Surau.co. Di tengah keheningan malam, ketika dunia tertidur dan bintang-bintang menyala di langit kesadaran, manusia menemukan satu ruang di dalam dirinya: alam khayal — dunia di antara nyata dan gaib, antara wujud dan makna.
Bagi Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī, sang Filsuf Cahaya dan penulis Ḥikmat al-Ishrāq (Filsafat Iluminasi), alam khayal bukan sekadar mimpi. Ia adalah jembatan ruhani, wilayah yang menghubungkan cahaya dan bentuk, roh dan tubuh, dunia ini dan dunia yang akan datang.
Suhrawardī tidak melihat khayal sebagai ilusi, melainkan cermin dari realitas spiritual — cermin tempat Tuhan menampakkan diri melalui simbol dan makna.
Ketika Dunia Luar Tak Lagi Cukup
Setiap manusia pernah mengalami momen di mana dunia luar terasa tak cukup menjelaskan apa yang dirasakan di dalam.
Misalnya, ketika sebuah mimpi meninggalkan bekas yang lebih nyata daripada siang hari. Atau saat sebuah lagu, pemandangan, atau tatapan mata memunculkan perasaan yang dalam — seolah ada makna yang tak bisa dijelaskan oleh logika.
Suhrawardī menjelaskan bahwa pengalaman seperti itu bukan kebetulan. Ia menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:
«العالَمُ الخياليُّ مرتبةٌ متوسطةٌ بينَ العالمِ الحسيِّ والعقلانيِّ»
“Alam khayal adalah tingkat yang berada di antara alam indrawi dan alam intelektual.”
Artinya, ada dunia ketiga, selain dunia materi dan dunia akal. Di sanalah ruh mengalami realitas dalam bentuk simbol — seperti mimpi, penglihatan, dan intuisi.
Dalam dunia ini, makna tidak hanya dipahami, tapi juga dilihat. Alam khayal adalah mata batin yang menatap ke dalam, bukan ke luar.
Bayangan yang Bernyanyi di Dalam Diri
Dalam pandangan Suhrawardī, manusia hidup di tiga alam:
- Alam indera (materi dan jasad),
- Alam khayal (cermin bentuk makna), dan
- Alam ruhani (cahaya murni tanpa bentuk).
Alam khayal berada di tengah-tengahnya — seperti jembatan di atas air yang memantulkan langit dan bumi sekaligus.
Ia menulis dengan indah:
«الخيالُ بحرٌ بينَ النورِ والظُّلْمةِ، يَتَشَكَّلُ فيهِ ما في السمواتِ والأرضِ»
“Khayal adalah lautan di antara cahaya dan kegelapan, tempat segala bentuk langit dan bumi menampakkan diri.”
Maka, khayal bukan fantasi kosong, tetapi refleksi dari kebenaran ruhani.
Setiap bentuk yang muncul di sana — malaikat, cahaya, suara, bahkan mimpi — adalah pantulan dari makna yang lebih tinggi.
Bagi Suhrawardī, khayal adalah alam penyingkapan (ʿālam al-mithāl), tempat makna berwujud, dan wujud mengandung makna.
Fenomena Sehari-hari: Ketika Khayal Menjadi Pintu Makna
Pernahkah engkau merasa seolah Tuhan berbicara melalui hal-hal sederhana?
Melalui suara hujan yang jatuh pelan, atau cahaya yang menerobos dedaunan di pagi hari?
Itu bukan sekadar perasaan puitis. Dalam filsafat Isyraqiyyah, semua itu adalah isyarat dari alam khayal, dunia yang berfungsi sebagai bahasa simbolik antara manusia dan Tuhan.
Suhrawardī menulis:
«كلُّ صورةٍ تُرى في الخيالِ هي أثرُ نورٍ من العالمِ الأعلى»
“Setiap bentuk yang tampak dalam khayal adalah jejak cahaya dari dunia atas.”
Maka, dunia imajinal adalah kitab terbuka.
Mimpi yang baik, ilham, bahkan perasaan yang dalam, semuanya adalah huruf-huruf dari bahasa cahaya.
Namun hanya mereka yang menatap dengan hati yang jernih yang dapat membacanya.
Khayal Sebagai Ruang Pewahyuan dan Seni
Suhrawardī percaya bahwa para nabi, wali, dan seniman sejati adalah mereka yang mampu menembus alam khayal dengan kesadaran penuh.
Mereka tidak sekadar bermimpi, tetapi melihat makna yang datang dari Cahaya Tertinggi dan menerjemahkannya ke dalam bahasa, syair, atau tindakan.
«النبيُّ يرى في الخيالِ ما هو في الحقيقةِ نورٌ مجردٌ»
“Seorang nabi melihat dalam khayal apa yang dalam kenyataannya adalah cahaya murni.”
Karena itu, wahyu turun bukan sebagai konsep abstrak, tetapi dalam bentuk yang dapat dirasakan: suara, gambar, malaikat, atau kata.
Alam khayal menjembatani antara yang tak terbayangkan dan yang bisa disampaikan.
Bahkan, dalam pandangan Suhrawardī, setiap karya seni sejati adalah hasil kunjungan ke dunia khayal, karena di sanalah bentuk-bentuk keindahan berasal.
Al-Qur’an dan Rahasia Dunia Imajinal
Pandangan Suhrawardī tentang alam khayal memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)
Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh realitas — langit, bumi, dan segala makhluk — hanyalah tingkatan cahaya.
Maka dunia imajinal bukanlah dunia khayalan manusia, tetapi lapisan eksistensi yang dipenuhi cahaya Allah.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
«إِنَّ مِنَ الْعِلْمِ كَهَيْئَةِ الْمَكْنُونِ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا الْعُلَمَاءُ بِاللَّهِ»
“Sesungguhnya ada ilmu yang tersembunyi, yang hanya diketahui oleh para arifin yang mengenal Allah.” (HR. Bukhari)
Ilmu ini bukan berasal dari buku atau diskusi, tetapi penyingkapan di alam khayal — wilayah di mana makna turun dalam bentuk yang dapat dipahami oleh jiwa manusia.
Menatap Ke Dalam Diri: Jalan Menuju Cahaya
Kita hidup di zaman yang terlalu banyak menatap ke luar, terlalu sibuk dengan citra dan suara. Namun, dalam keheningan batin, ada mata yang lebih dalam dari mata kepala — mata yang menatap ke dalam.
Ia tidak melihat bentuk, tetapi makna di balik bentuk.
Suhrawardī mengajarkan bahwa untuk mencapai pengetahuan sejati, manusia harus “berhenti memantul” dan mulai “menyerap”.
Ia menulis:
«النورُ لا يُرى إلا إذا صارَ في العينِ نُورًا»
“Cahaya tidak dapat dilihat kecuali jika ia telah menjadi cahaya di dalam mata.”
Artinya, untuk melihat kebenaran, kita harus menjadi terang terlebih dahulu.
Mata batin hanya bekerja ketika jiwa bersih dari keserakahan, keinginan, dan kebisingan dunia.
Ketika hati hening, dunia khayal terbuka — dan dari sana, kita belajar membaca bahasa Tuhan di semesta.
Penutup: Alam Khayal Sebagai Cermin Kesadaran
Dalam filsafat iluminasi, alam khayal bukan tempat pelarian dari dunia nyata, tetapi cara untuk memahaminya lebih dalam.
Ia adalah ruang batin di mana jiwa belajar melihat Tuhan dalam segala hal.
Suhrawardī menutup ajarannya dengan kalimat yang lembut dan abadi:
«من رأى النورَ في نفسهِ فقد رأى الحقَّ في صورتهِ»
“Barang siapa melihat cahaya dalam dirinya, ia telah melihat kebenaran dalam wujudnya.”
Khayal, pada akhirnya, adalah cara Tuhan berbicara kepada manusia — tidak dengan suara, tapi dengan cahaya yang berbentuk.
Dan manusia, dengan segala kerendahannya, hanya perlu membuka matanya — mata yang menatap ke dalam.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
