi murid. Ia ingin mengamalkan ilmunya dan mendidik generasi baru.

Karena itu, pada awal abad ke-20, KH. Abdul Karim memutuskan hijrah ke daerah Lirboyo, Kediri. Saat itu, wilayah tersebut masih sunyi dan jarang penduduk. Namun, tekadnya tidak surut. Ia menikah dengan putri dari Kyai Sholeh, seorang ulama Kediri, dan menetap di sana. Dari pernikahan itu, lahirlah langkah besar: keinginan untuk membangun pesantren sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam.

Dengan tekad dan doa, ia mendirikan langgar kecil di samping rumahnya sekitar tahun 1910. Di tempat sederhana itu, masyarakat mulai belajar mengaji dan salat berjamaah. Meski santrinya hanya beberapa orang, semangat beliau tidak pernah padam. Ia mengajar tanpa pamrih, bahkan membantu santri yang tidak mampu. Berkat keikhlasan itulah, nama KH. Abdul Karim mulai dikenal luas di Kediri dan sekitarnya.

Dari Langgar ke Pesantren yang Tumbuh

Seiring waktu, jumlah santri terus bertambah. Rumah kecil di Lirboyo perlahan berubah menjadi kompleks pengajian yang ramai. KH. Abdul Karim mengajar setiap hari tanpa lelah. Ia menanamkan disiplin spiritual dengan tegas, sekaligus penuh kasih. Ia melatih santri untuk bangun malam, berdzikir, dan melayani masyarakat.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Karena ketulusan dan kedalaman ilmunya, masyarakat mulai percaya dan ikut membantu. Mereka bergotong royong membangun bilik-bilik sederhana untuk menampung santri baru. Tak lama kemudian, langgar kecil itu berkembang menjadi pondok pesantren yang dikenal hingga luar Kediri. Para santri datang dari Nganjuk, Tulungagung, bahkan Madura.

KH. Abdul Karim tidak hanya menekankan hafalan teks agama, tetapi juga pengamalan nilai-nilai akhlak. Ia berpesan agar santri mengabdi kepada masyarakat setelah pulang ke kampung halaman. Dengan demikian, Lirboyo bukan hanya mencetak ulama, melainkan juga melahirkan kader dakwah yang membumi.

Regenerasi dan Penguatan Tradisi

Setelah KH. Abdul Karim wafat pada tahun 1954, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh para menantunya dan cucunya. Di antara mereka yang paling berpengaruh ialah KH. Marzuki Dahlan, KH. Mahrus Aly, dan KH. M. Idris Marzuki. Mereka tidak hanya menjaga warisan pendiri, tetapi juga memperluas sistem pendidikan agar lebih terstruktur.

KH. Mahrus Aly, misalnya, mendirikan Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) sebagai lembaga formal berbasis kitab kuning. Dengan langkah itu, Lirboyo semakin dikenal sebagai pesantren salaf modern. Tradisi lama tetap dijaga, namun pendekatan pendidikan menjadi lebih sistematis. Selain itu, semangat perjuangan KH. Abdul Karim terus hidup dalam setiap pengajian, musyawarah, dan kegiatan santri.

Perlahan namun pasti, santri datang dari seluruh penjuru Nusantara. Mereka belajar tidak hanya untuk mencari ilmu, tetapi juga untuk meneladani keikhlasan sang pendiri. Para alumni Lirboyo kemudian menjadi ulama, guru, dan pemimpin ormas Islam di berbagai daerah. Maka, Lirboyo pun tumbuh menjadi poros utama pesantren salaf di Indonesia.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Lirboyo dan Tantangan Zaman

Memasuki era modern, Lirboyo tidak kehilangan jati dirinya. Para pengasuh generasi berikutnya terus beradaptasi. Mereka mempertahankan sistem salaf, tetapi membuka diri terhadap perkembangan teknologi dan pendidikan tinggi. Maka lahirlah lembaga seperti Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) dan Universitas Islam Tribakti (UI Tribakti) yang memperluas kiprah keilmuan pesantren.

Selain itu, pesantren juga aktif dalam dakwah sosial dan digital. Santri dilatih berdakwah melalui media, mengelola konten keislaman, serta terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat. Semangat cinta tanah air yang diajarkan KH. Abdul Karim tetap menjadi dasar perjuangan. Karena itu, Lirboyo tidak hanya dikenal sebagai tempat belajar agama, tetapi juga pusat pembentukan karakter bangsa.

Kini, jumlah santri Lirboyo mencapai lebih dari 40.000 orang. Mereka datang dari Sabang hingga Merauke, menimba ilmu di bawah bimbingan para kiai. Setiap tahun, ribuan calon santri baru mendaftar dengan harapan dapat merasakan berkah ilmu KH. Abdul Karim. Di tengah gempuran modernitas, Lirboyo tetap teguh menjaga keaslian ajarannya.

Warisan Abadi Sang Guru

Keteladanan KH. Abdul Karim tidak hanya pada kemampuannya mengajar, tetapi juga pada ketulusannya dalam membimbing umat dengan cinta dan iman. Ia menegaskan bahwa ilmu tanpa amal adalah kehampaan. Karena itu, ia menanamkan nilai bahwa keberkahan lahir dari pengabdian. Pesan inilah yang terus dijaga para penerusnya hingga kini.

Warisan spiritual KH. Abdul Karim menjadikan Lirboyo lebih dari sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah simbol keikhlasan yang hidup dalam setiap langkah santri. Dari sini lahir generasi ulama yang cerdas dan rendah hati. Mereka membawa semangat sang guru: berjuang tanpa pamrih, mengajar dengan kasih, dan berbakti kepada umat dengan penuh iman.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hari ini, meski KH. Abdul Karim telah tiada, cahaya perjuangannya tidak pernah padam. Lirboyo terus menjadi mercusuar ilmu dan moralitas di tengah zaman yang berubah cepat. Semangatnya mengajarkan bahwa cinta dan iman adalah fondasi sejati pendidikan Islam. Dari tanah Kediri, ajaran itu terus menebar cahaya, menuntun bangsa menuju keberkahan yang abadi. (Hendri Hasyim)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement