Khazanah
Beranda » Berita » Sinar dari Timur Jauh: Kisah Ruh yang Mencari Rumahnya

Sinar dari Timur Jauh: Kisah Ruh yang Mencari Rumahnya

ilustrasi manusia menatap fajar keemasan di Timur sebagai simbol perjalanan ruh
Seorang pengelana menatap fajar, simbol ruh yang mencari rumah asalnya di Timur Cahaya.

Surau.co. Ada cahaya yang selalu memanggil manusia dari kejauhan — lembut, hangat, dan penuh kerinduan. Cahaya itu datang dari Timur Jauh, bukan dari arah geografis, melainkan dari arah ruhani: tempat asal segala makna dan sumber segala keberadaan.
Dalam kitab Ḥikmat al-Ishrāq, Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī, sang Filsuf Cahaya, mengajarkan bahwa kehidupan manusia sejatinya adalah perjalanan ruh menuju rumahnya yang bercahaya. Ia datang dari Timur Cahaya (Mashriq al-Anwār) dan sementara singgah di dunia bayangan.

Kisah ini bukan dongeng. Ia adalah perjalanan yang setiap manusia sedang jalani — entah ia sadar atau tidak.

Ketika Dunia Terasa Asing

Pernahkah engkau merasa seolah dunia ini bukan rumahmu?
Meski segala hal tampak sempurna, ada ruang hening dalam dada yang tak bisa dipenuhi oleh harta, cinta, atau pengetahuan.
Rasa rindu yang samar itu, kata Suhrawardī, adalah panggilan cahaya — suara dari Timur Jauh yang memanggil ruh untuk kembali mengenali asalnya.

Ia menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:

«النورُ الأصيلُ هو وطنُ الأرواحِ، فمن ابتعدَ عنه اشتاقَ إلى الرجوعِ»
“Cahaya sejati adalah tanah air ruh; siapa yang menjauh darinya, pasti merindukan untuk kembali.”

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Rindu spiritual ini bukan kelemahan, tapi kompas jiwa. Ia mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar tubuh yang berjalan di atas bumi, melainkan cahaya yang tersesat di antara bayangan.

Ruh yang Turun dari Timur

Dalam filsafat Isyraq, alam semesta terdiri atas tingkatan cahaya — dari yang paling murni hingga yang paling redup.
Ruh manusia adalah salah satu percikan dari Nūr al-Anwār, Cahaya dari segala cahaya. Namun ketika ruh turun ke dunia materi, ia terbungkus kabut tubuh, hawa nafsu, dan lupa akan asalnya.

Suhrawardī menjelaskan:

«الروحُ نزلتْ من عالمِ الأنوارِ إلى عالمِ الظلماتِ لتعرفَ نفسَها»
“Ruh turun dari dunia cahaya ke dunia kegelapan agar ia mengenal dirinya sendiri.”

Di sinilah paradoks manusia: semakin jauh ia dari cahaya, semakin besar kemampuannya untuk mengenal cahaya itu.
Gelap memberi bentuk pada terang. Lupa melahirkan pencarian. Dan dalam pencarian itulah, manusia belajar berjalan — dari barat kegelapan menuju timur pencerahan.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Timur Sebagai Simbol Kesadaran

Dalam pandangan Suhrawardī, Timur bukan arah mata angin, melainkan simbol kesadaran ilahiah.
Ia menulis:

«المشرقُ هو مبدأُ الأنوارِ، ومنهُ تتلألأُ الحقيقةُ في القلبِ»
“Timur adalah sumber segala cahaya; darinya kebenaran berkilau di dalam hati.”

Maka, menjadi “manusia Timur” bukan berarti lahir di sisi tertentu bumi, tetapi hidup dalam kesadaran bahwa semua makhluk adalah cahaya yang berbeda-beda tingkat kilauannya.
Orang yang hatinya bersih akan menjadi cermin bagi cahaya itu, sedangkan hati yang tertutup ego hanya memantulkan bayangan buram dunia.

Dalam kehidupan modern, “Timur Jauh” bisa dimaknai sebagai kembali ke dalam, mencari arah bukan lewat peta, tapi lewat diam.
Sebab perjalanan terjauh yang dapat ditempuh manusia adalah perjalanan ke dalam dirinya sendiri.

Ketika Cahaya Menyapa dalam Kesunyian

Kadang perjalanan ruh tidak memerlukan langkah, tapi hanya sejenak diam.
Dalam kesunyian itu, ruh mulai mendengar suara halus dari Timur — bukan berupa kata, tapi rasa. Rasa tenteram, rasa dikenal, rasa pulang.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Suhrawardī menulis dengan indah:

«إذا سكنتِ النفسُ سمعتْ نداءَ موطنِها الأولِ»
“Ketika jiwa tenang, ia akan mendengar panggilan dari tanah air asalnya.”

Namun kedamaian ini tidak datang dari luar. Ia muncul saat kita berhenti mengejar segala hal yang sebenarnya tidak hilang.
Sebab apa yang kita cari di luar, sesungguhnya telah berdiam di dalam diri sejak awal.

Cahaya dalam Kitab Suci: Petunjuk bagi Ruh yang Pulang

Konsep Suhrawardī tentang cahaya berakar kuat dalam wahyu.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa seluruh eksistensi bersumber dari Cahaya Ilahi:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)

Ayat ini bukan metafora estetis. Ia menyingkapkan struktur metafisik wujud: setiap hal yang ada adalah lapisan cahaya, dari yang paling tinggi (Ilahi) hingga yang paling rendah (materi).
Cahaya yang menuntun hati manusia untuk mencari asalnya adalah bagian dari sistem Ilahi yang tak pernah padam.

Rasulullah ﷺ pun bersabda:

«اتَّقُوا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ»
“Waspadalah terhadap firasat orang beriman, karena ia melihat dengan cahaya Allah.” (HR. Tirmidzi)

Melalui cahaya ini, hati manusia dapat melihat bukan hanya dengan akal, tapi dengan kesadaran yang diterangi oleh Tuhan.

Fenomena Sehari-hari: Cahaya yang Memandu di Tengah Gelap

Dalam hidup, kadang kita merasa tersesat — kehilangan arah, kelelahan, atau kehilangan makna. Tapi selalu ada momen kecil yang menyentuh:
ucapan sederhana dari seorang sahabat, senyum anak kecil, atau rasa syukur yang tiba-tiba muncul di tengah tangis.
Itulah percikan cahaya Timur Jauh yang datang mengingatkan ruh akan rumahnya.

Setiap kebaikan yang kita lakukan, setiap maaf yang kita berikan, adalah langkah kecil menuju Timur itu.
Sebab cahaya tidak datang sekaligus; ia menyapa perlahan, melalui perbuatan yang penuh kasih.

Perjalanan Pulang: Dari Bayangan Menuju Cahaya

Pada akhirnya, setiap perjalanan adalah perjalanan pulang.
Suhrawardī berkata:

«النهايةُ عودةُ النورِ إلى مبدأِه، والروحُ لا ترتاحُ حتى تراهُ»
“Akhir dari segala perjalanan adalah kembalinya cahaya ke sumbernya; dan ruh tidak akan tenang sampai melihatnya.”

Dan di situlah seluruh pencarian berhenti — bukan karena kita tiba di tempat baru, tapi karena kita menyadari bahwa kita selalu berada di dalam cahaya itu.
Dunia ini hanyalah tirai, dan hidup adalah upaya lembut untuk menyingkapnya.

Penutup: Ketika Ruh Menemukan Rumahnya

“Timur Jauh” bukanlah tempat yang jauh. Ia adalah kesadaran bahwa rumah sejati kita adalah cahaya.
Suhrawardī mengajarkan bahwa orang yang menemukan cahaya dalam dirinya tidak akan lagi takut kehilangan dunia, karena ia telah menemukan sumber segala sesuatu.

Dalam bahasa Rumi:

“Kami datang dari cahaya, hidup di dalam cahaya, dan kepada cahaya kami akan kembali.”

Dan barangkali, di antara langkah-langkah kita yang lelah di bumi ini, ruh kita sedang pulang perlahan — menuju Timur yang tak pernah tenggelam.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponoogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement