Surau.co. Setiap manusia, tanpa memandang agama, pasti memiliki naluri untuk mencari keadilan. Ketika dizalimi, ia berteriak menuntut kebenaran; ketika melihat ketimpangan, hatinya menolak. Dalam fitrah itu, sesungguhnya tersimpan bukti bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan yang Maha Adil. Dalam Islam, sifat al-‘Adl — Yang Maha Adil — menjadi salah satu dari sifat kesempurnaan Allah yang wajib kita yakini.
Syaikh Muhammad al-Fudhali dalam kitabnya Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi al-Kalām menegaskan bahwa keadilan Allah bukan sekadar konsep moral, tetapi bagian dari kesempurnaan dzat-Nya. Allah tidak pernah menzalimi makhluk-Nya, tidak pula memberi pahala atau hukuman tanpa hikmah. Beliau menulis:
وَالْعَدْلُ أَنْ لَا يَفْعَلَ اللَّهُ مَا لَا يَلِيقُ بِالْكَرَمِ وَالْحِكْمَةِ
“Keadilan berarti bahwa Allah tidak melakukan sesuatu yang tidak layak dengan kemuliaan dan hikmah-Nya.”
Keadilan Ilahi bukan seperti keadilan manusia yang sering dipengaruhi emosi dan kepentingan. Ia suci, sempurna, dan menyeluruh. Dengan memahami sifat ini, seorang mukmin akan memandang hidup dengan lebih tenang — yakin bahwa setiap peristiwa, baik suka maupun duka, selalu berada dalam bingkai keadilan Allah yang tak pernah keliru.
Hakikat Keadilan Allah Menurut Kifāyatul ‘Awām
Keadilan Allah adalah jaminan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang diperlakukan secara tidak adil. Semua amal manusia akan dibalas sesuai dengan niat dan perbuatannya. Firman Allah dalam Al-Qur’an menegaskan hal ini:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi (manusia) walaupun seberat zarrah.” (QS. An-Nisā’: 40)
Ayat ini menggambarkan ketelitian keadilan Allah yang luar biasa. Tidak ada amal yang hilang, sekecil apa pun. Bahkan, setiap kebaikan akan dibalas dengan berlipat-lipat ganjaran, sementara setiap keburukan hanya dibalas setimpal.
Syaikh al-Fudhali menjelaskan bahwa keadilan Allah tidak berarti menyamaratakan semua orang, tetapi menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Orang saleh mendapatkan pahala, orang zalim menerima hukuman, dan setiap ujian diberikan sesuai kadar kemampuan hamba. Itulah keadilan yang penuh hikmah.
Keadilan Allah sering kali sulit dipahami oleh manusia yang berpikir terbatas. Ketika seseorang yang baik diuji dengan kesulitan, atau ketika orang jahat tampak hidup bahagia, muncul tanya di hati: di mana letak keadilan? Di sinilah Kifāyatul ‘Awām mengajarkan kita untuk menempatkan akal di bawah iman. Keadilan Allah tidak selalu dapat diukur dengan ukuran duniawi.
Allah berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiyā’: 23)
Ayat ini bukan meniadakan hikmah dari perbuatan Allah, tetapi menegaskan bahwa keadilan Ilahi berdiri di atas pengetahuan dan kebijaksanaan yang tak terjangkau manusia. Sering kali, sesuatu yang tampak tidak adil di mata kita ternyata menjadi jalan menuju rahmat dan kebaikan yang lebih besar.
Keadilan dan Kasih Sayang: Dua Wajah dari Satu Sifat
Dalam pandangan Kifāyatul ‘Awām, keadilan Allah tidak berdiri sendiri, tetapi selalu disertai rahmat dan kasih sayang. Allah menghukum bukan karena benci, tetapi karena ingin membersihkan hamba dari dosa. Allah memberi cobaan bukan untuk menyiksa, tetapi untuk mengangkat derajat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ
“Sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menegaskan bahwa cobaan adalah bagian dari kasih sayang Allah yang dibalut keadilan. Tidak ada ujian yang sia-sia, dan tidak ada derita yang tak bermakna. Dalam setiap kesulitan tersimpan peluang untuk naik ke derajat yang lebih tinggi di sisi-Nya.
Keadilan manusia sering bersifat kaku dan hitam-putih. Namun, keadilan Allah senantiasa melahirkan rahmat. Ketika seseorang berbuat dosa lalu bertaubat, Allah tidak sekadar memaafkan, tetapi mengganti dosa itu dengan pahala. Itulah bentuk keadilan yang paling indah.
Allah berfirman:
فَأُولَـٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
“Maka mereka itulah orang-orang yang Allah ganti kejahatan mereka dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqān: 70)
Syaikh al-Fudhali menjelaskan, keadilan Allah justru paling sempurna ketika disertai ampunan. Sebab, ampunan bagi hamba yang taubat adalah bentuk kasih sayang yang tidak menyalahi keadilan, melainkan menyempurnakannya. Allah tidak menzalimi, tetapi memberi kesempatan untuk kembali.
Hikmah di Balik Keadilan Ilahi
Keadilan Allah sering kali hadir dalam bentuk ujian. Ada yang diuji dengan kekayaan, ada yang diuji dengan kemiskinan; ada yang diuji dengan kesehatan, ada yang diuji dengan penyakit. Semua itu bukan bentuk ketidakadilan, tetapi sarana agar manusia mengenal dirinya dan Tuhannya.
Allah berfirman:
وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiyā’: 35)
Dalam pandangan Syaikh al-Fudhali, setiap ujian adalah perwujudan dari keadilan Allah yang mengetahui kondisi setiap hamba. Tidak ada cobaan yang diberikan melebihi batas kemampuan manusia. Dengan memahami ini, seseorang akan melihat bahwa di balik setiap peristiwa, selalu ada keadilan Ilahi yang tersembunyi.
Keadilan Allah juga berfungsi untuk mendidik manusia agar sadar akan tanggung jawab moral. Jika tidak ada keadilan, manusia akan bebas berbuat sesuka hati tanpa takut balasan. Namun karena ada janji pahala dan ancaman siksa, manusia terdorong untuk menimbang setiap perbuatannya.
Syaikh al-Fudhali menyebutkan bahwa memahami sifat al-‘Adl dapat menumbuhkan rasa takut dan cinta kepada Allah secara seimbang. Takut karena sadar bahwa semua amal akan dihisab dengan adil, dan cinta karena yakin bahwa Allah tidak akan menzalimi satu pun hamba-Nya.
Keadilan Allah di Hari Pembalasan
Keadilan Allah akan mencapai puncaknya pada Hari Kiamat, ketika semua manusia dikumpulkan untuk diadili. Tidak ada satu pun amal yang terlewat. Setiap ucapan, perbuatan, bahkan niat akan ditimbang dengan seadil-adilnya.
Allah berfirman:
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا
“Kami akan memasang timbangan yang adil pada Hari Kiamat, maka tidak seorang pun akan dirugikan sedikit pun.” (QS. Al-Anbiyā’: 47)
Pada hari itu, tidak ada pengacara, tidak ada manipulasi, dan tidak ada kelalaian. Setiap manusia akan menerima hasil dari apa yang telah ia usahakan. Mereka yang berbuat baik akan mendapatkan balasan berlipat-lipat, dan mereka yang berbuat jahat akan menerima ganjaran setimpal. Itulah wujud keadilan Allah yang mutlak.
Meski begitu, keadilan Allah tidak menutup pintu harapan. Allah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi hamba untuk memperbaiki diri sebelum ajal tiba.
Rasulullah ﷺ bersabda:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.” (HR. Ibnu Majah)
Inilah keindahan keadilan Ilahi: di dalamnya ada kasih sayang. Allah tidak mengunci manusia dalam kesalahan, melainkan memberi jalan pulang kepada yang menyesal. Keadilan Allah tidak hanya menghukum, tetapi juga mengasihi.
Relevansi Keadilan Ilahi di Dunia Modern
Memahami keadilan Allah sangat relevan di tengah dunia modern yang sarat ketimpangan. Ketika seseorang dizalimi atau melihat kebatilan berkuasa, ia tidak boleh putus asa. Keadilan Allah pasti datang, meski tidak selalu di dunia. Keyakinan ini menumbuhkan keteguhan hati dan menolak keputusasaan.
Orang yang percaya pada keadilan Ilahi tidak akan tergoda untuk membalas kezaliman dengan kezaliman. Ia tahu bahwa Allah lebih adil dari siapa pun. Keyakinan ini membuat manusia tenang dalam menghadapi ketidakpastian hidup.
Keadilan Allah juga menjadi inspirasi bagi manusia untuk berlaku adil dalam kehidupan. Siapa pun yang mengaku beriman harus meneladani sifat al-‘Adl dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat.
Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat baik.” (QS. An-Naḥl: 90)
Dengan meneladani keadilan Allah, manusia akan membangun masyarakat yang damai, bebas dari penindasan, dan penuh empati. Maka memahami keadilan Ilahi bukan hanya soal akidah, tetapi juga pedoman moral bagi kehidupan sosial.
Penutup
Keadilan Allah adalah cahaya yang menenangkan hati setiap hamba. Ia menegaskan bahwa tidak ada perbuatan yang sia-sia, tidak ada air mata yang tanpa makna, dan tidak ada perjuangan yang luput dari pandangan-Nya. Dalam keadilan-Nya, kita menemukan harapan; dalam rahmat-Nya, kita menemukan pengampunan.
Syaikh al-Fudhali menulis dengan lembut dalam Kifāyatul ‘Awām bahwa orang yang memahami sifat al-‘Adl akan hidup dengan damai, karena ia yakin semua urusan berada dalam genggaman Tuhan yang Maha Adil. Tidak ada ruang bagi keputusasaan, sebab keadilan-Nya pasti datang — jika bukan di dunia, maka di akhirat yang abadi.
Semoga hati kita selalu tunduk di bawah naungan keadilan dan kasih sayang Allah, hingga kelak kita dipanggil dengan suara lembut penuh rahmat:
سَلَامٌ قَوْلًا مِّن رَّبٍّ رَّحِيمٍ
“Salam, sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang.” (QS. Yāsīn: 58).
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
