Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Cahaya Berpikir: Logika sebagai Tarian bagi Jiwa

Ketika Cahaya Berpikir: Logika sebagai Tarian bagi Jiwa

ilustrasi manusia bermeditasi dalam cahaya lembut
Gambaran seorang manusia dalam perenungan, cahaya lembut menari di sekelilingnya, melambangkan harmoni antara akal dan hati.

Surau.co. Dalam Ḥikmat al-Ishrāq, Shihāb al-Dīn Yaḥyā ibn Ḥabash al-Suhrawardī — sang Filsuf Cahaya — menulis bahwa akal adalah sinar yang menari di antara dua kutub: kebenaran dan kesadaran. Ia bukan sekadar mesin berpikir yang kaku, melainkan cermin yang menangkap pantulan cahaya Ilahi.
Dalam filsafat Isyraq, logika tidak mati di ruang pikiran; sebaliknya, ia hidup di dalam jiwa. Ia menjadi tarian cahaya yang berirama dengan nur, bukan sekadar alat berhitung.

Ketika Pikiran Menjadi Terlalu Sunyi

Setiap hari manusia berpikir: tentang pekerjaan, keluarga, dan masa depan. Pikiran berputar tanpa henti seperti roda, tetapi jarang menghadirkan kedamaian.
Kita sering terjebak dalam logika yang membatasi, bukan yang membebaskan.
Padahal, Suhrawardī pernah menulis dalam Ḥikmat al-Ishrāq:

«العقلُ نورٌ من أنوارِ اللهِ، لا يعملُ إلا إذا أضاءَ عليه النورُ الأعلى»
“Akal adalah cahaya dari cahaya-cahaya Allah, dan ia tidak dapat bekerja kecuali bila disinari oleh Cahaya Tertinggi.”

Dengan kata lain, akal hanyalah lentera, bukan matahari. Ia perlu disinari oleh kesadaran Ilahi agar tidak tersesat dalam gelapnya ego.
Karena itu, ketika logika berjalan sendiri tanpa bimbingan nur, ia menjadi seperti musik tanpa jiwa — indah, namun kosong.

Logika sebagai Jalan, Bukan Tujuan

Suhrawardī tidak menolak logika Aristotelian; justru ia menempatkannya sebagai alat menuju penyinaran batin. Ia menulis:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

«البرهانُ سُلَّمٌ إلى النورِ، لا النورُ نفسُهُ»
“Argumen adalah tangga menuju cahaya, bukan cahaya itu sendiri.”

Artinya, logika bukan puncak pengetahuan. Ia hanyalah jembatan menuju pengalaman langsung terhadap kebenaran — mushāhadah, penyaksian batin.
Setelah sampai pada cahaya, tangga itu tidak lagi dibutuhkan.

Namun, di dunia modern, manusia justru berhenti di tangga. Kita memuja rasionalitas, tetapi lupa arah yang dituju.
Padahal berpikir seharusnya membawa ketenangan, bukan kebingungan; membawa keterhubungan, bukan kesombongan.
Karena itu, filsafat Isyraq hadir untuk mengembalikan logika kepada maknanya yang sejati: alat menuju cahaya, bukan pengganti cahaya.

Ketika Cahaya Menari di Dalam Akal

Filsafat Isyraq menggambarkan logika sebagai tarian nur di ruang kesadaran. Setiap ide, argumen, dan konsep hanyalah gerak ritmis yang mengikuti irama Ilahi.
Suhrawardī menulis:

«إذا تحرَّكَ النورُ في النفسِ، رقَصَ العقلُ في ميدانِ الحكمةِ»
“Ketika cahaya bergerak di dalam jiwa, akal menari di medan hikmah.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kalimat itu menggugah cara kita melihat aktivitas berpikir.
Berpikir bukan sekadar kerja keras, tetapi juga bentuk dzikir.
Ketika seseorang merenung dengan hati yang jernih, sebenarnya ia sedang berdzikir dengan cahaya.

Maka, logika tidak menjadi penjara bagi kebijaksanaan, melainkan sayap bagi jiwa.
Ia menuntun manusia untuk terbang dari dunia bayangan menuju terang makna.
Namun seperti tarian, logika memerlukan keseimbangan — antara akal yang menimbang dan hati yang menghayati.

Antara Rasio dan Intuisi: Menyatukan Dua Cahaya

Dalam Ḥikmat al-Ishrāq, Suhrawardī membedakan dua jenis pengetahuan: ‘ilm al-huṣūlī (pengetahuan rasional) dan ‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan kehadiran).
Yang pertama lahir dari berpikir, sedangkan yang kedua tumbuh dari kesadaran batin yang diterangi cahaya Ilahi.

«المعرفةُ حضورُ النورِ في النورِ»
“Pengetahuan sejati adalah hadirnya cahaya di dalam cahaya.”

Ketika dua bentuk pengetahuan ini berpadu, manusia mencapai harmoni. Akal tidak lagi dingin, hati tidak lagi buta.
Logika tanpa nur menjadi kering, sedangkan nur tanpa logika dapat menyesatkan.
Dengan demikian, jalan Isyraq adalah jalan keseimbangan — akal yang tunduk dan hati yang tercerahkan.
Ia mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati selalu lahir dari perjumpaan antara pemikiran dan penyaksian.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Cahaya dalam Wahyu: Ketika Al-Qur’an Menyapa Akal

Konsep Suhrawardī sejalan dengan Al-Qur’an yang berkali-kali menyeru manusia untuk berpikir, tetapi dalam bingkai cahaya petunjuk.
Allah berfirman:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi… Cahaya di atas cahaya.” (QS. An-Nūr: 35)

Ayat ini menggambarkan bukan hanya cahaya fisik, tetapi lapisan kesadaran.
Akal menjadi lapisan pertama, sementara intuisi dan iman menembus lebih dalam.
Karena itu, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

«اتَّقُوا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ، فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ»
“Waspadalah terhadap firasat orang beriman, karena ia melihat dengan cahaya Allah.” (HR. Tirmidzi)

Pada titik inilah akal bertemu dengan intuisi. Keduanya tidak saling meniadakan, melainkan saling menuntun.
Logika menata langkah, dan cahaya menunjukkan arah.

Fenomena Sehari-hari: Saat Akal dan Hati Bertemu

Dalam keseharian, manusia kerap merasa terbelah antara perhitungan dan perasaan.
Namun ada momen-momen kecil ketika keduanya menyatu tanpa disadari: saat seseorang memutuskan dengan bijak — rasional namun tetap lembut; logis tetapi penuh kasih.
Itulah momen Isyraq yang paling sederhana: ketika cahaya berpikir di dalam diri.

Setiap keputusan yang disertai kasih sayang adalah wujud filsafat Isyraq dalam tindakan nyata.
Logika yang lahir dari cinta tidak lagi kering, dan cinta yang berpijak pada logika tidak lagi buta.
Dengan begitu, berpikir menjadi cara baru untuk mencintai.

Menemukan Hikmah dalam Berpikir

Suhrawardī mengajarkan bahwa berpikir bukan sekadar pekerjaan kepala, tetapi latihan jiwa.
Akal yang sehat lahir dari ketulusan, dan pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang menghidupkan.
Karena itu, setiap kali engkau berpikir, berhentilah sejenak dan tanyakan:
“Apakah cahaya ini mendekatkanku kepada kebenaran, atau hanya menambah kebanggaanku?”

Dalam filsafat Isyraq, berpikir berarti beribadah melalui cahaya — cara ruh menari menuju Tuhannya.
Suhrawardī menulis:

«العقلُ الهادي هو الذي يرى بنورِ النورِ الأعلى»
“Akal yang terbimbing adalah akal yang melihat dengan Cahaya Tertinggi.”

Penutup: Saat Cahaya Menjadi Bahasa Jiwa

Ketika akal tunduk kepada cahaya, ia berhenti menjadi alat dan berubah menjadi nyala kesadaran.
Logika pun menari — bukan untuk membuktikan, melainkan untuk mengagumi; bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk memahami.
Dengan demikian, Suhrawardī mengubah cara kita berpikir tentang berpikir.
Ia menjadikan logika bukan menara dingin filsafat, tetapi taman yang diterangi matahari kesadaran.

Dan di taman itu, jiwa menari di antara cahaya-cahaya — dalam tarian yang disebut: hikmah.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement