Khazanah
Beranda » Berita » Mengenal Allah Lewat Ciptaan-Nya: Iman yang Rasional dalam Kitab Kifāyatul ‘Awām

Mengenal Allah Lewat Ciptaan-Nya: Iman yang Rasional dalam Kitab Kifāyatul ‘Awām

ilustrasi mengenal Allah lewat ciptaan-Nya menurut Kifayatul Awam
Lukisan digital realistik-filosofis menggambarkan seorang manusia berdiri di tepi lembah dengan langit penuh bintang, melambangkan pencarian iman melalui renungan ciptaan Allah.

Surau.co. Manusia adalah makhluk yang diberi anugerah istimewa oleh Allah: akal dan hati. Dua potensi ini menjadi sarana utama untuk mengenal Tuhannya. Dalam kehidupan modern yang serba logis, banyak orang mencari keseimbangan antara keyakinan dan rasionalitas. Islam, dengan keindahan ajarannya, justru memelihara keduanya. Iman dalam Islam tidak menolak akal, bahkan mendorongnya untuk merenung.

Kitab Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi al-Kalām karya Syaikh Muhammad al-Fudhali menjadi salah satu karya klasik yang menjelaskan hubungan antara akal dan iman dengan bahasa sederhana namun mendalam. Dalam kitab ini, beliau menegaskan bahwa mengenal Allah (ma‘rifatullah) bukan sekadar urusan hati, melainkan juga tanggung jawab akal. Allah memerintahkan manusia untuk berpikir tentang ciptaan-Nya agar mereka sampai kepada-Nya.

Allah berfirman:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān: 190)

Ayat ini menjadi dasar bahwa iman yang sejati bukanlah kepercayaan buta, melainkan keyakinan yang tumbuh dari renungan dan kesadaran.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Iman yang Rasional: Ciri Islam yang Seimbang

Dalam Kifāyatul ‘Awām, Syaikh al-Fudhali menegaskan bahwa mengenal Allah adalah kewajiban pertama bagi setiap mukallaf. Beliau menulis:

أَوَّلُ مَا يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ مَعْرِفَةُ اللَّهِ تَعَالَى
“Kewajiban pertama bagi orang yang telah baligh dan berakal adalah mengenal Allah Ta‘ala.”

Kata “berakal” dalam teks ini bukan tanpa makna. Syaikh al-Fudhali ingin menunjukkan bahwa akal adalah alat utama untuk mencapai iman yang benar. Iman yang lahir tanpa berpikir bisa rapuh, mudah terguncang oleh keraguan. Tetapi iman yang dibangun di atas pengetahuan dan perenungan akan kokoh, karena disertai kesadaran rasional bahwa Allah memang ada, Maha Sempurna, dan Maha Esa.

Islam tidak menuntut penganutnya untuk percaya buta. Sebaliknya, ia mengajak manusia berpikir tentang keajaiban ciptaan: dari luasnya langit, kompleksitas tubuh manusia, hingga keteraturan alam semesta. Semua itu adalah “ayat kauniyah” — tanda-tanda kekuasaan Allah di alam raya.

Akal adalah anugerah, tetapi wahyu adalah petunjuk. Keduanya tidak bertentangan, karena berasal dari sumber yang sama: Allah. Bila ada kesan bahwa ajaran agama menentang logika, itu karena manusia salah menafsirkan, bukan karena Islam menolak berpikir. Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali menyeru:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tidakkah kamu berpikir?”

Seruan ini menjadi bukti bahwa berpikir adalah bagian dari ibadah. Iman yang rasional tidak meniadakan rasa tunduk, justru memperdalam kekaguman. Ketika akal sampai pada batasnya, hati mengambil alih dengan taslim — pasrah dalam keyakinan yang mendalam.

Menemukan Allah Melalui Ciptaan-Nya

Alam semesta bukan sekadar tempat tinggal manusia, melainkan juga kitab terbuka yang mengajarkan siapa Penciptanya. Dalam setiap fenomena, dari hembusan angin hingga rotasi planet, terdapat bukti tentang keberadaan dan kekuasaan Allah.

Allah berfirman:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.” (QS. Fuṣṣilat: 53)

Syaikh al-Fudhali menjelaskan bahwa setiap ciptaan memiliki tanda yang mengarah pada Sang Pencipta. Bila manusia mengamati matahari, ia melihat keteraturan. Bila ia menatap tubuhnya sendiri, ia menyaksikan keajaiban sistem yang mustahil terjadi tanpa desain cerdas. Maka mengenal Allah lewat ciptaan-Nya adalah bentuk iman yang hidup — iman yang menatap dunia dengan mata ilmu dan hati yang sadar.

Seseorang yang merenung tentang ciptaan Allah akan merasakan kekaguman yang perlahan berubah menjadi keyakinan. Iman bukan sekadar pengakuan di lisan, melainkan kesadaran yang tumbuh di dalam diri. Ketika seseorang memandang langit malam yang penuh bintang, lalu hatinya bergetar menyebut “Subḥānallāh”, pada saat itulah ia sedang belajar mengenal Allah secara alami.

“Pikirkanlah ciptaan Allah, dan jangan memikirkan dzat Allah,” demikian salah satu pesan klasik dalam ilmu tauhid. Artinya, manusia diperintahkan untuk menelusuri tanda-tanda kekuasaan Allah melalui makhluk-Nya, bukan berusaha mengurai hakikat dzat-Nya yang mustahil dijangkau akal.

Syaikh al-Fudhali dan Rasionalitas Iman

Syaikh Muhammad al-Fudhali termasuk ulama yang menekankan pentingnya menggunakan akal dalam memahami iman. Dalam Kifāyatul ‘Awām, beliau menyindir mereka yang hanya mengikuti keyakinan orang tua tanpa memahami dasarnya. Menurut beliau, iman seperti itu mudah goyah. Beliau menulis:

لَا يَكْفِي فِي الْإِيمَانِ التَّقْلِيدُ بِلَا دَلِيلٍ
“Tidak cukup beriman dengan sekadar ikut-ikutan tanpa dasar pengetahuan.”

Pernyataan ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang menolak kejumudan berpikir. Orang yang benar-benar beriman bukanlah yang meniru secara buta, tetapi yang memahami mengapa ia beriman. Ia tidak sekadar berkata “Allah ada”, tetapi ia mampu melihat bukti keberadaan Allah dalam setiap detak kehidupan.

Rasionalitas dalam iman tidak berhenti pada pengetahuan teoritis, tetapi berlanjut pada penghayatan. Ilmu tentang Allah harus menumbuhkan cinta dan ketaatan. Syaikh al-Fudhali menegaskan bahwa semakin dalam seseorang mengenal Allah, semakin besar rasa takut dan rindu kepada-Nya. Akal menjadi jalan, sementara hati menjadi pelabuhan.

Karena itu, belajar ilmu tauhid bukan sekadar memenuhi kewajiban agama, tetapi juga membangun keutuhan diri — agar akal dan hati berjalan bersama dalam mencari kebenaran. Dalam konteks modern, pesan ini amat relevan. Di tengah derasnya arus skeptisisme dan relativisme, Kifāyatul ‘Awām mengingatkan bahwa iman yang cerdas adalah benteng bagi jiwa.

Iman dan Akal dalam Keseimbangan

Dalam sejarah pemikiran Islam, dua kutub ekstrem sering muncul: satu menuhankan logika hingga melupakan wahyu, yang lain menolak akal atas nama “iman murni”. Syaikh al-Fudhali mengambil jalan tengah. Baginya, iman sejati adalah harmoni antara dalil ‘aqli (akal) dan dalil naqli (wahyu). Akal menjadi alat memahami, wahyu menjadi cahaya pembimbing.

Ketika seseorang beriman tanpa berpikir, ia mudah terseret pada fanatisme buta. Sebaliknya, ketika ia berpikir tanpa iman, ia terjebak dalam kesombongan intelektual. Islam mengajarkan keseimbangan: berpikir dengan tunduk, dan tunduk dengan kesadaran.

Setiap kali kita melihat air mengalir, udara bergerak, atau matahari terbit, sesungguhnya Allah sedang “berbicara” kepada kita lewat tanda-tanda-Nya. Tetapi banyak manusia tidak mendengarnya, karena sibuk dengan urusan dunia. Padahal, bagi yang peka, alam adalah madrasah terbesar. Di sanalah Allah memperkenalkan diri-Nya tanpa suara, tetapi dengan bukti yang tak terbantahkan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

تَفَكَّرُوا فِي خَلْقِ اللَّهِ وَلَا تَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ
“Berpikirlah tentang ciptaan Allah, dan jangan berpikir tentang dzat Allah.” (HR. Abu Nu‘aim)

Hadits ini menegaskan keseimbangan antara akal dan iman. Berpikir adalah ibadah, tetapi dengan batas yang bijak. Kita diajak merenungi keindahan ciptaan-Nya agar hati semakin mengenal dan mencintai Sang Pencipta.

Kifāyatul ‘Awām: Iman yang Menghidupkan

Kitab Kifāyatul ‘Awām tidak hanya mengajarkan konsep tauhid secara teoritis, tetapi juga menghidupkan rasa iman. Syaikh al-Fudhali mengajak pembacanya untuk mengalami kehadiran Allah melalui ciptaan-Nya. Ia menulis dengan nada yang lembut namun menggetarkan: bahwa setiap helaan napas, setiap denyut nadi, adalah tanda kasih sayang Allah yang tak pernah terputus.

Iman yang seperti ini bukanlah beban intelektual, tetapi sumber ketenangan. Orang yang mengenal Allah melalui ciptaan-Nya akan lebih sabar dalam ujian dan lebih bersyukur dalam nikmat. Ia tidak lagi mempertanyakan “mengapa ini terjadi?”, karena ia tahu bahwa semua terjadi atas kehendak dan kebijaksanaan Allah.

Merenungi ciptaan Allah bukan hanya aktivitas intelektual, tetapi juga latihan spiritual. Seseorang yang rajin memandang alam dengan kesadaran iman akan merasakan kehadiran Allah di setiap sudut kehidupan. Gunung mengajarkan keteguhan, laut mengajarkan kerendahan hati, dan langit mengajarkan keluasan jiwa.

Inilah makna iman yang rasional: iman yang berpikir dan merasakan sekaligus. Sebuah iman yang tidak membelenggu, tetapi membebaskan; tidak menakutkan, tetapi menenangkan. Iman yang membuat seseorang mampu berkata dengan yakin, “Aku percaya kepada Allah, karena aku melihat tanda-tanda-Nya di mana-mana.”

Penutup

Mengenal Allah lewat ciptaan-Nya adalah perjalanan yang tak pernah berakhir. Setiap kali manusia menatap dunia dengan mata iman dan akal yang jernih, ia akan menemukan bukti baru tentang kebesaran Allah. Dari bunga yang mekar hingga bintang yang berputar, semuanya bertasbih menyebut nama-Nya.

Syaikh al-Fudhali dalam Kifāyatul ‘Awām mengajarkan bahwa iman yang sejati bukan hanya ucapan, tetapi kesadaran yang terus tumbuh. Ia lahir dari renungan, diperkuat oleh ilmu, dan disempurnakan oleh pengalaman hidup.

Semoga hati kita senantiasa hidup dalam cahaya iman yang rasional — iman yang berpikir, merasa, dan menyembah. Sebab, siapa pun yang mengenal Allah lewat ciptaan-Nya, sesungguhnya sedang menempuh jalan pulang menuju-Nya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement