Khazanah
Beranda » Berita » Laut Cahaya dan Pulau Jiwa: Tafsir Ontologi Suhrawardī

Laut Cahaya dan Pulau Jiwa: Tafsir Ontologi Suhrawardī

ilustrasi manusia di pulau dikelilingi lautan cahaya keemasan
Manusia berdiri di pulau sunyi dikelilingi cahaya lembut; simbol hubungan jiwa dengan lautan eksistensi Ilahi.

Surau.co. Ada kalanya manusia merasa terombang-ambing di lautan kehidupan—gelombang dunia menimpa dari segala arah, namun di dalam dirinya ada sesuatu yang tetap: sebuah pulau yang sunyi, tempat jiwa beristirahat dan menatap cahaya.
Bagi Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī, sang Shaykh al-Ishrāq (Guru Iluminasi), seluruh keberadaan adalah samudra cahaya. Dalam kitab Ḥikmat al-Ishrāq, ia menulis bahwa segala sesuatu memancar dari satu sumber: Nūr al-Anwār, Cahaya dari segala cahaya, yang dengannya segala wujud memperoleh kehidupan.

Ontologi Suhrawardī bukan sekadar filsafat; ia adalah peta ruhani — bagaimana segala sesuatu mengalir dari Tuhan seperti ombak dari laut yang tak bertepi.

Ketika Cahaya Menjadi Asal Segala Wujud

Suhrawardī melihat dunia bukan sebagai kumpulan benda mati, tetapi lapisan-lapisan cahaya yang tersusun dari yang paling murni hingga yang paling redup.
Ia menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:

«النورُ هو الوجودُ، وكلُّ ما عداهُ ظلٌّ له»
“Cahaya adalah wujud itu sendiri, dan segala yang selainnya hanyalah bayangannya.”

Dengan kata lain, apa yang kita sebut “materi”, “jiwa”, atau “akal” hanyalah tingkat-tingkat kecerahan dari satu sumber yang sama.
Kegelapan bukanlah lawan dari cahaya, melainkan cahaya yang terhalang.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Dalam kerangka ini, jiwa manusia adalah pulau di tengah lautan cahaya — dikelilingi oleh rahasia keberadaan, namun sering terperangkap dalam kabut tubuh dan hawa nafsu.

Suhrawardī menulis lagi:

«كلُّ روحٍ إنما يستمدُّ وجودَه من النورِ الأعلى»
“Setiap jiwa memperoleh keberadaannya dari Cahaya yang lebih tinggi.”

Maka, untuk mengenali diri, manusia harus menyelam ke sumber cahayanya.

Fenomena Kehidupan: Cahaya yang Redup di Tengah Kesibukan

Pernahkah kau merasa seperti kehilangan arah meski semua tujuan tercapai?
Itu bukan karena hidupmu hampa, melainkan karena jiwa sedang terpisah dari cahayanya sendiri.
Kita hidup di dunia yang sibuk dengan benda-benda, namun jarang menatap cahaya yang tersembunyi di balik benda itu.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Dalam keseharian, kesadaran kita sering redup. Suhrawardī menyebut keadaan ini sebagai ghurbah al-rūḥ — keterasingan jiwa.
Ia berkata:

«النفسُ إذا غُرِّبَتْ عن نورِها، نَسِيَتْ أصلَها»
“Ketika jiwa terasing dari cahayanya, ia lupa asalnya.”

Rasa kosong itu, kerinduan yang tak tahu kepada siapa, adalah isyarat bahwa jiwa sedang memanggil pulangnya cahaya.

Pulau Jiwa di Tengah Lautan Cahaya

Dalam Ḥikmat al-Ishrāq, jiwa manusia diibaratkan sebagai entitas yang berada di antara dua alam: alam cahaya murni (spiritual) dan alam bayangan (materi).
Ia berada di batas keduanya — mampu melihat ke atas (ke asalnya), tapi juga mudah tertarik ke bawah (ke dunia).

«الإنسانُ نورٌ متوسِّطٌ بين النورِ الخالصِ والظلمةِ الكثيفةِ»
“Manusia adalah cahaya yang berada di antara cahaya murni dan kegelapan yang padat.”

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Pulau jiwa bukanlah tempat yang statis, melainkan kesadaran yang bergerak.
Setiap kali seseorang berdoa dengan tulus, berbuat baik, atau merenung dalam diam, ia sebenarnya sedang menarik cahayanya kembali ke pusat diri.
Maka zikir, ilmu, dan kasih sayang adalah perahu-perahu kecil yang menyeberangkan jiwa menuju samudra asalnya.

Cahaya dan Bayangan dalam Kitab Suci

Pandangan Suhrawardī sejalan dengan pesan Al-Qur’an, yang menjadikan cahaya sebagai metafora utama bagi kebenaran.

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)

Ayat ini tidak hanya menyebut Tuhan sebagai sumber terang, tetapi juga menggambarkan bahwa segala eksistensi bergantung pada-Nya sebagaimana bayangan bergantung pada cahaya.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:

«إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ نُورًا، وَنُورُ الْقَلْبِ الذِّكْرُ»
“Segala sesuatu memiliki cahaya, dan cahaya hati adalah zikir.” (HR. Dailami)

Zikir, dalam pandangan Isyraqiyyah, bukan sekadar pengulangan kata, melainkan upaya menyalakan kesadaran.
Ketika hati berzikir, ia menjadi cermin bagi Nur Ilahi — dan dunia di sekitarnya ikut diterangi.

Ketika Manusia Menyadari Dirinya Bagian dari Laut Cahaya

Suhrawardī tidak menulis untuk akademisi, tapi untuk pencari. Ia mengajarkan bahwa ilmu sejati bukan hasil berpikir, tapi hasil penyaksian (musyahadah).
Pengetahuan sejati tidak datang dari luar, tetapi terbit dari dalam diri, seperti fajar yang menyala di hati.

«المعرفةُ إشراقُ النورِ على النفسِ بعدَ صفائها»
“Pengetahuan sejati adalah pancaran cahaya atas jiwa setelah ia menjadi jernih.”

Ketika hati bersih, segala sesuatu terlihat sebagaimana adanya.
Dan di saat itu, manusia menyadari bahwa dirinya bukan makhluk asing di dunia ini, melainkan ombak kecil dari Laut Cahaya yang abadi.
Ia tidak lagi takut pada kematian, karena kematian hanyalah kembali menjadi bagian dari samudra.

Refleksi Kehidupan: Belajar dari Cahaya yang Bergerak

Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran Suhrawardī dapat diterapkan secara sederhana:
Lihatlah setiap peristiwa sebagai pantulan cahaya yang mengajarkan sesuatu.
Kegagalan mengajarkan kerendahan hati, kesedihan mengajarkan empati, dan cinta mengajarkan ketuhanan.

Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu memiliki makna cahaya di dalamnya, dunia tak lagi tampak acak atau hampa.
Kita menjadi pengamat yang tenang, jiwa yang mengapung di atas samudra makna.

Penutup: Menjadi Cahaya yang Mengingat Lautnya

Suhrawardī wafat muda, tetapi ajarannya menyala hingga kini. Ia ingin manusia berhenti melihat dunia sebagai tempat asing dan mulai mengenalinya sebagai refleksi kehadiran Tuhan.
Setiap jiwa adalah pulau kecil, namun dikelilingi oleh Laut Cahaya yang sama.

Dan di ujung perjalanan, semua pulau akan larut — bukan hilang, tapi menyatu kembali dengan samudra asalnya.
Seperti ia tulis dengan lembut:

«النهايةُ رجوعُ النورِ إلى مصدرِه، وهنالكَ الطمأنينةُ الكبرى»
“Akhir dari segala perjalanan adalah kembalinya cahaya kepada sumbernya, dan di sanalah kedamaian tertinggi.”

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement