Khazanah
Beranda » Berita » Suluk Cahaya: Bagaimana Suhrawardī Mengajarkan Musyahadah

Suluk Cahaya: Bagaimana Suhrawardī Mengajarkan Musyahadah

ilustrasi manusia berjalan di jalan cahaya menuju sumber nur
Pengelana berjalan dalam cahaya malam, melambangkan perjalanan batin menuju penyaksian ruhani.

Surau.co. Ada jalan yang tidak dilalui kaki, tapi ditempuh oleh jiwa. Jalan itu tak diukur dengan waktu atau jarak, melainkan dengan kejernihan hati dan keberanian untuk diam di hadapan cahaya.
Jalan ini disebut Suluk Cahaya, sebagaimana dijelaskan oleh Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī dalam kitabnya Ḥikmat al-Ishrāq — sebuah kitab yang tidak hanya mengajarkan berpikir, tetapi melatih manusia untuk melihat dengan mata batin.
Suhrawardī tidak menuntun muridnya untuk mengumpulkan teori, melainkan mengasah pandangan yang menyaksikan kebenaran secara langsung — inilah yang disebut musyahadah, penyaksian ruhani terhadap cahaya.

Ketika Mata Batin Belum Terbuka

Kita hidup di dunia yang ramai, tapi sepi. Banyak orang pandai membaca buku, namun jarang yang membaca hatinya sendiri. Dalam kesibukan modern, kita berlari mengejar cahaya dari luar — layar, lampu, reputasi — tetapi lupa bahwa ada cahaya di dalam diri yang menunggu dikenali.

Suhrawardī menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:

«النورُ إذا دخلَ القلبَ، رأى الإنسانُ الأشياءَ كما هي»
“Ketika cahaya memasuki hati, manusia melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.”

Musyahadah bukan mimpi mistik, tetapi kesadaran murni. Ia adalah keadaan ketika hati menjadi bening, dan realitas memperlihatkan wajah aslinya.
Di titik itu, seseorang tidak lagi melihat dengan mata, tetapi melihat melalui cahaya yang sama dengan sumber wujud.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Cahaya Sebagai Guru dan Jalan

Filsafat Isyraq memandang seluruh wujud sebagai cahaya yang bertingkat-tingkat.
Cahaya tertinggi — Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala cahaya) — adalah Tuhan sendiri. Dari-Nya, seluruh cahaya lain memancar: jiwa, akal, hingga alam materi.

Suhrawardī berkata:

«كلُّ نورٍ يستمدُّ إشراقَهُ من النورِ الأعلى»
“Setiap cahaya memancarkan sinarnya dari Cahaya yang lebih tinggi.”

Dalam perjalanan spiritual, manusia ibarat lilin kecil yang belajar menyala kembali dari Matahari Agung.
Suluk cahaya berarti menapaki jenjang keberadaan, dari kegelapan nafsu menuju terang ruh.
Dan setiap langkahnya bukan hanya pemahaman, tapi pembersihan — karena cahaya tidak bisa menetap di hati yang kotor.

Musyahadah: Saat Mengetahui Berubah Menjadi Menyaksikan

Bagi Suhrawardī, mengetahui bukanlah menambah informasi, tapi menyingkap tirai.
Ia menulis:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

«المعرفةُ ليستْ حصولَ الصورةِ في الذهنِ، بل حضورَ النورِ في النفسِ»
“Pengetahuan bukanlah hadirnya gambaran dalam pikiran, tetapi hadirnya cahaya dalam jiwa.”

Inilah inti musyahadah. Ia bukan berpikir tentang kebenaran, tapi menjadi terang bersama kebenaran.
Seperti matahari yang tak membicarakan dirinya, tapi membuat segalanya tampak.
Begitu pula orang yang telah mencapai musyahadah — ia tidak sibuk menjelaskan Tuhan, karena hidupnya sendiri telah menjadi penjelasan.

Ketika Jiwa Menyala dari Dalam

Penyaksian ruhani tidak terjadi dengan tiba-tiba. Ia adalah hasil dari suluk — perjalanan batin yang penuh keheningan dan kejujuran.
Suhrawardī mengajarkan bahwa untuk menyaksikan cahaya, jiwa harus dibersihkan dari kabut dunia.

«النفسُ إذا تطهرتْ من كدرِ الطبيعةِ، تجلّى فيها النورُ الإلهيُّ»
“Ketika jiwa telah bersih dari kekeruhan dunia, cahaya Ilahi akan menampakkan diri di dalamnya.”

Membersihkan diri bukan berarti meninggalkan dunia, tapi melihat dunia tanpa kepemilikan.
Orang yang ber-musyahadah bukan yang menjauhi kehidupan, melainkan yang melihat Tuhan di balik kehidupan.
Ia tidak lagi membeda-bedakan antara sakral dan profan, karena baginya, segala sesuatu adalah cermin cahaya.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Fenomena Sehari-hari: Saat Cahaya Menyapa dalam Kesederhanaan

Kita sering membayangkan musyahadah sebagai pengalaman mistik yang tinggi, padahal ia bisa muncul dalam hal-hal sederhana.
Saat seseorang menatap wajah anaknya dan tiba-tiba hatinya dipenuhi rasa syukur — itu adalah kilasan cahaya.
Ketika seseorang berbuat baik tanpa pamrih dan merasa damai — di situlah cahaya menyentuh jiwanya.
Musyahadah bukan tentang tempat, tapi tentang keadaan. Ia dapat hadir di pasar yang riuh, di ruang kerja, atau di kesunyian malam.

Maka jalan cahaya bukanlah pelarian, melainkan cara baru untuk hadir di dunia.

Al-Qur’an: Cahaya yang Mengajarkan Melihat

Suhrawardī selalu merujuk pada Al-Qur’an sebagai sumber cahaya wahyu.
Dalam ayat yang menjadi inti filsafat Isyraq, Allah berfirman:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)

Ayat ini menyingkapkan bahwa seluruh alam semesta adalah pancaran dari Cahaya Ilahi.
Suhrawardī menjadikannya dasar untuk menyusun metafisika cahaya — bahwa semua realitas hanyalah tingkatan pancaran Tuhan.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:

«إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ نُورًا، وَنُورُ الْقَلْبِ الذِّكْرُ»
“Segala sesuatu memiliki cahaya, dan cahaya hati adalah zikir.” (HR. Dailami)

Zikir, dalam pandangan Isyraq, bukan sekadar pengucapan, tapi gerak batin menuju penyaksian.
Ketika zikir menjadi hidup, ia menyalakan cahaya dalam hati, dan hati pun mulai melihat.

Suluk Cahaya di Zaman yang Gelap

Di zaman modern, manusia kehilangan arah bukan karena kurang ilmu, tetapi karena kehilangan nur di dalam ilmu.
Kita tahu banyak hal, tapi sedikit yang menerangi.
Suhrawardī hadir untuk mengingatkan: ilmu tanpa cahaya adalah kegelapan yang teratur.

Suluk cahaya berarti menjadikan setiap pengetahuan sebagai jalan menuju makna.
Saat kita membaca, berpikir, bekerja — jadikan semua itu bagian dari penyaksian.
Lakukan dengan kesadaran bahwa setiap tindakan adalah percikan dari Nūr al-Anwār.

Penutup: Cahaya yang Menjadi Jalan Pulang

Musyahadah bukan akhir, melainkan kembali ke awal.
Ia adalah kesadaran bahwa kita semua berasal dari cahaya, dan akan kembali kepadanya.
Suhrawardī menulis:

«النهايةُ عودةُ النورِ إلى مصدرِه، كما تعودُ الأشعةُ إلى الشمسِ»
“Akhir perjalanan adalah kembalinya cahaya ke sumbernya, sebagaimana sinar kembali kepada matahari.”

Maka suluk cahaya bukan perjalanan menuju sesuatu yang jauh, tapi perjalanan pulang ke diri yang sejati.
Ketika hati telah diterangi oleh Nur Ilahi, dunia tak lagi tampak sebagai bayangan — melainkan wajah Tuhan yang memantulkan kasih di setiap arah.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement