Khazanah
Beranda » Berita » Pentingnya Menjaga Iman di Tengah Dunia Modern: Pelajaran dari Kitab Kifayatul Awam

Pentingnya Menjaga Iman di Tengah Dunia Modern: Pelajaran dari Kitab Kifayatul Awam

pemuda muslim berdiri di bawah langit senja menerima cahaya iman
Pemuda Muslim berdiri di bawah langit senja dengan tangan terbuka, menggambarkan penerimaan terhadap kehendak Ilahi dan kekuatan spiritual di era modern.

Surau.co. Kita hidup di masa yang serba cepat dan tak menentu. Dunia modern menghadirkan kemudahan sekaligus kegelisahan. Seseorang bisa terhubung ke seluruh dunia dalam hitungan detik, namun sering kali kehilangan koneksi dengan dirinya sendiri. Di tengah derasnya arus informasi, iman menjadi sesuatu yang paling mudah goyah dan paling sulit dijaga.

Iman bukan sekadar keyakinan di bibir, tetapi cahaya yang menuntun cara berpikir, bertindak, dan merasakan hidup. Ia adalah keseimbangan antara akal, hati, dan amal. Syaikh Muhammad al-Fudhali dalam kitab Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi at-Tawḥīd menegaskan bahwa iman merupakan fondasi setiap amal. Dalam baitnya beliau menulis:

وَأَوَّلُ الْوَاجِبَاتِ مَعْرِفَةُ الإِلَهِ
“Kewajiban pertama atas setiap mukallaf adalah mengenal Allah.”

Artinya, seluruh amal tidak akan bermakna tanpa iman. Maka menjaga iman di tengah dunia modern bukan hanya perkara agama, tetapi kebutuhan batin manusia untuk tetap waras, tenang, dan terarah.

Dunia Modern dan Krisis Makna

Dunia modern menjanjikan kemajuan, tapi juga melahirkan kekosongan. Banyak orang sukses secara materi namun merasa kehilangan makna. Nilai hidup bergeser menjadi angka: jumlah pengikut, penghasilan, atau prestasi. Padahal semua itu tak akan bernilai bila iman tidak menuntunnya.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Al-Qur’an memperingatkan manusia agar tidak tertipu oleh gemerlap dunia:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, hiburan, perhiasan, saling bermegah-megahan, dan berlomba dalam harta serta anak keturunan.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 20)

Ayat ini bukan mengajak untuk meninggalkan dunia, tetapi menempatkannya pada tempat yang wajar. Dunia boleh dicintai, tapi tidak untuk disembah. Imanlah yang menjaga keseimbangan itu.

Ketika iman menjadi lemah, manusia kehilangan orientasi. Mereka mengejar kebahagiaan di luar diri, padahal sumber ketenangan sejati ada di dalam hati yang beriman. Kifayatul Awam mengajarkan bahwa mengenal Allah bukan hanya tugas para ulama, tetapi kewajiban setiap manusia — karena dari sanalah seluruh makna hidup berawal.

Tantangan Menjaga Iman di Era Digital

Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Dahulu, tantangan iman datang dari kekuasaan dan ideologi. Kini, tantangan itu datang dalam bentuk halus: notifikasi, algoritma, dan hiburan tanpa batas.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Anak muda kini hidup dalam dunia yang membuat segalanya tampak relatif. Kebenaran sering diukur dari opini mayoritas, bukan dari wahyu. Sementara nilai-nilai agama dianggap kuno, padahal justru di sanalah sumber kestabilan batin.

Menjaga iman di era digital berarti menjaga kesadaran: sadar atas waktu, pikiran, dan niat. Iman tidak akan tumbuh di hati yang terus tergesa dan penuh distraksi.

Syaikh al-Fudhali menulis dengan indah:

وَكُلُّ مَا يَجِبُ لِلَّهِ مِنَ الْكَمَالِ يَجِبُ أَنْ يَعْتَقِدَ الْعَبْدُ فِيهِ
“Setiap sifat kesempurnaan yang wajib bagi Allah wajib pula diyakini oleh seorang hamba dalam hatinya.”

Artinya, menjaga iman adalah menjaga keyakinan hati bahwa Allah tetap Maha Sempurna dan Maha Mengatur, meski dunia tampak kacau. Dengan keyakinan ini, seorang Muslim tak mudah hanyut oleh opini dan tren.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Menghidupkan Iman Melalui Pengetahuan

Salah satu kesalahpahaman yang sering terjadi ialah menganggap iman hanya soal hati, bukan akal. Padahal, iman sejati tumbuh dari pengetahuan yang benar.

Iman yang kokoh tidak lahir dari taklid buta, melainkan dari pemahaman yang sadar. Dalam Kifayatul Awam, Syaikh al-Fudhali berulang kali menegaskan pentingnya mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya. Ia mengajarkan bahwa iman tidak cukup diucapkan, tetapi harus diresapi melalui ilmu.

Al-Qur’an pun menegaskan hal ini:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)

Ayat ini menggunakan kata fa‘lam — “ketahuilah”, bukan “katakanlah”. Ini menandakan bahwa iman yang benar harus berdiri di atas pengetahuan.

Dalam konteks modern, hal ini menjadi sangat penting. Anak muda kini lebih mudah belajar dari media sosial daripada dari guru agama. Maka tugas umat Islam hari ini adalah menghadirkan ilmu akidah dengan cara yang cerdas, komunikatif, dan relevan dengan kehidupan mereka.

Menjaga Iman Lewat Amal dan Lingkungan

Iman tidak bisa dijaga sendirian. Ia butuh dukungan lingkungan yang sehat dan amal yang terus diperbarui. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ فَاسْأَلُوا اللهَ أَنْ يُجَدِّدَ الْإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ
“Sesungguhnya iman itu bisa lusuh di dalam diri kalian sebagaimana pakaian yang lusuh, maka mintalah kepada Allah agar memperbarui iman di hati kalian.” (HR. al-Ḥākim)

Hadis ini menunjukkan bahwa iman bisa naik turun, tergantung pada amal dan suasana hati. Maka salah satu cara menjaga iman di dunia modern adalah dengan terus memperbaruinya melalui ibadah, ilmu, dan pergaulan yang baik.

Lingkungan digital yang penuh kemaksiatan harus diimbangi dengan lingkungan spiritual yang sehat. Remaja yang aktif di media sosial sebaiknya juga aktif di komunitas keagamaan, membaca kitab klasik, dan berdiskusi tentang makna iman. Dengan begitu, keimanan tidak menjadi dogma mati, tapi napas hidup yang hadir dalam setiap aktivitas.

Iman Sebagai Penuntun Moral dan Keberanian

Dunia modern sering kali membuat manusia kehilangan arah moral. Banyak yang tahu mana yang benar dan salah, tetapi tidak punya keberanian untuk memilih yang benar. Di sinilah iman berperan.

Iman bukan hanya keyakinan batin, tetapi sumber keberanian moral. Seseorang yang beriman tidak takut kehilangan dunia, karena ia yakin bahwa Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.

Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’ lalu mereka istiqamah, maka malaikat turun kepada mereka seraya berkata: Janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih hati.” (QS. Fuṣṣilat [41]: 30)

Ayat ini menggambarkan kekuatan iman yang menumbuhkan ketenangan dan keberanian. Di tengah tekanan sosial, iman menjadi perisai dari rasa takut dan kegelisahan.

Syaikh al-Fudhali dalam Kifayatul Awam menggambarkan iman sebagai cahaya yang menyinari hati, bukan beban yang membatasi:

الإِيمَانُ نُورٌ يَهْدِي الْعَبْدَ إِلَى طَاعَةِ رَبِّهِ
“Iman adalah cahaya yang menuntun hamba menuju ketaatan kepada Tuhannya.”

Iman menuntun manusia bukan untuk menjauhi dunia, tapi untuk mengisinya dengan nilai kebaikan.

Iman dan Ketenangan Jiwa

Salah satu tanda iman yang hidup adalah ketenangan batin. Dunia modern membuat banyak orang sibuk mengejar kedamaian luar, tapi lupa membangun kedamaian dalam. Padahal, Allah berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 28)

Iman membuat seseorang mampu menerima hidup apa adanya. Ia tidak menolak dunia, tapi tidak pula diperbudak oleh dunia. Ia bekerja keras, namun tetap bersyukur. Ia berdoa, namun tetap berusaha.

Dalam Kifayatul Awam, Syaikh al-Fudhali menyebutkan bahwa iman yang benar melahirkan rasa ridha terhadap ketentuan Allah:

وَيَجِبُ عَلَى الْمُؤْمِنِ أَنْ يَرْضَى بِقَضَاءِ اللهِ وَقَدَرِهِ
“Wajib bagi orang beriman untuk ridha terhadap ketentuan dan takdir Allah.”

Inilah keseimbangan yang dicari banyak orang modern: damai di tengah kesibukan, tenang di tengah perubahan.

Menjadikan Iman Sebagai Gaya Hidup

Menjaga iman bukan berarti menjauh dari dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai ladang amal. Seorang pelajar, pekerja, atau pebisnis tetap bisa modern sekaligus beriman. Yang membedakan adalah niat dan tujuan.

Anak muda masa kini dapat mengekspresikan imannya dengan cara kreatif — membuat karya, menulis, berdakwah digital, atau menjadi contoh dalam etika profesional. Selama semua itu berangkat dari niat lillāh, maka ia menjadi bagian dari ibadah.

Syaikh al-Fudhali menegaskan bahwa iman sejati akan memancar dalam amal perbuatan. Maka menjaga iman berarti juga menjaga cara kita hidup.

Penutup

Iman bukan warisan yang cukup dijaga di laci hati, tetapi pelita yang harus terus dinyalakan. Dunia modern memang menantang, tetapi juga memberi peluang besar bagi orang beriman untuk menjadi cahaya bagi sekitarnya.

Syaikh Muhammad al-Fudhali mengajarkan dalam Kifayatul Awam bahwa iman adalah awal dari segalanya. Tanpa iman, ilmu kehilangan arah, amal kehilangan makna, dan hidup kehilangan ruh.

Dalam hiruk pikuk dunia yang bising, iman adalah keheningan yang menyelamatkan.
Dalam cahaya neon yang silau, iman adalah pelita yang tak padam.
Ia tidak menolak dunia, tetapi menuntunnya menuju Allah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement