Khazanah
Beranda » Berita » Alam Imajinal: Negeri di Antara Dua Dunia

Alam Imajinal: Negeri di Antara Dua Dunia

ilustrasi manusia berjalan di antara dua dunia bercahaya
Seorang pengelana berjalan di antara dunia nyata dan cahaya, simbol perjalanan batin menuju ‘Ālam al-Mithāl’.

Surau.co. Ada sebuah negeri yang tak terlihat oleh mata, tapi dapat dirasakan oleh hati. Negeri itu bukan surga, bukan pula dunia — ia berada di tengah, di antara terang dan bayangan, di antara ruh dan bentuk.
Dalam kitab Ḥikmat al-Ishrāq, Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī menamai negeri ini ‘Ālam al-Mithāl — alam imajinal, tempat di mana makna menampakkan diri dalam rupa.
Bagi Suhrawardī, alam ini bukan khayalan, melainkan jembatan eksistensial antara dunia fisik dan dunia ruhani. Di sanalah segala bayangan berbicara, dan segala makna bernyanyi.

Ketika Dunia Terasa Tak Cukup

Pernahkah kau merasa, bahwa dunia yang terlihat ini bukan satu-satunya dunia?
Ketika mimpi terasa lebih nyata daripada kenyataan, atau ketika sebuah kenangan membangkitkan rasa yang tak bisa dijelaskan — itu pertanda kita sedang disentuh oleh alam imajinal.
Suhrawardī menulis:

«العالمُ المثاليُّ هو مرتبةٌ بينَ الحسِّ والعقلِ، تظهرُ فيها الأرواحُ في صورٍ محسوسةٍ»
“Alam mithāl adalah tingkatan antara indra dan akal, tempat ruh-ruh menampakkan diri dalam bentuk yang dapat dirasakan.”

Alam ini bukan sekadar mimpi, tapi ruang kesadaran yang hidup. Ia adalah medan tempat simbol menjadi nyata, tempat keindahan mengambil bentuk, dan tempat wahyu menurunkan makna.

Dalam kehidupan modern, kita sering kehilangan kepekaan terhadap dunia ini. Kita percaya hanya pada yang bisa diukur dan dihitung. Padahal, sebagian besar dari hidup manusia justru terjadi di wilayah yang tak bisa dijangkau oleh logika.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Makna yang Menjelma Bentuk

Dalam filsafat Isyraq, seluruh wujud adalah gradasi cahaya.
Dari Cahaya Tertinggi (Nūr al-Anwār) turunlah berlapis-lapis eksistensi hingga menjadi dunia material.
Antara keduanya, ada wilayah penyeimbang: ‘Ālam al-Mithāl, tempat bentuk spiritual dan simbolis berdiam.

Suhrawardī berkata:

«كلُّ ما في العالمِ السفليِّ ظلٌّ لما في العالمِ المثاليِّ»
“Segala sesuatu di dunia bawah hanyalah bayangan dari yang ada di dunia mithāl.”

Bunga yang kau lihat di taman hanyalah bayangan dari bunga sejati di alam cahaya.
Kecantikan, kasih, dan kesedihan — semuanya memiliki asal yang lebih murni di negeri itu.
Maka setiap kali manusia merasakan keindahan, sesungguhnya ia sedang mengingat dunia asalnya.

Alam imajinal adalah tempat ingatan ruh — tempat asal semua makna yang turun ke bumi dalam rupa bahasa, seni, dan cinta.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dunia yang Mengajarkan Melihat dengan Hati

Suhrawardī mengajarkan bahwa manusia memiliki dua mata: mata lahir dan mata batin.
Mata lahir melihat bentuk; mata batin melihat makna.
Ketika keduanya bersatu, dunia menjadi hidup — benda-benda berbicara, warna memiliki jiwa, dan cahaya membawa pesan.

Ia menulis:

«من رأى بنورِ القلبِ أبصرَ صورَ المعاني كما هي»
“Siapa yang melihat dengan cahaya hati, ia akan menyaksikan bentuk makna sebagaimana adanya.”

Di sinilah letak rahasia ‘Ālam al-Mithāl.
Ia bukan tempat fisik, melainkan dimensi persepsi.
Manusia yang hatinya jernih akan melihat bahwa dunia tidak diam. Batu pun bertasbih, pepohonan berdoa, dan angin menyampaikan salam Tuhan.

Ketika seseorang menangis saat berzikir, ketika hati bergetar mendengar ayat suci, itu bukan sekadar emosi — itu kunjungan dari alam mithāl ke dalam diri.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Cahaya dan Bayangan: Dua Pintu Satu Dunia

Suhrawardī tidak memisahkan dunia imajinal dari dunia nyata. Keduanya saling menembus, seperti siang dan senja yang tak pernah benar-benar terpisah.
Ia menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:

«العوالمُ الثلاثةُ متصلةٌ بالنورِ اتصالَ الظلِّ بالشمسِ»
“Tiga alam — jasmani, imajinal, dan ruhani — terhubung dengan cahaya sebagaimana bayangan terhubung dengan matahari.”

Maka tugas manusia bukan melarikan diri dari dunia, tapi melihat dunia dengan cara baru.
Jika alam jasmani adalah tubuh, maka alam mithāl adalah jiwa dari segala hal.
Keduanya bukan dua musuh, tapi dua sisi dari satu cermin yang sama.

Alam Imajinal dalam Kehidupan Sehari-hari

Mungkin kita mengira bahwa hanya para nabi dan sufi yang bisa menyentuh alam mithāl. Padahal, setiap manusia memilikinya — hanya saja kebanyakan lupa caranya.
Ketika seorang seniman melukis sesuatu yang tak pernah dilihatnya, ketika seorang ibu bermimpi tentang anaknya yang jauh, atau ketika seseorang merasa “dipanggil” oleh sesuatu yang tak tampak — mereka sedang berjalan di tepi alam imajinal.

Dalam dunia ini, waktu menjadi cair, ruang menjadi makna.
Makna menampakkan diri sebagai bentuk — terkadang dalam mimpi, terkadang dalam intuisi, atau sekadar getaran halus yang datang entah dari mana.

Cahaya dalam Al-Qur’an: Cermin bagi Alam Imajinal

Al-Qur’an banyak berbicara dengan bahasa simbol. Ia adalah kitab yang hidup di antara dua dunia — membawa cahaya dari yang gaib ke yang nyata.

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)

Ayat ini menyingkap struktur realitas yang berlapis-lapis.
Cahaya paling tinggi adalah sumber segala makna; dari sanalah nur menurun melalui alam ruh, alam mithāl, hingga menjadi dunia kita.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«النَّاسُ نِيَامٌ فَإِذَا مَاتُوا انْتَبَهُوا»
“Manusia dalam keadaan tidur, dan ketika mereka mati, barulah mereka terbangun.” (HR. Baihaqī)

Dalam tafsir isyraqī, kematian bukan akhir, melainkan terbukanya mata mithāl.
Yang dulu tampak hanya bayangan, kini terlihat maknanya.

Menemukan Diri di Antara Dua Dunia

Untuk mengenali alam mithāl, manusia tidak perlu terbang ke langit, cukup menyelam ke dalam dirinya sendiri.
Cahaya Tuhan sudah bersemayam di dalam hati, hanya saja ia tertutup oleh kabut kesibukan.
Ketika kabut itu tersingkap, dunia baru terbuka — dunia di mana bayangan memiliki suara dan makna memiliki wujud.

Suhrawardī menulis dengan lembut:

«إذا صفَتِ النفسُ، سمعتْ أنغامَ النورِ»
“Ketika jiwa menjadi jernih, ia akan mendengar nyanyian cahaya.”

Nyanyian itu tidak datang dari luar, tapi dari kedalaman diri.
Dan mungkin, seluruh pencarian manusia hanyalah usaha untuk mendengarnya kembali.

Penutup: Negeri di Antara Dua Dunia

Alam imajinal adalah negeri cinta — tempat akal berhenti menghitung dan hati mulai memahami.
Ia bukan dongeng mistik, melainkan cara melihat dunia dengan lebih halus, lebih lembut, lebih sejati.

Suhrawardī mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar bergerak di dunia jasmani, tapi juga menari di antara bayangan makna.

Dan di negeri itu, segala yang indah, segala yang hidup, berbicara dalam bahasa yang sama: bahasa cahaya.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement